Indikator kesejahteraan nelayan kian membaik setelah pembatasan sosial ketat selama pandemi menurunkan pendapatan dan daya beli mereka. Namun, peningkatan kesejahteraan dibayangi kebijakan yang tidak memihak.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indikator kesejahteraan nelayan kian membaik setelah pembatasan sosial ketat selama pandemi menurunkan pendapatan dan daya beli mereka. Namun, peningkatan kesejahteraan masih semu karena bayang-bayang kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan nelayan.
Salah satu indikator kesejahteraan yang diukur dengan nilai tukar nelayan (NTN) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan III-2020 menunjukkan perbaikan daripada triwulan sebelumnya. NTN pada periode itu naik 1,59 persen menjadi 100,37 dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya 98,80.
Nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) juga alami kenaikan 0,95 persen menjadi 100,50 dibandingkan triwulan II-2020. Nilai tukar merupakan rasio antara pendapatan yang diterima dan daya beli nelayan. Rasio di atas 100 menunjukkan pendapatan lebih tinggi daripada pengeluaran.
”Peningkatan indeks terjadi karena beberapa ikan hasil tangkapan harganya mulai membaik sehingga pendapatan yang diterima nelayan naik. Sementara, penurunan pendapatan masih terjadi di beberapa wilayah, tetapi enggak sesignifikan kenaikan pendapatan,” kata pengamat perikanan Suhana kepada Kompas, Rabu (28/10/2020).
Indikator itu sejalan dengan survei Bank Indonesia (BI) pada triwulan III-2020 yang menunjukkan nilai Saldo Bersih Tertimbang kegiatan usaha sektor perikanan yang mencapai -0,38. Nilai itu meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang anjlok sampai -0,66, paling rendah dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya.
Hal itu, menurut Suhana, menunjukkan, kegiatan usaha di sektor perikanan mulai membaik. Faktor cuaca dan meningkatnya permintaan ikan di pasar lokal ataupun daerah dinilai mendukung perbaikan aktivitas usaha perikanan. Perbaikan kondisi diharapkan berlanjut sampai triwulan berikutnya.
”Berbagai bantuan pemerintah terhadap nelayan dan pembudidaya ikan kecil hendaknya dapat terus dioptimalkan. Hal ini agar pengeluaran para nelayan termasuk keluarganya dapat ditekan,” katanya.
Terancam
Nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, Andahar (42), mengatakan, saat ini harga jual ikan di lokasinya sudah mulai membaik. Di sisi lain, ia mengaku belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Hal itu dirasakan kendati nelayan yang telah melaut sejak usia 15 tahun itu memiliki identitas resmi sebagai nelayan yang ditunjukkan dengan Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan Elektronik (E-Kusuka), yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Situasi lain juga menimbulkan kekhawatiran kesejahteraannya semakin tertekan. Masuknya kapal ikan asing ke perairan tempat ia dan nelayan tradisional lain mengais rezeki ditakutkan mengancam kegiatan usaha mereka.
”Hampir setiap kami melaut, kami ketemu kapal ikan asing di perairan Anambas, tidak lebih 30 mil dari pulau terdekat,” katanya saat dihubungi Kompas di Jakarta. Ia mengatakan, kapal ikan asing yang kerap ia dan nelayan lokal lainnya temui berasal dari Vietnam.
Kapal ikan asing yang ditemukan kerap menggunakan alat tangkap yang lebih canggih dari pancing ulur yang digunakan Andahar dan nelayan tradisional lainnya. Walaupun ia mengaku bisa melaut sampai perbatasan, kapal 2 GT yang dipakai ia untuk melaut masih meminjam orang lain dengan hasil tangkap dibadi dua.
Kembali maraknya kapal asing ilegal yang masuk ke wilayah mereka membuat nelayan yang dikomandoi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kepulauan Anambas melakukan aksi pada September 2020. Aksi tersebut antara lain mendesak lembaga atau instansi terkait memperkuat pengawasan dan menindak tegas kapal ikan asing di perairan Anambas dan Natuna, yang bertetanggaan.
Kebijakan
Maraknya kapal ikan asing ilegal dikatakan kembali terjadi setelah kebijakan pemerintah pusat di masa jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam memberantas kapal penangkap ikan ilegal negara asing mulai menampakkan hasil pada 2019, Kompas (19/7/2019).
Tidak hanya itu, penggunaan alat tangkap cantrang yang dimodifikasi atau trawl oleh kapal nelayan dari daerah lain, seperti Pulau Jawa, juga mengancam mereka. Kompas (12/6/2020) mewawancarai Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang HNSI Kepulauan Anambas Dedi Syahputra, yang mengatakan, penggunaan cantrang dan trawl, atau biasa disebut pukat hela akan membuat tangkapan nelayan tradisional merosot.
Dedi menilai penggunaan cantrang bukan hanya akan membunuh ikan yang masih kecil, melainkan juga akan merusak terumbu yang menjadi habitat ikan karang yang menjadi sasaran tangkap nelayan lokal.
Oleh karena itu, disayangkan ketika KKP kembali mengizinkan penggunaan alat tangkap tersebut melalui Instruksi Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.717/MEN-KP/XI 2019 tentang Kajian Terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan, yang mencabut Keputusan Menteri Kelauran dan Perikanan Nomor 86/KEPMEN-KP/2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan.
Kebijakan itu juga termasuk menggantikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016.
”Sebelumnya, kami sudah sering (konflik) dengan kapal pukat mayang (purse sein) yang melanggar kesepakatan zona tangkap. Sering hampir terjadi bentrokan fisik dan pembakaran di laut. Potensi konflik ini semakin besar dengan rencana pemerintah melegalkan cantrang,” kata Dedi.
Suhana mengatakan, pemerintah selalu berkilah cantrang masih relevan karena negara tetangga, seperti Vietnam dan China, masih melegalkan penggunaan trawl. Dua negara tersebut masih membutuhkan alat tangkap itu karena hasil tangkapannya dibutuhkan untuk pakan ikan budidaya, seperti ikan rucah untuk lobster di Vietnam dan pakan udang di China.
”Jadi, hasil tangkapan trawl ini lebih untuk ikan budidaya, bukan untuk konsumsi manusia. Di Indonesia, hasil tangkap cantrang dibutuhkan industri surimi, tapi saya nggak tahu berapa kontribusi mereka ke budidaya ikan,” kata Suhana.
Dengan garis pantai Indonesia mencapai 108.000 kilometer, sektor perikanan budidaya memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, baik dari segi peningkatan pendapatan dengan ekspor maupun pembukaan lapangan kerja.
Namun, kontribusi sektor kelautan dan perikanan Indonesia terhadap PDB Indonesia sampai 2019 baru sebesar 2,65 persen. Kontribusi itu hanya naik sedikit dalam kurun hampir satu dekade, dari 2,09 persen pada 2010.