Pemangkasan suku bank deposito, seiring turunnya suku bunga acuan dan penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan, membuat nasabah mempertimbangkan ulang produk deposito.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bank telah memangkas suku bunga deposito ke tingkat 3 persen. Penurunan ini terjadi seiring turunnya suku bunga acuan dan penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan. Kondisi ini membuat nasabahmenimbang ulang produk deposito sebagai alternatif penyimpanan uang.
Pada 28 September 2020, LPS menetapkan penurunan tingkat bunga penjaminan sebesar 25 bps masing-masing untuk simpanan dalam rupiah dan valuta asing. Tingkat bunga penjaminan rupiah di bank umum menjadi 5 persen, sedangkan di bank perkreditan rakyat 7,5 persen. Ini berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan 29 Januari 2021.
Pada 16-17 September 2020, Bank Indonesia dalam rapat dewan gubernur (RDG) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) di tingkat 4 persen.
Berdasarkan data Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Bank Indonesia pada Jumat, 2 Oktober 2020, bunga deposito tertinggi di bank saat ini sebesar 6 persen. Namun kebanyakan bank kini menetapkan tenor di level 3 persen untuk tenor 1 bulan sampai 12 bulan. Situasi ini membuat sejumlah nasabah menimbang ulang produk deposito.
Kristina (25), pekerja swasta di Jakarta, yang biasa berinvestasi di produk deposito salah satu bank swasta, kini gigit jari. Produk deposito yang awalnya menawarkan bunga sampai 10 persen, kini hanya menyesuaikan tingkat suku bunga sampai setengahnya.
”Dengan bunga sebelumnya, saya menargetkan dapat uang sekian untuk biaya pernikahan tahun depan. Penurunan suku bunga ini membuat saya harus menyesuaikan target awal saya menabung di deposito,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Minggu (4/10/2020).
Kristina pun sempat terpikir untuk mengalihkan alokasi investasi ke produk yang memberikan imbal balik lebih baik, seperti produk investasi di reksa dana. Ia juga tergoda untuk berinvestasi di logam mulia emas, tetapi harga yang fluktuatif membuatnya ragu.
Ibu rumah tangga seperti Ratna (31) bahkan sudah mengubah rencana menabung deposito ke produk investasi obligasi ritel negara (ORI) yang berisiko rendah. ORI dipilih karena bunga yang ditawarkan bersifat tetap dan masih berkisar 6 persen. ”Saya pikir, investasi ORI lebih aman karena sudah ada ketetapan sejak awal hingga tenor yang ditentukan,” katanya.
Sementara itu, Gatot Trisno (56), yang baru pensiun dari perusahaan swasta, mengaku masih mengandalkan deposito untuk menyimpan uang pensiunnya. Namun, penyesuaian suku bunga membuatnya memburu produk deposito yang memberikan bunga terbaik.
”Memang agak kaget begitu tahu suku bunga deposito turun serendah itu. Namun, setelah dicari-cari, masih ada bank yang memberi bunga lebih tinggi dan tambahan yang lumayan,” ujarnya.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa pernah menyampaikan, kebijakan penurunan tingkat bunga penjaminan simpanan diambil berdasarkan beberapa pertimbangan.
”Arah suku bunga simpanan perbankan yang masih menunjukkan tren penurunan, kondisi dan prospek likuiditas yang relatif stabil, serta perkembangan terkini dari kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian jadi pertimbangan,” katanya dalam keterangan tertulis.
DBS Chief Investment Officer Hou Wey Fook, (Kompas, 1/10/2020), menyoroti, perubahan dunia di masa pandemi seperti sekarang menekan dan menghambat kapitalisasi pasar ekuitas. Meski demikian, menurut dia, investasi tetap harus dilakukan, tetapi dengan pendekatan yang berbeda demi memperkecil risiko.
”Masyarakat disarankan tetap berinvestasi dalam portofolio jangka panjang,” ujar Fook dalam telekonferensi DBS CIO Insight, beberapa waktu lalu. Investor disarankan mempertahankan durasi portofolio rata-rata selama lima tahun. Tujuannya menghindari kerugian akibat penurunan keuntungan jangka pendek.
Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Budi Hikmat mengingatkan agar masyarakat mulai mengubah paradigma berinvestasi terutama dalam kondisi pandemi Covid-19. Alokasi investasi disisihkan sejak awal, bukan sisa dari pengeluaran. ”Alokasi investasi tidak perlu dalam jumlah besar. Masyarakat dapat menyisihkan 2,5-5 persen dari pendapatan untuk berinvestasi,” sarannya.
Di Indonesia, instrumen investasi surat berharga negara (SBN) ritel menjadi pilihan cocok saat ini karena imbal hasil lebih tinggi daripada tingkat inflasi dan risiko gagal bayar juga sangat rendah.