”Turbulensi” di sektor transportasi udara belum juga berakhir meski pembatasan telah dilonggarkan pemerintah. Penerapan protokol kesehatan saja terbukti belum cukup memupus hambatan psikologis masyarakat pengguna.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Awal bulan ini Badan Pusat Statistik merilis data perkembangan sektor transportasi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pukulan pandemi Covid-19 sangat terasa di bidang transportasi, khususnya angkutan udara. Ada faktor psikologis yang membuat masyarakat masih khawatir untuk bepergian.
Secara bulanan, jumlah penumpang pesawat cenderung naik. Penumpang angkutan udara domestik pada Agustus 2020 sebanyak 1,99 juta orang atau naik 36,23 persen dibandingkan dengan Juli 2020 yang tercatat 1,45 juta orang. Namun, secara kumulatif jumlah penumpang angkutan udara domestik sepanjang delapan bulan pertama tahun 2020 turun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Jumlah penumpang pesawat sepanjang Januari-Agustus 2020 sekitar 21,6 juta orang atau turun 56,99 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2019 yang sebanyak 50,3 juta orang.
Kondisi serupa terjadi di penerbangan internasional. Jumlah penumpang angkutan udara ke luar negeri atau internasional pada Agustus 2020 sebanyak 31.100 orang atau naik 21,01 persen dibandingkan dengan Juli 2020 yang sebanyak 25.700 orang. Namun, jumlah penumpang internasional sepanjang Januari-Agustus 2020 terdata 3,48 juta orang atau anjlok 71,51 persen dibandingkan dengan periode sama 2019 yang sebanyak 12,2 juta orang.
Angka kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia juga menunjukkan pola serupa. Sepanjang Agustus 2020, terdata 165.000 orang. Namun, BPS mencatat, kunjungan wisman ini lebih ke urusan bisnis—bekerja atau misi, bukan untuk berlibur ataupun kunjungan yang sifatnya leisure. Secara bulanan, jumlah wisman naik 4,45 persen, tetapi secara tahunan anjlok 89,22 persen.
Grafik pergerakan jumlah wisman pada April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus 2020 relatif mendatar. Hal ini mengindikasikan pemulihan jumlah kunjungan wisman masih memerlukan waktu panjang. Situasi ini membenarkan pendapat sejumlah pihak sebelumnya yang memproyeksikan ”turbulensi” panjang industri penerbangan dan sektor terkait lain.
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia Chappy Hakim mengatakan, untuk pertama kalinya, dunia penerbangan global berada pada situasi yang sangat buruk. Maskapai penerbangan di seluruh dunia pun melakukan strategi efisiensi untuk bertahan hidup, mulai dari pemutusan hubungan kerja pilot dan kru, memohon bantuan dana talangan dari pemerintah, hingga memarkir sejumlah besar armada pesawatnya.
Kajian yang dilakukan ahli penerbangan menunjukkan, pemulihan kembali sistem transportasi udara akan membutuhkan waktu relatif lebih lama dari sektor lain, yakni 3-5 tahun. Kajian Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menunjukkan, sistem transportasi udara global akan kembali pada 2023 untuk skenario optimistis.
Pembukaan kembali aktivitas perekonomian di sejumlah negara dan dicabutnya restriksi perjalanan tidak serta-merta memulihkan kondisi industri penerbangan. Ada faktor psikologis yang membuat masyarakat masih enggan bepergian jauh menggunakan pesawat di tengah pandemi Covid-19.
Keberhasilan menangani persoalan kesehatan dinilai menjadi kunci memulihkan kunjungan wisatawan sekaligus transportasi sebagai salah satu sektor pendukungnya. Selama pandemi Covid-19 tak kunjung teratasi, pemulihan bakal semakin lama.
Ada hal yang saat ini patut kita renungkan. Pemerintah, pelaku usaha transportasi, dan pemangku kepentingan, beberapa bulan terakhir gencar mengampanyekan penerapan protokol kesehatan di sektor transportasi. Tujuannya, antara lain, membangkitkan kepercayaan bertransportasi.
Akan tetapi, di tengah gencarnya kampanye itu, data menunjukkan jumlah penumpang pesawat masih rendah dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Kondisi ini menyadarkan bahwa kepercayaan publik untuk bertransportasi bukan semata soal sarana dan prasarana transportasi.
Kepercayaan publik untuk beraktivitas, berbelanja, berwisata, atau bepergian amat bergantung pada penanganan pandemi di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Ketika kasus Covid-19 masih meruyak di berbagai tempat, orang tentu masih akan enggan bepergian.
Pandemi telah menyaring pengguna transportasi. Para pengguna layanan transportasi relatif hanya mereka yang benar-benar butuh untuk bepergian, bukan orang yang sekadar ingin bepergian. Jadi, jelas bahwa keberhasilan menangani pandemi Covid-19 adalah kunci mengakhiri ”turbulensi” ini.