Mahkamah Konstitusi di Pusaran Problem Penyusunan UU
Pasca-RUU Cipta Kerja disetujui DPR dan pemerintah pada 5 Oktober lalu, penolakan berbagai elemen masyarakat merebak. Pengujian formal dan material RUU itu kini terbuka di MK karena memang mekanisme itu konstitusional.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Oktober 2020. Penolakan dari berbagai elemen masyarakat diekspresikan dalam bentuk petisi daring ataupun unjuk rasa fisik di tengah pandemi Covid-19.
Menanggapi penolakan tersebut, Presiden Joko Widodo meminta segala penolakan diteruskan lewat uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di tengah proses itu, masyarakat dikejutkan dengan kemunculan tiga versi draf RUU Cipta Kerja, yang berbeda jumlah halamannya. Ketiga draf itu terdiri dari 905 halaman, 1.035 halaman, dan 812 halaman. DPR menyerahkan RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman kepada Presiden Joko Widodo pada Rabu (14/10/2020) untuk diundangkan.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Utak-atik UU Ciptaker” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu malam, mengkritik kebiasaan buruk DPR dan pemerintah dalam proses penyusunan sejumlah legislasi krusial. Proses penyusunan selalu terburu-buru dan tak lazim. Selain RUU Cipta Kerja, hal serupa juga terjadi di sejumlah revisi UU, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Mineral dan Pertambangan (Minerba), serta UU Mahkamah Konstitusi.
Ironisnya, lanjut Bivitri, jika terdapat dugaan kesalahan secara substansi dalam UU ataupun proses penyusunan UU yang telah disahkan, publik selalu diminta untuk mengujinya ke MK.
”Pertanyaannya adalah sampai kapan kita mau membiarkan proses yang ugal-ugalan di DPR dan pemerintah, kemudian asal dilempar saja. Seakan-akan MK seperti keranjang tempat membuang hasil kerja yang asal-asalan,” ujar Bivitri.
Baca juga: Terbuka, Pengujian UU Cipta Kerja ke MK
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga menampilkan sejumlah narasumber yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Lamhot Sinaga; anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf; dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian.
Pertanyaannya adalah sampai kapan kita mau membiarkan dengan proses yang ugal-ugalan di DPR dan pemerintah, kemudian asal dilempar saja. Seakan-akan MK seperti keranjang tempat membuang hasil kerja yang asal-asalan.
Bivitri secara khusus menyoroti penyusunan RUU Cipta Kerja yang dianggapnya cacat prosedural. Ia menyebut, di Pasal 163 Tata Tertib DPR, seharusnya pengambilan keputusan pada tingkat satu didahului dengan pembacaan naskah final RUU. Namun, faktanya, sejumlah versi draf RUU tersebut muncul, bahkan setelah rapat paripurna.
Ketidaklaziman, kata dia, juga muncul ketika DPR dan pemerintah sepakat memajukan persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja di rapat paripurna, yang awalnya 8 Oktober menjadi 5 Oktober. Menurut Bivitri, seharusnya percepatan agenda itu diumumkan dengan patut terlebih dulu ke seluruh fraksi.
”Ini bukan persoalan sekadar prosedural, pasal segini, pasal segini, melainkan kita berbicara yang namanya konstitusionalitas juga soal democratic values, apakah baik, apakah patut, apakah ada moralitas demokrasi yang terpenuhi ketika publik sudah lihat ketok palu, tetapi ternyata masih ada perubahan dalam drafnya,” papar Bivitri.
Masalahnya saat ini, lanjut Bivitri, dari 44 UU yang diuji formil oleh MK, tidak ada satu pun yang dikabulkan. Ia juga mengkhawatirkan daya kritis hakim konstitusi yang berkurang setelah keluar revisi UU MK. Di revisi UU MK tersebut, masa jabatan hakim MK diperpanjang dari 5 tahun menjadi 15 tahun.
Tidak ubah substansi
Lamhot Sinaga membantah tudingan proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang terburu- buru. Ia menyebut, proses pembahasan berlangsung cukup panjang, yakni 7-8 bulan.
Dia juga menjamin tidak ada perubahan substansi RUU Cipta Kerja setelah draf RUU disetujui di rapat paripurna DPR. Draf final tetap mengacu pada hasil keputusan di tingkat satu. Menurut dia, sejumlah versi draf RUU tersebut hanya berbeda dari ukuran kertasnya. Sebab, naskah final RUU yang diserahkan kepada Presiden harus dalam bentuk legal paper.
”Kalau ada yang melakukan perubahan (substansi), itu adalah pidana. Kami di Baleg berkomitmen tidak akan ada penyelundupan pasal,” katanya. Apabila kelak ditemukan penyelundupan pasal, Lamhot mempersilakan publik melaporkan hal itu lewat mekanisme hukum yang berlaku.
Bukhori Yusuf menyangsikan tidak terjadi utak-atik di RUU Cipta Kerja karena hingga kini Fraksi PKS juga tidak kunjung mendapatkan naskah final RUU tersebut. Fraksi PKS, lanjutnya, hanya mendapatkan naskah final dari sesama anggota DPR.
”Mestinya Baleg menyampaikan secara formal supaya kami ketika melakukan suatu komparasi itu berdasarkan naskah asli,” kata Bukhori.
Sementara itu, Donny Gahral Adian menyatakan pandangan yang berbeda dari Bivitri. Menurut dia, tak ada hubungan kuat antara perpanjangan masa jabatan hakim MK dan independensi MK.
Pemerintah, katanya, sangat menghormati MK sebagai lembaga pemutus akhir di dalam perselisihan UU, termasuk di UU Cipta Kerja nantinya. Pemerintah juga akan menerima apa pun hasil keputusan MK apabila terdapat pasal-pasal yang dibatalkan.
Itu pemerintah menerima, tetapi pemerintah tidak kemudian mengintervensi MK.
”Itu pemerintah menerima, tetapi pemerintah tidak kemudian mengintervensi MK,” kata Donny.
Baca juga: Uji Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Sekaligus Jadi Ujian Independensi MK
Tanda tangan
Terhadap RUU Cipta Kerja yang telah dikirimkan DPR kepada Presiden, Donny memberi sinyal bahwa Presiden dipastikan menandatanganinya. Berbeda dengan UU KPK yang tidak ditandatangani oleh Presiden. ”Kalau ini ditandatangani. Saya kira segera, mungkin sebelum 30 hari masa itu,” kata Donny Gahral.
Kini, sejumlah kelompok buruh berencana melakukan uji formil RUU Cipta Kerja ke MK. Mereka menanti sikap para hakim konstitusi sebagai pucuk harapan di tengah perbedaan pandangan terkait RUU Cipta Kerja. Mari kita tunggu sikap para hakim penjaga konstitusi itu....