Ketika Nelayan Berhenti Melaut Saat Ikan Berlimpah
Kondisi nelayan di Papua bagaikan pepatah tikus mati di lumbung padi. Banyak nelayan yang tidak melaut di tengah pandemi Covid-19, padahal potensi ikan berlimpah.
Masalah nelayan di Papua tak hanya mengenai minimnya sarana dan prasarana serta pemasaran yang belum optimal. Kondisi nelayan semakin terpuruk saat Covid-19 melanda seluruh penjuru dunia selama delapan bulan terakhir.
Situasi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Hamadi, Kota Jayapura, pada Senin (27/10/2020) pukul 07.00 WIT cukup ramai. Sejumlah pedagang terlihat saling tawar-menawar harga dengan juragan ikan di tempat tersebut.
Biasanya, dari hasil penjualan ikan, barulah sang juragan memberikan uang bagi nelayan yang memasok ikan kepadanya. Ikan yang dijual di tempat ini seperti tuna, cakalang, dan tongkol. Jumlah ikan yang dipasarkan di tempat itu mencapai minimal 5 ton per hari.
Adapun para pedagang ini biasanya menjual kembali ikan yang dibelinya dari TPI Hamadi ke sejumlah pasar tradisional di Kota Jayapura serta ke sejumlah daerah di Papua, seperti Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi, dan Kabupaten Jayawijaya. Bahkan ada penjual yang menjual produk olahan ikan ke daerah Jakarta dan Makassar dengan menggunakan pesawat. Selama pandemi Covid-19, daya beli para pedagang dari nelayan sangat terdampak. Hal ini disebabkan minimnya daya beli masyarakat di pasaran.
Abdul Rahman, salah satu pedagang, memerintahkan anak buahnya untuk mengemas ikan dalam wadah yang dipenuhi es. Pria berusia 40 tahun ini membeli ikan dari nelayan di TPI Hamadi dan menjualnya kembali di daerah Arso, Kabupaten Keerom, yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Kota Jayapura. Biasanya, Abdul membeli hingga 200 kilogram ikan jenis tuna, tongkol, dan ikan ekor kuning sebelum pandemi Covid-19.
Saat ini, Abdul mengurangi membeli ikan dari nelayan hingga 100 sampai 150 kilogram saja. Hal ini sesuai dengan kondisi warga yang mengurangi aktivitas berbelanja di luar. Akibatnya, uang pembayaran ikan hasil tangkapan nelayan yang biasanya mencapai Rp 5 juta turun hingga Rp 3 juta.
”Biasanya, ratusan kilogram terjual dalam waktu sehari saja. Saat ini, saya membutuhkan waktu hingga dua hari agar bisa menjual seluruh ikan di Arso. Kondisi nelayan dan kami para pedagang sangat berat saat ini,” tutur Abdul.
Ia pun mengungkapkan, banyaknya nelayan juragan yang terpaksa menguburkan ikannya yang tidak laku hingga sekitar 1 ton dalam tiga bulan terakhir. Hal ini disebabkan minimnya jumlah es, sementara ikan yang disimpan dalam wadah sudah melebihi kapasitas.
”Selama ini, para nelayan hanya membeli ribuan es untuk menjaga kualitas ikan tetap terjaga di sebuah wadah. Sementara di TPI Hamadi belum memiliki fasilitas gudang pendingin ikan dalam jumlah yang besar,” ujar Abdul.
Baca juga : Petani Nelayan Terpukul Pandemi
Sekitar 2 meter dari tempat Abdul beraktivitas, sekumpulan nelayan sedang sibuk memasukkan ikan ke dalam wadah yang berisi es di pinggiran dermaga TPI Hamadi. Namun, ada salah satu nelayan yang hanya duduk termenung sambil melihat kesibukannya rekan-rekannya. Nelayan tersebut bernama Hamzah.
Hamzah tidak melaut selama beberapa hari terakhir karena perahu motor miliknya mengalami kerusakan. Apalagi, kondisi laut pada bulan ini dengan ketinggian gelombang mencapai 2 hingga 5 meter. Tak terhitung lagi Hamzah hampir tenggelam karena ganasnya perairan utara Papua, terlebih pada bulan Oktober hingga Desember.
