Sebagian pembeli di platform belanja secara digital ingin merasakan pengalaman atau produk baru yang dibeli. Padahal, kadang kala produk itu tidak diperlukan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari setengah konsumen Indonesia yang berbelanja di platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang tidak merencanakan pembelian mereka. Hal ini menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk menguatkan eksistensi digital mereka agar dilirik konsumen.
Dalam studi Facebook dan Bain&Company berjudul ”Digital Consumers of Tomorrow, Here Today” yang diluncurkan Agustus lalu, Marketing Science Lead Facebook Indonesia Adisti Latief menyatakan, kelompok konsumen itu disebut pembeli penemu (discovery buyer). ”Mereka ingin menemukan pengalaman atau produk baru (dari penawaran yang ada). Mereka dapat tertarik pada produk yang ditawarkan di kanal digital dan membelinya meskipun tidak memerlukannya,” katanya saat konferensi pers dalam jaringan atau daring, Kamis (17/9/2020).
Studi yang sama menyebutkan, 61 persen responden Indonesia tidak tahu produk yang ingin dibeli atau tak merencanakannya saat berbelanja daring. Barang-barang yang biasanya dibeli dengan terencana terdiri dari pangan segar, kebutuhan sehari-hari, perawatan diri, dan perlengkapan bayi. Sementara barang-barang yang biasanya dibeli tanpa perencanaan adalah pakaian dan mainan.
Sebanyak 61 persen responden Indonesia tidak tahu produk yang ingin dibeli atau tak merencanakannya saat berbelanja daring.
Pada kanal digital, konsumen Indonesia menemukan atau berkenalan dengan produk-produk yang ditawarkan atau pemilik jenama melalui media sosial, aplikasi pesan, dan tayangan video. Konten media sosial dengan tayangan video sekitar 15 detik dapat menarik minat calon konsumen.
Oleh sebab itu, Adisti menggarisbawahi, pemilik jenama dan pengusaha, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), mesti memperkuat eksistensi digital dan aktif menggapai konsumen. Strategi ini memerlukan pendekatan yang berorientasi pada kebutuhan konsumen.
Senada dengan riset Facebook dan Bain&Company, studi ”MarkPlus Insight: Peta Persaingan E-Commerce di Indonesia Kuartal III” yang diluncurkan MarkPlus Inc menyebutkan, 61 persen konsumen membeli produk dalam kategori pakaian di platform e-dagang selama triwulan-III 2020.
”Padahal, pakaian bukan barang yang mendesak untuk dibeli saat ini (pandemi Covid-19),” ujar Head of High Tech, Property, and Consumer Goods Industry MarkPlus Inc Rhesa Dwi Prabowo dalam kesempatan yang sama.
Dia memaparkan, studi MarkPlus Inc melibatkan 500 responden yang tersebar di kota-kota dengan tingkat penetrasi internet tinggi. Profil pendapatan responden tersebut berada di kelas menengah ke atas.
Sepanjang triwulan-III 2020, sebanyak 90 persen responden berbelanja di Shopee, selebihnya Tokopedia (58 persen) dan Lazada (35 persen). Sebanyak 83 persen responden memperoleh informasi mengenai e-dagang beserta promosinya dari televisi, iklan di laman dan media sosial e-dagang (73 persen), serta Youtube (70 persen).
Rhesa menambahkan, konsumen juga mempertimbangkan pengalaman dan kemudahan berbelanja di laman ataupun aplikasi e-dagang atau user interface/user experience. Konsumen tidak ingin menghadapi kendala saat bertransaksi. Isu keamanan transaksi menjadi pertimbangan konsumen.
Konsumen juga mempertimbangkan pengalaman dan kemudahan berbelanja di laman ataupun aplikasi e-dagang.
Selain itu, ujar Rhesa, konsumen terbiasa dengan program belanja pada tanggal cantik, seperti 9 September. ”Konsumen yang sudah terbiasa berbelanja secara daring akan menunggu tanggal-tanggal tersebut,” katanya.
Sementara itu, External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menyatakan, Tokopedia tidak dapat menanggapi hasil riset dari entitas lain. ”Yang bisa disampaikan, Tokopedia secara konsisten berkolaborasi dengan para mitra strategis untuk memberikan panggung seluas-luasnya kepada para pegiat usaha lokal, khususnya UMKM, demi mendorong pemulihan ekonomi Indonesia yang saat ini terdampak pandemi,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.