Melamar Hidup di Tengah Ketidakpastian
Mencari kerja di masa pandemi Covid-19 ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Wawancara demi wawancara dilakoni para pencari nafkah. Hasilnya nihil. Malah justru pekerjaan di tangan yang melayang.
Mencari kerja di masa pandemi Covid-19 ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Wawancara demi wawancara dilakoni para pencari nafkah. Hasilnya nihil. Malah justru pekerjaan di tangan yang melayang.
Selasa (6/10/2020) siang, Mochtar Bona (23) tampak necis dengan setelan kemeja berwarna biru muda, celana kain hitam, dan sepatu pantofel. Rupanya ia baru saja menuntaskan sesi wawancara virtual bersama petinggi salah satu perusahaan yang diincarnya.
Pria lulusan manajemen dari Universitas Bengkulu ini tidak ingat berapa banyak perusahaan yang sudah dikiriminya surat lamaran sejak Agustus hingga Oktober 2020. Akan tetapi, belum ada satu pun yang berbalas.
Baca juga : Pegawai Honorer Kian Khawatir dengan Kesejahteraan Mereka
Ia mengetahui risiko mencari kerja di masa pandemi ini, yakni tidak banyak perusahaan membutuhkan pekerja baru. Akan tetapi, situasi di Bengkulu, kampung halamannya, tidak lebih baik. Karena itulah, ia nekat merantau ke Jakarta.
”Agustus lalu, saya berangkat ke Jakarta. Lalu, saya ngontrak di Bekasi sama teman yang sama-sama merantau dari Bengkulu,” katanya saat ditemui di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa siang.
Merantau di masa pandemi sebenarnya bukan rencana awalnya. Apa daya, kontraknya sebagai tenaga marketing perusahaan otomotif di Bengkulu dihentikan oleh pihak pemberi kerja, pertengahan tahun ini. Dari kontrak dua tahun, Bona baru melakoni satu tahun saat ia diminta keluar dari perusahaan itu. Ia hanya bisa pasrah.
Pihak perusahaan beralasan, Bona gagal memenuhi target menjual satu unit mobil dalam sebulan. Masalahnya, Bona mendapatkan area kerja di lingkup petani. Akhir-akhir ini, pertanian masuk masa paceklik. Penjualan pun merosot di masa pandemi.
”Seharusnya, kalau selama dua tahun bisa memenuhi target perusahaan, saya bisa jadi karyawan tetap. Tapi, kemarin baru satu tahun kurang,” ungkapnya.
Baca juga : Hak dan Perlindungan Buruh Tercederai
Menurut Bona, perusahaannya memang gencar mengurangi karyawan lantaran penjualan mobil juga seret selama pandemi Covid-19. Karyawan kontrak seperti Bona tinggal menunggu waktu menjadi tumbal. Sementara karyawan tetap sebagian besar masih dipertahankan.
Gajinya di perusahaan otomotif juga mengacu pada upah minimum regional (UMR) di sana. ”Kalau dibilang nyaman, sih, enggak, ya. Cuma waktu itu saya pengin cari pengalaman saja, sih, jadi tetap nyoba jalanin,” ujarnya.
Bona tidak sendiri mengalami penghentian mendadak dari kantornya. Dini (26) juga merasakan hal yang sama. Setelah bekerja dua tahun di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta Selatan, statusnya sebagai pegawai kontrak tak lagi dilanjutkan. Pihak manajemen tak memberikan penjelasan memadai tentang penghentiannya. Sejak September, Dini pun berstatus pengangguran.
Bagi Dini, transparansi manajemen sangat penting. Kalau manajemen tidak transparan, karyawan akan berprasangka buruk. Di lembaga terakhir tempat dia bekerja, misalnya, tidak menjelaskan seberapa besar pemotongan gaji selama pandemi Covid-19. ”Pokoknya ngomongin uang itu tabu banget di kantor,” ujarnya.
Ditambah lagi, hak-hak dasar seperti jaminan sosial pun tak diberikan. Selagi masih bekerja, Dini tidak didaftarkan ke BPJS Kesehatan, apalagi BPJS Ketenagakerjaan. Dia keluar dari lembaga tersebut juga hanya mengantongi uang ”terima kasih” sebesar satu bulan gaji.
Sebagai pencari kerja, Dini sempat ditawari bekerja di lembaga pemerintah yang mengurus dana perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, dia tak menindaklanjuti tawaran itu karena pandangannya terkait dengan lingkungan yang bertentangan dengan bidang kerja itu.
Di sisi lain, Dini pun khawatir iklim pekerjaan kian tak menentu dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dini, yang sedang melayangkan lamaran ke sejumlah perusahaan, berencana akan menanyakan kontrak kerja secara detail ke calon pemberi kerja saat panggilan wawancara. Ia butuh kejelasan terkait dengan implikasi pengesahan RUU Cipta Kerja bagi peraturan perusahaan.
”Menurutku, perusahaan bakal punya kuasa lebih dengan RUU Cipta Kerja ini. Akan tetapi, kita sebagai kandidat atau calon karyawan juga bisa bertanya ke perusahaan itu tentang respons mereka terkait RUU Cipta Kerja ini,” tuturnya.
Berpindah kerja
Bagi generasi milenial seperti ini, berpindah kerja adalah hal biasa. Penyebabnya tidak melulu urusan gaji. Dini pernah bekerja sebagai pekerja lepas (freelance) di berbagai instansi pemerintah sejak ia lulus kuliah tahun 2016 hingga pertengahan 2018. Di periode ini, ia merasa idealisme semasa kuliah masih tinggi sehingga banyak tidak cocok dengan iklim kerjanya.
