Peradaban masyarakat ke depan akan semakin diwarnai hasil tambang. Gaya hidup manusia modern sejak bangun tidur hingga tidur akan selalu bersentuhan dengan bahan tambang.
Oleh
Joice Tauris Santi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk-produk pertambangan semakin dibutuhkan seiring dengan perkembangan teknologi yang memerlukan semakin banyak produk pertambangan, seperti tembaga, nikel, dan perak. Peningkatan kebutuhan produk pertambangan ini pun terkait dengan perubahan peradaban dan gaya hidup.
”Industri pertambangan masih tetap akan diperlukan bagi generasi ke depan. Produk tambang, terutama nikel, yang membuat kita mengenal dan membuat peradaban ini,” kata CEO PT Freeport Indonesia Tony Wenas dalam acara KompasTalk di Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Tony mengilustrasikan, sejak bangun tidur, sebagian besar orang memegang telepon genggam, memegang jam, lalu ke kamar mandi, ke kantor dengan kendaraan, bekerja dengan komputer, dan sebagainya. Komponen-komponen perlengkapan modern tersebut sebagian terbuat dari barang bahan tambang.
Mobil listrik, lanjut Tony, akan memerlukan komponen yang terbuat dari tembaga tiga kali lipat dibandingkan dengan mobil konvensional. Moda transportasi lain, seperti kereta api dan pesawat terbang, pun memerlukan banyak komponen tambang. Demikian pula pembangkit tenaga listrik terbarukan lebih banyak memerlukan komponen tambang jika dibandingkan dengan pembangkit listrik bertenaga fosil.
Penghijauan
Pertambangan kerap kali disalahkan karena telah merusak lingkungan demi mengambil bahan tambang yang ada. Tony menjelaskan bahwa PT Freeport Indonesia sudah memiliki amdal sejak tahun 1997 yang terus diperbarui.
”Pertambangan di mana pun mengekstrak dari bumi. Produknya tidak dapat diperbarui, tetapi pengelolaan dilakukan sedemikian rupa supaya berpihak pada lingkungan,” papar Tony.
Dia menjelaskan lebih lanjut, kegiatan pertambangan akan mengubah bentang alam, tetapi dapat dikelola sehingga tetap mempertahankan ekosistem. Lahan tambang yang sudah tidak terpakai akan direklamasi dengan tanaman setempat.
Di Freeport, Tony mencontohkan, ada lahan seluas 400 hektar yang ditanami kembali. Penanaman kembali juga dilakukan di tailing yang mencakup areal seluas 800 hektar. Pertambangan Freeport juga memiliki sembilan instalasi pengolahan limbah.
Secara alami, tailing yang tanahnya berupa batu-batuan kecil dapat ditanami lagi kurang dari 10 tahun. Dengan bantuan manusia, proses ini dapat dipercepat. Tailing juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pembangunan, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan gedung. Dalam hal ini, Freeport bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Lahan tambang yang masih digarap belum dapat ditanami. Semua lahan akan direklamasi ketika tambang selesai pada 2041. Untuk itu diperkirakan diperlukan dana sekitar 350 juta dollar AS.
Tidak hanya lingkungan, Tony mengatakan, Freeport Indonesia juga memberikan banyak upaya untuk ikut membangun masyarakat di sekitar lokasi penambangan. Setiap tahun, pihaknya mengeluarkan dana sekitar Rp 1 triliun untuk kegiatan sosial di seputar perusahaan.
Selain itu, Freeport Indonesia juga menyelenggarakan program pelatihan bagi pemuda setempat. Sejauh ini ada sekitar 4.000 orang mengikuti pelatihan dan sebanyak 3.000 di antaranya direkrut menjadi karyawan Freeport Indonesia. Sekitar 40 persen di perusahaan itu merupakan warga asli Papua.
Selain pelatihan keterampilan, Freeport Indonesia juga menyediakan fasilitas kesehatan gratis bagi pemegang KTP Timika.
Kontribusi Freeport Indonesia terhadap keuangan kabupaten dan provinsi juga tidak sedikit. Ketika pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi pada kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi Papua justru bertumbuh.
”Ketika ekonomi nasional terkontraksi 5,2 persen, pertumbuhan ekonomi di Papua naik 4,3 persen. Sebesar 79 persen merupakan kontribusi dari sektor pertambangan dari Freeport,” kata Tony.
Studi LPM UI mengenai sumbangan Freeport Indonesia terhadap pendapatan domestik regional bruto mencapai 30 persen di tingkat provinsi dan 80 persen di Kabupaten Timika. Total kontribusi terhadap perekonomian nasional 20 juta dollar AS. Kontribusi ini akan terus meningkat menjadi lebih dari 40 juta dollar AS atau sekitar Rp 450 triliun.
Kebijakan pemerintah agar Freeport Indonesia membangun smelter pun diikuti walaupun pembangunan smelter ini tidak ekonomis. Freeport Indonesia sedang membangun smelter di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur. Menurut perhitungan, ada selisih antara biaya operasional smelter dan pendapatan atau Treatment Charge and Refining Charge (TCRC) sebesar 300 juta dollar AS per tahun.
Di berbagai kesempatan pun, anggota DPR sudah mendesak Freeport untuk menuntaskan pembangunan smelter ini. Anggota Komisi VII DPR dari Partai Amanat Nasional, Andi Yuliani Paris misalnya, mengatakan, pembangunan smelter di Gresik tetap harus tuntas tepat waktu meski ada pandemi Covid-19. Sebab, rencana smelter itu sudah disusun dan disiapkan sejak bertahun-tahun lalu.
Sementara anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, berpendapat, membangun smelter tak memberi untung besar bagi perusahaan tambang. Namun, ketentuan kewajiban mengolah dan memurnikan mineral tambang di dalam negeri diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, Freeport tetap wajib melanjutkan pembangunan smelter.
”Kami paham bahwa dengan mengekspor konsentrat ke luar negeri untuk diolah di smelter lebih menguntungkan ketimbang membangun smelter di sini. Namun, ini amanat undang-undang," ucap Kardaya. (Kompas, 28 Agustus 2020).
Namun, faktanya pembangunan smelter memang terhambat karena wabah Covid-19 selain karena Gresik memberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Kontraktor dari Jepang dan Kanada pun terkena dampak wabah. ”Kami akan mengajukan permintaan kelonggaran kepada pemerintah,” ditambahkan Tony.