Ia mengaku, melaut di tengah kondisi Covid-19 benar-benar tidak menguntungkan. Sebab, harga ikan menurun drastis karena hasil tangkapannya yang banyak. Namun, jumlah pembeli di pasar tidak seramai sebelum Covid ditemukan di Papua pada awal Maret lalu.
Biasanya, ia dan dua rekannya bisa melaut selama 12 jam hingga seharian penuh demi mendapatkan ikan dengan perahu motor berkapasitas 40 PK. Dalam perjalanan itu, mereka harus menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar hingga 30 liter. Apabila hasil tangkapan ikan tidak laku terjual, biaya operasionalissi yang dikeluarkan para nelayan tidak dapat tertutupi.
”Saat kondisi cuaca buruk, berdampak hasil tangkapan ikan sedikit. Idealnya, kami harus menaikkan harga ikan lebih tinggi untuk menutupi biaya operasionalisasi, seperti pembelian solar dan makanan, selama melaut. Namun, kami tidak melakukan hal itu karena pembeli yang minim,” tutur ayah dua anak ini.
Penghasilan Hamzah dan rekan-rekanya pun turun drastis hingga Rp 200.000 dan bahkan Rp 100.000 sekali melaut. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, Hamzah bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 700.000 dari sekali melaut.
”Dengan penghasilan seperti ini, hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Saya pun tak bisa membeli paket data internet hingga Rp 100.000 agar anak bisa mengikuti belajar secara daring,” kata Hamzah.
Ironis
Pelaksana tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Iman Djuniawal mengakui, nelayan yang tidak melaut karena menurunnya pemasukan di tengah pandemi Covid-19. Ia berpendapat, kondisi yang dialami nelayan yang tidak melaut sungguh ironis karena produksi ikan yang berlimpah.
Diketahui, terdapat 12 kabupaten dan satu kota di Papua yang berada di pesisir pantai, yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mamberamo Raya, Sarmi, Biak, Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen, Nabire, Mimika, Merauke, Asmat, dan Mappi. Di antara daerah itu, hanya sembilan daerah yang memiliki pelabuhan perikanan. Empat kabupaten yang belum memiliki pelabuhan perikanan ialah Mamberamo Raya, Supiori, Mappi, dan Sarmi.
Adapun panjang garis pantai di Papua mencapai 1.170 mil (2.167 kilometer) dan memiliki dua wilayah pengolahan perikanan, yakni 717 di Samudra Pasifik, perairan utara Papua, dan 718 di Lautan Arafura di wilayah perairan selatan Papua. Total sebanyak 69.955 nelayan laut di Papua.
Papua memiliki potensi ikan unggulan, seperti kakap, kerapu, udang, tuna, dan cakalang. Sejauh ini, fasilitas gudang pendingin ikan baru ada di lima daerah, di antaranya Biak, Nabire, Mimika, dan Merauke. Fasilitas gudang yang sudah digunakan baru di Merauke dan Mimika.
”Produksi ikan di Papua hingga tahun 2019 mencapai sekitar 300.000 ton. Para nelayan mendapatkan banyak ikan, tetapi harga di pasaran sangat murah. Apalagi saat Covid-19, pembeli ikan di pasar pun berkurang,” tutur Iman.
Baca juga : Separuh Potensi Laut Papua Belum Digarap
Ia pun mengatakan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua tak bisa memberikan bantuan untuk meringankan beban para nelayan di tengah pandemi. Sebab, mayoritas anggaran dinas telah direalokasi untuk penanganan Covid-19 di Papua.
”Kami menyiapkan sejumlah solusi untuk membantu nelayan saat ini, yakni mengajukan permohonan program bantuan sosial untuk nelayan kepada Satgas Penanganan Covid-19 Papua dan melatih para nelayan bersama istrinya untuk membuat olahan ikan. Tujuannya untuk mengurangi beban kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Iman.