Polemik Nuklir sebagai Sumber Pembangkit Tak Kunjung Usai
Nuklir tak kunjung usai menjadi bahan perdebatan terkait penggunaannya untuk tenaga listrik di Indonesia. Nasibnya harus diperjelas agar tak menggantung selamanya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polemik penggunaan nuklir sebagai sumber energi primer pembangkit listrik masih terus berlangsung. Nuklir menjadi salah satu pokok bahasan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan di DPR. Dalam aturan yang masih berlaku, nuklir dijadikan sumber energi pilihan terakhir di Indonesia.
Direktur Eksekutif ASEAN Centre for Energy Nuki Agya Utama mengatakan, nuklir adalah salah satu opsi yang tepat dalam hal pemenuhan energi berskala besar dengan nilai keekonomian yang lebih baik. Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) cukup aman dan stabil di kawasan ASEAN.
Sementara di Jepang, energi nuklir dianggap sebagai energi yang stabil dan tanpa emisi. Energi tersebut berperan sebesar 20-22 persen dalam bauran energi Jepang pada 2030.
”Pembangkit bersumber energi nuklir dapat dimulai melalui komitmen yang kuat dari pemerintah, pemahaman masyarakat yang baik, serta dukungan kebijakan dan berbagai pemangku kepentingan lainnya,” kata Nuki dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara virtual tentang Pembahasan RUU Energi Baru dan Terbarukan, Kamis (1/10/2020).
Ketua Umum Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) Susilo Widodo berpendapat, perlu iklim yang kondusif untuk mendorong pengembangan sumber energi baru dan terbarukan, termasuk terwujudnya PLTN di Indonesia. HIMNI mendukung pasal-pasal dalam RUU yang lebih memberi kepastian terhadap pengembangan nuklir di Indonesia.
”Sulit rasanya mewujudkan bauran energi nasional dalam 2025 tanpa dukungan tenaga nuklir. Persyaratan ke sana (membangun PLTN) seharusnya tidak berlebihan, tetapi tetap memperhatikan faktor keselamatan,” ujarnya.
Dalam siaran pers, peneliti pada Yayasan Indonesia Cerah, Wira Dillon, menyatakan, nuklir seharusnya tidak dimasukkan dalam pembahasan RUU Energi Baru dan Terbarukan. Pasalnya, nuklir memiliki aturan tersendiri, yaitu dalam UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir telah ditetapkan sebagai pilihan terakhir dalam penyediaan energi di Indonesia.
”Kondisi Indonesia yang berdiri di atas kawasan rawan gempa dan cincin api berpotensi terjadinya gempa dan tsunami. Kondisi ini sangat tidak stabil dan berpotensi mengganggu pengoperasian PLTN di Indonesia,” ujar Wira.
Kondisi Indonesia yang berdiri di atas kawasan rawan gempa dan cincin api berpotensi terjadinya gempa dan tsunami. Kondisi ini sangat tidak stabil dan berpotensi mengganggu pengoperasian PLTN di Indonesia.
Dalam seminar daring tentang evaluasi kebijakan energi nasional, Senin (28/9/2020), anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2014-2017, Andang Bachtiar, mengatakan, selama ini masih terjadi tarik ulur perlu tidaknya pemanfaatan nuklir sebagai sumber pembangkit listrik di Indonesia. Oleh karena itu, status nuklir perlu dipertegas, yaitu apakah bisa diaplikasikan atau tidak.
DPR perlu mendorong Presiden untuk memastikan nasib nuklir di Indonesia sebagai sumber energi listrik. ”Kalau tidak (segera diputuskan), nuklir akan menjadi perdebatan selamanya. Tidak jelas nasibnya,” katanya.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S Wisnubroto mengungkapkan, Indonesia tidak kekurangan sumber daya manusia yang ahli di bidang nuklir. Di satu sisi, PLTN memiliki kelebihan sebagai pemasok energi dalam jumlah besar dan stabil. Selain itu, listrik yang dihasilkan PLTN bersifat rendah karbon.
”Adapun kelemahannya adalah pembangunan PLTN memerlukan waktu setidaknya sepuluh tahun dengan biaya lebih mahal sampai tiga kali dari ongkos investasi membangun pembangkit listrik tenaga uap. Selain itu, masih ada penolakan terhadap penggunaan nuklir di Indonesia,” katanya.
Dalam kesimpulan rapat tersebut, Komisi VII DPR menerima semua masukan terkait pembahasan nuklir sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan menjadi salah satu Program Legislasi Nasional 2019-2024. RUU ini ditujukan untuk mendorong optimalisasi pengembangan semua jenis energi nonfosil di Indonesia berkembang pesat.