”Omnibus law” sektor keuangan dipertimbangkan sebagai solusi dan terobosan untuk mendorong pendalaman pasar keuangan. Reformasi regulasi ini diklaim tidak berhubungan dengan independensi BI atau perombakan OJK.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan tidak berhubungan dengan independensi Bank Indonesia atau perombakan Otoritas Jasa Keuangan. Tujuan utama reformasi regulasi untuk pendalaman pasar keuangan.
Pemerintah tengah merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disusun melalui mekanisme omnibus law. UU sapu jagat sektor keuangan ini menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, omnibus law sektor keuangan sudah disiapkan sejak lama. Tujuannya mengatasi persoalan pasar keuangan Indonesia. Pendalaman pasar keuangan ini krusial untuk memperkuat fundamen ekonomi nasional.
Pasar keuangan Indonesia tergolong dangkal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sebagai contoh, kontribusi perbankan terhadap PDB baru 60 persen, sementara dana pensiun hanya 5,5 persen PDB. Adapun kontribusi dana pensiun di Malaysia mencapai 60 persen. Sektor keuangan syariah di Malaysia juga berkembang pesat, Indonesia tidak.
”Selama ini tabungan orang Indonesia banyak yang ke luar negeri. Tabungan jangan dikira hanya taplus, tahapan, deposito, atau produk perbankan lainnya. Sebagian mereka menabung di saham dan obligasi,” ujarnya dalam telekonferensi pers, Jumat (25/9/2020).
Omnibus law sektor keuangan dipertimbangkan sebagai solusi dan terobosan untuk menyelesaikan hambatan regulasi yang tersebar di banyak UU terkait sektor jasa keuangan. Nantinya, omnibus law akan mengakomodasi beberapa perubahan dalam UU Pasar Keuangan dan UU Perbankan. Selain itu, ada regulasi baru terkait dana pensiun.
Omnibus law sektor keuangan akan memberikan kepastian bagi lembaga keuangan dan investor. Lembaga keuangan dapat mendiversifikasi instrumen tabungan di luar produk perbankan. Semakin banyak pilihan instrumen, tabungan dalam negeri akan semakin besar.
”Omnibus law sektor keuangan tidak ada hubungannya dengan apa yang selama ini dibicarakan, seperti RUU BI atau independensi BI,” katanya.
Omnibus law sektor keuangan tidak ada hubungannya dengan apa yang selama ini dibicarakan, seperti RUU BI atau independensi BI.
Ketimpangan tabungan
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi persoalan ketimpangan tabungan investasi yang cukup besar. Kapasitas modal dari dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan investasi sehingga diperlukan modal asing, baik berupa investasi langsung maupun portofolio.
Data Bank Dunia menunjukkan, rasio tabungan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama periode 1981-2019 cukup fluktuatif. Rasio tabungan terendah 13,20 persen PDB tahun 1999 dan tertinggi mencapai 33,22 persen PDB pada 2011. Pada 2019, rasio tabungan Indonesia sekitar 31 persen PDB.
Kepala Ekonom Danareksa Moekti Prasetiani Soejachmoen berpendapat, pendalaman pasar keuangan krusial untuk meningkatkan rasio tabungan terhadap PDB. Saat ini pilihan instrumen investasi di Indonesia masih sangat terbatas. Akibatnya, terjadi ketidakcocokan (mismatch) antara pendanaan jangka panjang dan jangka pendek.
Saat ini, investasi jangka panjang, seperti proyek infrastruktur, mayoritas didanai perbankan. Padahal, perbankan seharusnya spesifik menyediakan instrumen investasi jangka pendek. Sementara pendanaan untuk investasi jangka panjang oleh lembaga pengelola pensiun atau perusahaan asuransi.
”Pendalaman sektor keuangan sangat dibutuhkan agar ketergantungan terhadap sektor perbankan dan investor asing bisa semakin berkurang,” ujar Moekti.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, investor asing yang memegang surat berharga negara (SBN) pemerintah per 23 Juli 2020 sebesar 29,63 persen atau sekitar Rp 800 triliun. Angka itu menurun cukup dalam dari posisi awal Januari 2020 yang 38,63 persen.
Kepemilikan investor asing pada surat utang Pemerintah Indonesia lebih tinggi ketimbang sejumlah negara, seperti Thailand, Malaysia, dan China. Tingginya porsi investor asing membuat struktur pembiayaan anggaran sangat rentan terhadap hengkangnya modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow).
Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto berpendapat, porsi kepemilikan asing dapat dikurangi dengan meningkatkan basis investor domestik. Investor domestik juga dapat diperluas ke perbankan dan lembaga keuangan nonbank, terutama lembaga asuransi dan lembaga pengelola dana pensiun.
”Kalau kepemilikan asing tidak terlalu besar, pasar modal akan lebih stabil. Investor asing cenderung mudah keluar-masuk pasar,” katanya.