RUU Cipta Kerja Bukan Solusi
Di masa krisis akibat pandemi Covid-19, pembahasan RUU Cipta Kerja dikebut. Peran RUU Cipta Kerja sebagai solusi persoalan yang dihadapi Indonesia dipertanyakan.

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menuntaskan pembahasan awal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di tingkat Badan Legislasi DPR, Sabtu (3/10/2020) malam. Keputusan pada rapat yang dimulai pukul 21.00 WIB itu diambil setelah 63 kali rapat dalam 6 bulan terakhir.
RUU Cipta Kerja tinggal satu langkah menuju disahkan menjadi undang-undang. Jadwal rapat paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja belum ditentukan. DPR akan memasuki masa reses pada 9 Oktober 2020.
Dalam rapat Sabtu malam, dari sembilan fraksi di DPR, hanya dua fraksi yang menolak RUU Cipta Kerja disahkan sebagai UU, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Demokrat.
RUU Cipta Kerja disusun dengan mekanisme omnibus law (sapu jagat) yang materinya mencakup 76 UU. RUU ini terdiri dari 15 bab dan 174 pasal.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melalui siaran pers, Minggu (4/10/2020), menyampaikan, RUU Cipta Kerja diperlukan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi. ”RUU ini untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja,” kata Airlangga.
Namun, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menekankan, selama Indonesia belum mampu menekan penularan Covid-19, investasi akan tetap terbatas kendati RUU Cipta Kerja dipaksakan disahkan sesegera mungkin. RUU Cipta Kerja bukan solusi pemulihan ekonomi yang efektif sebagaimana diharapkan pemerintah.
”Pada dasarnya, masalah utama adalah pandemi Covid-19 yang seharusnya jadi prioritas utama justru tidak ditanggulangi,” kata Faisal.
Baca juga : Pikir Ulang RUU Cipta Kerja
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi pada triwulan II-2020 sebesar Rp 191,9 triliun atau turun 4,3 persen secara tahunan.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, berpendapat, jika Indonesia tidak mampu menjinakkan Covid-19, investor tetap ragu menanamkan modal meskipun karpet merah digelar lewat regulasi baru.
Selama Indonesia belum mampu menekan penularan Covid-19, investasi akan tetap terbatas kendati RUU Cipta Kerja dipaksakan disahkan sesegera mungkin.

Buruh menyiapkan balon untuk aksi damai menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/7/2020). Buruh menyatakan bahwa jika RUU disahkan menjadi UU, akan mengancam kesejahteraan buruh.
Enny menambahkan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah merupakan modal sosial bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal, dalam setahun terakhir, kepercayaan terhadap pemerintah tercoreng sejumlah regulasi dan kebijakan tanpa mengindahkan masukan publik. Regulasi itu, antara lain, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan revisi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dikebut.
Langkah pemerintah dan DPR memaksakan pembahasan RUU Cipta Kerja agar segera disahkan kian mencoreng rasa percaya publik. Hal ini akan memengaruhi stabilitas sosial dan politik yang bisa membuat iklim investasi tidak kondusif.
Membatasi akses
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, menyampaikan, pembahasan RUU Cipta Kerja pada masa pandemi Covid-19 membatasi akses dan partisipasi masyarakat dalam memberi masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU itu.
”Padahal, undang-undang ini akan berdampak luas bagi banyak orang dan bagi bangsa ini,” kata Ledia.
Ledia menambahkan, RUU Cipta Kerja memuat substansi peraturan yang berpotensi merugikan tenaga kerja dan buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menekankan, RUU Cipta Kerja tidak memiliki urgensi dan kegentingan memaksa di tengah pandemi. ”Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental yang menyangkut kepentingan masyarakat luas,” katanya.
Sementara itu, buruh berencana mogok kerja pada 6-8 Oktober dan berunjuk rasa di depan gedung DPR pada saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia Nining Elitos mengatakan, buruh tidak dihadapkan pada pilihan lain selain turun ke jalan dan melawan praktik legislasi yang semena-mena. ”Di masa pandemi, ketika rakyat sedang khawatir akan kesehatan dan keselamatan, kami dipaksa turun ke jalan. Tidak ada itikad baik dan keseriusan negara untuk peduli dengan nasib rakyat,” katanya.
Baca juga : Buruh Mogok Hadapi RUU Cipta Kerja
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, buruh akan mogok di lingkungan perusahaan mereka.
Buruh tidak dihadapkan pada pilihan lain selain turun ke jalan dan melawan praktik legislasi yang semena-mena.

Suasana di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, saat menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) secara virtual tentang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja bersama pengusaha Emil Arifin, Selasa (5/5/2020). Pekan lalu, Baleg DPR RI juga menggelar RDPU dengan sejumlah pakar hukum dan perundangan untuk menghimpun masukan terkait pembahasan RUU Cipta Kerja. Sebelumnya, pemerintah menyatakan menunda pembahasan draf RUU Cipta Kerja agar pemerintah dan DPR memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan tentang cipta kerja.
Poin-poin dalam RUU Cipta Kerja yang ditolak buruh, di antaranya, pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) serta pekerja alih daya yang fleksibel dan berpotensi membuat buruh dikontrak seumur hidup. Buruh juga menolak penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) dari RUU Cipta Kerja dan menyoroti pesangon bagi pekerja yang di-PHK berkurang, dari maksimal 32 kali upah menjadi 25 kali upah.
Menurut Faisal, beberapa ketentuan dalam RUU Cipta Kerja justru mengancam pertumbuhan ekonomi. Sebab, ketidakpastian kerja, pemutusan hubungan kerja yang lebih mudah, dan upah yang lebih kecil bagi pekerja akan menekan konsumsi rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga berperan lebih dari 50 persen dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga terkontraksi 5,51 persen secara tahunan yang menyeret pertumbuhan ekonomi RI menjadi minus 5,32 persen.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas , Minggu, mengatakan, Baleg sudah mengirim surat kepada pimpinan DPR agar menjadwalkan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) pimpinan DPR. Dalam Rapat Bamus akan ditentukan jadwal rapat Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.