Pandemi Covid-19 Tak Selalu ”Force Majeure” dalam Kontrak Bisnis
Pandemi Covid-19 tak bisa serta-merta dijadikan alasan mengklaim ”force majeure” atau keadaan memaksa dalam kontrak usaha. Perlu ada pembuktian fakta lebih lanjut untuk menetapkan suatu keadaan dinyatakan force majeure.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Covid-19 memang telah ditetapkan sebagai pandemi global dan di Indonesia ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam. Namun, kondisi ini tidak serta-merta dapat dijadikan sebagai dasar penetapan force majeure atau keadaan kahar dalam kontrak usaha.
Dasar hukum suatu kondisi dikatakan force majeure dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1244, yaitu debitor harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Adapun dalam Pasal 1245 dikatakan, tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Kedua unsur ini dibaca secara satu kesatuan.
Managing Partner Solis Advisors Andhika Putra menjelaskan, melalui kedua pasal ini, maka suatu kondisi dikatakan keadaan kahar atau memaksa apabila terdapat unsur tidak terduga dan tidak ada itikad buruk (dalam Pasal 1244). Unsur lainnya, tidak disengaja dan pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban atau pihak dapat melanggar peraturan (dalam Pasal 1245).
”Misalnya dengan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berdampak pada supplier X sehingga tidak dapat mengirim barang ke luar daerahnya. Kondisi ini bisa dimasukkan ke dalam keadaan memaksa karena memang ruang gerak menjadi terbatas,” ujar Andhika yang juga merupakan praktisi hukum konstruksi.
Berbeda keadaannya apabila PSBB menghambat impor bahan baku produksi. Kondisi ini perlu dilihat secara rinci, apakah sebenarnya ada bahan lokal yang bisa menjadi substitusinya. Jika ada, klaim force majeure tidak dapat diterapkan dalam keadaan tersebut.
”Kita harus kritis dalam memandang suatu kejadian apakah itu termasuk force majeure atau tidak sebelum kita mengklaimnya. Wajahnya pandemi Covid-19 tetapi di belakangnya bagaimana? Harus ada pembuktian atau verifikasi dengan fakta untuk menyatakan kondisi tersebut termasuk force majeure,” kata Andhika.
Diskusi ini dibahas dalam webinar Force Majeure: Diskusi Penerapan secara Teori dan Praktik di Situasi Pandemi Covid-19, Jumat (2/10/2020). Hadir pula sebagai narasumber yaitu praktisi hukum energi, Puji Atma.
Puji Atma menjelaskan, ketentuan force majeure dalam kontrak perlu diperhatikan untuk menentukan apakah pihak yang terdampak dapat mengajukan klaim force majeure. Dalam kondisi pandemi Covid-19, apabila memang dirasakan ada dampak yang signifikan, ruang negosiasi dapat dibuka.
Ruang negosiasi dapat dibuka dengan menerapkan asas rebus sic stantibus yang tunduk pada kesepakatan dan itikad baik. Meski berbeda dengan force majeure yang dapat menghentikan kontrak secara absolut, asas ini dapat diterapkan untuk membuka negosiasi.
”Kalau benar-benar Covid-19 ini berdampak besar, bisa membuka negosiasi untuk memasukkan klausul tertentu dalam kontrak. Misalnya, ada pasal tertentu yang menunjukkan kita sepakat dengan adanya Covid-19 tetapi tetap mau melaksanakan kewajiban dengan timeline (garis waktu) yang lebih fleksibel,” kata Puji.
Kewajiban finansial
Andhika menyampaikan, force majeure harus dibedakan dengan ketidakmampuan finansial. Menurut A Pitlo dalam buku Algemeen Deel Van Het Verbintenissenrecht, ketidakmampuan finansial tidak pernah merupakan suatu force majeure meskipun timbul bukan karena kesalahan debitor.
Dalam Pasal 1131 KUHPerdata juga disebut, segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitor itu.
”Artinya, selama dia (debitor) tidak dinyatakan pailit secara hukum, maka semua kewajibannya harus dibayar. Pada prinsipnya, force majeure tidak serta-merta bisa menghentikan kewajiban finansial pihak yang bersangkutan,” ujar Andhika.
Ketentuan ini pun termasuk untuk membayar upah tenaga kerja sekalipun diberlakukan masa penghentian pekerjaan sementara waktu. Dengan begitu, pemutusan hubungan kerja tidak dapat selalu dibenarkan dengan alasan pandemi sebagai force majeure.