Industri Fosil Bersiap Hadapi Transisi di Era Ekonomi Hijau
Gelombang transisi energi untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan terus menguat. Perlu peta jalan transisi energi di Indonesia untuk menyongsong perubahan itu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Menarik menyimak pernyataan Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Jonathan Austin dalam opininya, ”Energi Terbarukan Menuju Pertumbuhan Hijau” (Kompas, 20/10/2020). Austin menyebut, disrupsi yang diakibatkan Covid-19 membuka cakrawala baru dalam meninjau pola pertumbuhan ekonomi.
”Di tengah upaya para pemimpin dunia mencari solusi terbaik untuk menggerakkan roda perekonomian, kita memiliki peluang untuk tidak hanya sekadar memperbaiki perekonomian, tetapi juga mewariskan dunia yang lebih baik bagi anak cucu kita, bukan bumi yang porak-poranda akibat ulah tangan kita. Kita bisa memilih untuk memajukan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak bumi. Gagasan ini belakangan dikenal dengan ’pertumbuhan ekonomi hijau’. Sektor energi adalah titik awal yang baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau,” tulisnya.
Di tengah arus pengembangan energi baru terbarukan secara global dan nasional, sektor industri fosil, yakni minyak dan gas bumi, serta batubara, pelan-pelan bisa semakin terkikis. Pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bahkan menegaskan, tanpa penemuan cadangan yang baru, minyak bumi di Indonesia akan habis sembilan tahun ke depan, gas bumi akan habis 22 tahun lagi, dan batubara akan habis 65 tahun mendatang. Oleh karena itu, transisi energi mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan dan ketahanan energi Indonesia di masa mendatang (Kompas, 21/10/2020).
Dalam seminar daring ”Batubara dalam Transisi Energi dan Bauran Energi Nasional” yang diselenggarakan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Selasa (27/10/2020), para pelaku industri fosil diminta bersiap menghadapi transisi energi atau gerakan beralih dari energi fosil ke energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Pembicara dalam seminar itu adalah Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, Ketua Bidang ESDM Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sammy Hamzah, Ketua Komite Tetap Bidang Mineral dan Batubara pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Dharma Djojonegoro, Direktur Pengembangan Usaha PT Bukit Asam Tbk Fuad Fachroeddin, serta Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro.
Sammy berpendapat, transisi energi sebelumnya diragukan dapat berlangsung cepat oleh para pelaku industri energi fosil. Setidaknya perlu 20-30 tahun untuk dapat meninggalkan pemakaian energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Ternyata, pertumbuhan pembangkit listrik energi terbarukan berlangsung lebih cepat dari perkiraan.
”Perusahaan migas dunia, seperti BP, Total, dan Shell, sudah memulai investasi di sektor energi terbarukan. Perlu dipikirkan bagaimana Indonesia menghadapi transisi energi ini. Peta jalan transisi harus disiapkan dengan matang,” ujarnya.
Transisi energi sebelumnya diragukan dapat berlangsung cepat oleh para pelaku industri energi fosil. Setidaknya perlu 20-30 tahun untuk dapat meninggalkan pemakaian energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.
Dharma juga meyakini, cepat atau lambat, transisi energi akan terjadi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Apalagi, harga listrik dari sumber energi terbarukan kian kompetitif. Harga listrik yang dihasilkan dari tenaga surya saat ini ada yang di bawah 2 sen dollar AS per kWh atau jauh di bawah harga listrik yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara.
”Pelaku industri fosil harus bersiap dari sekarang bahwa gelombang transisi energi pasti datang. Pertanyaannya adalah bagaimana mereka (pelaku industri fosil) harus bersiap,” ucap Dharma.
Sementara itu, Komaidi berpendapat, faktor penting dalam ”persaingan” energi fosil dengan energi terbarukan adalah masalah harga. Contohnya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium yang lebih banyak diminati ketimbang jenis pertamax. Padahal, premium adalah BBM yang lebih kotor ketimbang pertamax.
”Harga akan menjadi pertimbangan utama bagi konsumen maupun produsen energi. Itu sebab kenapa premium sulit sekali dihapuskan kendati memiliki gas buang lebih kotor dari BBM jenis lain,” ujar Komaidi.
Faktor penting dalam ”persaingan” energi fosil dengan energi terbarukan adalah masalah harga.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat memberikan pidato sambutan, menyatakan, kinerja sektor tambang batubara terpukul di masa pandemi Covid-19. Harga batubara merosot dari 66 dollar AS per ton di awal tahun ini menjadi 49 dollar AS per ton per September 2020. Begitu pula target investasi sebanyak 7,7 miliar dollar AS pada 2020 baru terealisasi sebanyak 2,1 miliar dollar AS.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong agar nilai tambah batubara di dalam negeri ditingkatkan. Hilirisasi batubara bisa berbentuk gasifikasi untuk menghasilkan dimetil eter atau metanol, pembuatan batubara kokas, ataupun briket.
”Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pemerintah akan membebaskan pungutan royalti bagi perusahaan yang menerapkan hilirisasi batubara,” katanya.
Menurut Fuad, Bukit Asam tetap berkomitmen melanjutkan proyek gasifikasi batubara yang berlokasi di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Dengan menggandeng PT Pertamina (Persero) dan Air Products, perusahaan Amerika Serikat selaku pemilik teknologi gasifikasi, gasifikasi tersebut akan memproduksi dimetil eter (DME) sebanyak 1,4 juta ton per tahun.
”Dengan produksi DME sebanyak itu, kebutuhan batubaranya diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Proyek ini ditargetkan dapat beroperasi secara komersial pada 2025,” ujar Fuad.