Fungsi Intermediasi BPD Jaga Geliat Ekonomi Daerah
Bank pembangunan daerah punya peran strategis pada masa pendemi Covid-19 sebagai penjaga agar putaran roda ekonomi dan bisnis di daerah tidak terhenti.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas menilai, ekspansi kredit di daerah bisa menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional yang ambruk akibat pandemi Covid-19. Geliat ekonomi di daerah yang terjaga perlu diantisipasi dengan fungsi intermediasi dari bank pembangunan daerah yang berjalan optimal.
Ketua Dewan Komisoner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, penyaluran kredit melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) saat ini menjadi fokus utama otoritas untuk mengerek aktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta bisnis di daerah dengan kasus penularan Covid-19 yang minim.
Pertumbuhan ekonomi di daerah menjadi salah satu kontributor pemulihan ekonomi nasional pada masa pandemi Covid-10. Hal ini tecermin dari penyaluran kredit BPD yang hingga Juli 2020 tumbuh 8,23 persen, jauh di atas industri perbankan nasional yang sebesar 1,53 persen.
”Kami berkoordinasi dengan gubernur dan pemerintah daerah untuk memutar proyek-proyek yang utamanya bisa diterapkan untuk ekosistem UMKM,” katanya dalam acara Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Inkubasi Bisnis IV bertema ”Pemulihan Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi” yang berlangsung secara virtual, Minggu (27/9/2020) malam.
Geliat ekonomi di daerah diproyeksi masih dalam kondisi positif karena kasus Covid-19 di daerah yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan beberapa kota besar lain.
”Kenaikan kredit yang masih cukup tinggi di kelompok BPD ini menunjukkan geliat ekonomi di daerah masih cukup baik dan memiliki potensi yang besar untuk dijadikan pengungkit perekonomian nasional,” ujar Wimboh.
Kenaikan kredit yang masih cukup tinggi di kelompok BPD ini menunjukkan geliat ekonomi di daerah masih cukup baik dan memiliki potensi yang besar untuk dijadikan pengungkit perekonomian nasional.
Pekan lalu pemerintah kembali menempatkan uang negara senilai Rp 5,8 triliun untuk menambah likuiditas tujuh bank yang terdiri dari empat BPD dan tiga bank syariah.
Ketujuh bank tersebut ialah PT Bank Syariah Mandiri (Rp 1 triliun), PT Bank BNI Syariah (Rp 1 triliun), PT Bank BRI Syariah Tbk (Rp 1 triliun), PT BPD Sumatera Utara (Rp 1 triliun), PT Bank Sulselbar (Rp1 triliun), PT BPD Kalimantan Barat (Rp 500 miliar), dan PT BPD Jambi (Rp 300 miliar).
Penempatan uang negara Rp 11,5 triliun sebelumnya juga di tujuh BPD, yakni PT BPD Jabar-Banten Tbk, PT Bank Pembangunan DKI, PT BPD Jateng, PT BPD Jatim Tbk, PT BPD DIY, PT BPD Bali, dan PT Bank Sulutgo. Hingga 16 September 2020, realisasi penyaluran kredit yang dilakukan ketujuh BPD tersebut nilainya tercatat mencapai Rp 7,74 triliun.
”BPD masih memerlukan waktu untuk bisa mengungkit penempatan uang negara menjadi penyaluran kredit yang besarannya tiga hingga empat kali lipat, seperti bank BUMN yang sudah berhasil mengungkit hampir Rp 120 triliun,” kata Wimboh.
Sebelumnya, pemerintah telah menempatkan dana pada bank-bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). OJK mencatat hingga 14 September 2020, Himbara telah mengungkit penempatan uang negara senilai Rp 30 triliun menjadi penyaluran kredit yang nilainya mencapai Rp 119,84 triliun.
Direktur Bisnis Ritel dan Unit Usaha Syariah Bank Jateng Hanawijaya mengatakan, segmen konsumer jadi andalan Bank Jateng untuk ekspansi kredit selama pandemi. Dari penempatan dana Rp 2 triliun, hingga akhir Agustus 2020 Bank Jateng telah menyalurkan kredit Rp 588,4 miliar kepada lebih dari 4.000 debitor.
”Kami fokus ke dua segmen kredit, konsumer kepada kredit pegawai ASN dan produktif kredit usaha rakyat. Sejak April hingga Mei, kami mulai mengendalikan semua jenis kredit, kecuali dua segmen tadi. Penyaluran kredit di luar konsumer dan KUR harus melalui persetujuan direksi,” katanya.
Dihubungi terpisah, Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto mengatakan, setiap BPD dan bank syariah yang mendapat penempatan uang negara ditargetkan mampu mengungkit dana tersebut dalam bentuk pembiayaan ataupun kredit, minimal dua kali dari nilai penempatan dana.
Pemerintah menurunkan bunga penempatan uang negara. Sebelumnya, Himbara mendapat bunga 3,42 persen untuk penempatan tahap pertama. Pada tahun kedua, penempatan dana akan memiliki bunga 2,84 persen, berlaku untuk bank BUMN, BPD, dan bank syariah yang mendapat penempatan dana.
”Penempatan dana PEN dengan bunga rendah diharapkan dapat mendorong pemberian kredit dengan biaya rendah pula sebagai pemicu untuk kembali menjalankan aktivitas bisnis,” ujar Andin.
Andin menjelaskan, dana berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) dengan skema pembagian beban (burden sharing) bersama Bank Indonesia, khusus untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Adapun bunga dari penempatan dana yang sebelumnya dilakukan di Himbara telah disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).