Pada Januari 2018, misalnya, dia bekerja di agensi yang dekat dengan salah satu kementerian. Gajinya lumayan besar. ”Namun, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)-nya kenceng banget di situ. Akhirnya saya pindah ke salah satu LSM pada akhir Agustus 2018,” katanya.
Selain Dini, karyawan swasta asal Jakarta Utara, Rian (29), sudah keluar-masuk empat perusahaan yang berbeda. Bedanya, Rian bukan didepak oleh perusahaan, melainkan mengundurkan diri. Artinya, sudah tiga kali Rian melayangkan surat pengunduran diri sebelum bergabung pada perusahaannya sekarang.
Dari keempat perusahaan tersebut, Rian pernah sekali merasakan mewahnya menjadi karyawan tetap, yakni saat di perusahaan kedua. Selebihnya, ia menyandang status sebagai karyawan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Secara umum, ada dua alasan yang membuat Rian mencari tempat kerja baru. Pertama, ia ingin mendapatkan penghasilan yang lebih. Kedua, ia mendambakan karier yang lebih mentereng. ”Murni karena diri sendiri, sih. Bukan karena imbas dari kebijakan kantor,” katanya saat dihubungi.
Baca juga : Milenial Itu Benar
Sebenarnya, Rian mampu bertahan selama empat tahun di perusahaan keduanya. Selain karena sudah menjadi karyawan tetap, gaji dan bonus yang didapatkan tergolong melimpah. Hanya saja, persaingan untuk menapaki jenjang yang lebih baik terasa berat di sana.
Berganti baju perusahaan dilakoninya demi merasakan atmosfer kerja yang lebih kondusif. Bagi Rian, percuma saja kesejahteraan terjamin apabila kenyamanan minim. ”Makanya kemarin memutuskan keluar, salah satu alasannya karena itu juga,” ucapnya.
Di tempat kerja sebelumnya, Rian lebih banyak bersinggungan dengan karyawan-karyawan yang lebih tua. Pola komunikasi yang terjalin sering kali hanya satu arah. Selain itu, pola kerja di sana terlalu administratif.
Hal itu sangat bertolak belakang dengan iklim kerja yang dia harapkan. Sebagai kaum milenial, ia cenderung tertarik dengan ruang kerja yang dihuni oleh para pekerja muda. Pekerja muda diyakininya lebih berpikiran terbuka sehingga mudah menerima pendapat orang lain.
”(Alasan keluar) juga pengin cari perusahaan yang gak terlalu administratif dan birokratif, asalkan masih di jalur yang benar,” ucapnya.
Baca juga : Muhammad Faisal: Pandemi Akan Mengubah Generasi Muda Kita
Berpindah-pindah tempat kerja juga dipilih Cindy Silviana (32). Selama 10 tahun terakhir, ia sudah merasakan bekerja di lima perusahaan, baik nasional maupun internasional. Ketika masih lajang, Cindy lebih banyak bekerja sesuai dengan minat. Diberi upah minim tidak masalah asalkan nyaman dan pekerjaan sesuai selera.
”Ketika sudah berkeluarga dan punya anak, faktor gaji jadi salah satu penentu juga. Jadi, aku umumnya mempertimbangkan apakah gajinya lebih tinggi atau minimal sama dengan yang aku dapat saat ini. Aku juga tetap mempertimbangkan apakah di tempat baru aku bisa semakin berkembang dalam hal karier dan skill,” ujarnya.
Sebagai lulusan London School of Public Relations, Jakarta, menjadi koresponden di kantor berita internasional adalah impian terbesarnya. Selain mendapat upah lebih besar, bekerja di kantor berita internasional memungkinkan karyanya tersebar di berbagai belahan dunia. Ini sebenarnya telah dia raih ketika bekerja di salah satu kantor berita internasional pada 2014-2019. Berkarya selama lima tahun di tempat ini, dia merasa nyaman. Iklim kerja akrab dan penuh kekeluargaan. Namun, persoalan lain muncul.
”Aku merasa skill-ku tidak banyak berkembang. Jadi, aku pindah ke media yang bisa membantu aku meningkatkan skill. Di sisi lain, gajiku tidak turun dengan pertimbangan agar biaya keluarga tak terganggu,” kata perempuan yang tinggal di Jakarta Barat ini.
Ibu satu anak ini pun tak mau larut dalam zona nyaman. Dia berpendapat, zona nyaman menjebaknya dalam rutinitas. Tantangan pun semakin berkurang. ”Sementara aku merasa harus tetap meningkatkan kemampuanku,” ucapnya.
Bekerja sebagai karyawan kontrak di perusahaan internasional punya tantangan tersendiri. Meski berpenghasilan lebih besar, dia tak mendapat jaminan sosial. Apabila mengundurkan diri dari perusahaan, tak ada tunjangan yang bisa diterima. Dana pensiun ataupun asuransi dia bayar secara pribadi. Ini berbeda ketika dia di perusahaan nasional yang mendapat tunjangan BPJS Ketenagakerjaan dan uang pensiun.
Untuk itu, dia mempelajari betul perusahaan tempatnya berlabuh. Dia mencari tahu riwayat perusahaan sekaligus ulasan dari para pekerjanya. Dia harus memastikan tidak masuk ke perusahaan yang sedang atau menuju tenggelam.
Di sisi lain, dia teratur menyisihkan pendapatan untuk hari tua. Sebagian gaji bulanan, dia gunakan untuk investasi seperti membeli reksa dana, asuransi, dan uang pensiun. Tabungan ini menjadi pegangannya ketika sudah tak bekerja lagi.
Apa boleh buat. Berstatus karyawan kontrak memang membuat hidup serba tidak pasti, seperti kisah Bona hingga Dini.