Perubahan Pola Pikir Jadi Faktor Utama Keberhasilan Digitalisasi
Setiap perusahaan kini menghadapi disrupsi digital yang semakin cepat akibat pandemi Covid-19. Proses adaptasi digital dapat dimulai dari lingkungan internal perusahaan untuk menyamakan visi misi tentang manfaat digital.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi digital yang semakin dipercepat dengan adanya pandemi Covid-19 membuat perusahaan-perusahaan harus segera beradaptasi dengan teknologi guna mempertahankan usaha. Perubahan pola pikir dari internal perusahaan dinilai menjadi langkah awal untuk menghadapi disrupsi digital.
Hasil survei dari BOI Research, Innovesia, dan Volantis dari Mei hingga Juni 2020 menunjukkan, baru 1 dari 3 perusahaan yang menyatakan siap, baik secara digital maupun data driven (penggunaan data untuk mengambil keputusan strategis). Penggunaan platform digital pun ditemukan masih sebatas untuk keperluan rapat (91 persen), bukan untuk menyusun perencanaan (23 persen).
Ukuran perusahaan, baik korporasi besar maupun usaha rintisan, ternyata tidak memengaruhi implementasi berbasis data dan kesiapan disrupsi digital. Dengan kata lain, perusahaan besar tidak serta-merta menerapkan keputusan berdasarkan data dan tidak selalu responsif terhadap fenomena digital saat ini.
Co-founder and Partner Innovesia Danny Kosasih menilai, setiap perusahaan seharusnya mampu mengambil keputusan berbasis data untuk menjadi prioritas. Namun, sering kali perusahaan-perusahaan masih menghadapi kesulitan dalam menggabungkan data dari berbagai sumber yang berakibat pada lambatnya birokrasi.
”Padahal, dalam hal pemasaran, data driven akan membawa kita lebih dekat dan akrab dengan konsumen serta mengetahui apa yang menjadi kebutuhan pasar. Data akan menjadi insight (pengetahuan) untuk menghadapi disrupsi digital,” ujar Danny, Rabu (16/9/2020).
Paparan ini disampaikan dalam webinar Data Innovation Roundtable Series: ”Implement Digital Disruption Readiness Strategy with The Right Mindset”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Direktur Asosiasi Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia I Dewa Gede Karma Wisana serta Kepala Analisis Bisnis dan Pengalaman Pelanggan PT Bank DBS Indonesia Mireille Makmur.
Hambatan terbesar dalam menghadapi disrupsi digital, kata Danny, ialah persoalan internal perusahaan. Semua lapisan karyawan dari pimpinan hingga yang terbawah harus memiliki pemahaman yang sama bahwa digital bermafaat untuk semua.
”Perlu dicari karyawan yang bisa menjadi influencer (pembawa pengaruh) guna ’memengaruhi’ rekan-rekan lainnya untuk memanfaatkan digital tanpa paksaan. Setelah muncul kesadaran, kita bisa sama-sama melihat untung-rugi dari pemanfaatan digital dan data driven bagi bisnis,” tuturnya.
I Dewa Gede Karma Wisana mengatakan, tidak sekadar teknologi dan penggunaan perangkat elektronik, tetapi bagaimana mengubah perilaku dan pola pikir untuk melihat kesempatan-kesempatan baru menjadi penting. Melalui pemahaman terkait pemanfaatan digital, karyawan dapat memiliki kesempatan untuk menawarkan hal berbeda dari sebelumnya.
”Adaptasi perlu selalu dilakukan (oleh perusahaan), pakai dulu (perangkat digital) yang sederhana, pelan-pelan akan meningkat dan berkembang. Terus mencoba hal baru dan memiliki rasa ingin tahu juga akan menghindarkan kita tertinggal dalam menghadapi proses disrupsi digital,” kata Dewa.
Selain itu, publisitas untuk menjalin interaksi antara perusahaan dan pelanggan harus dilakukan. Upaya ini untuk mendapatkan masukan dari publik sehingga perusahaan dapat memahami perubahan yang terjadi dan apa yang dibutuhkan pelanggan.
Kenali pelanggan
Danny menjelaskan, melalui data driven, perusahaan dapat mengenal siapa pelanggaannya dan akses digital apa yang digunakan. Kondisi pelanggan kemudian harus dicocokkan dengan aset digital yang dimiliki perusahaan.
”Kalau hasilnya kita mendapatkan customer (pelanggan) dengan akses digital yang belum dimiliki perusahaan, apakah kita akan investasi terhadap akses tersebut, bekerja sama dengan startup, atau mau sewa. Semua diserahkan kembali kepada perusahaan sesuai data driven,” ujar Danny.
Mireille Makmur menyampaikan, dunia perbankan menjadi salah satu sektor usaha yang diharapkan untuk cepat mengadopsi digital. Keinginan pelanggan terhadap layanan digital semakin dirasakan sejak ada pandemi Covid-19.
”Akibat disrupsi digital, bisa kita rasakan milenial saat ini tidak lagi mengenal antrean di bank untuk ke teller, seperti zaman dulu. Layanan perbankan sekarang yang diinginkan oleh para nasabah adalah yang serba digital,” kata Mireille.
Berdasarkan survei perilaku nasabah dari hasil penelitian Institut Penelitian Capgemini, ada peningkatan penggunaan aplikasi bank oleh nasabah dari sebelum Covid-19 (47 persen), saat ini (52 persen), dan dalam enam hingga sembilan bulan ke depan (55 persen). Begitu pun dengan penggunaan internet banking yang sebelum Covid-19 tercatat 49 persen kini menjadi 54 persen dan diprediksi meningkat hingga 57 persen dalam enam hingga sembilan bulan mendatang.
Mireille menyatakan, dalam kondisi menghadapi disrupsi digital, Bank BDS setidaknya sudah memulai digitalisasi sejak 2012. Meski begitu, dengan adanya pandemi Covid-19 di tengah transformasi digital membuat bank DBS harus lebih dari sekadar melakukan improvisasi layanan.
”Kami meletakkan nasabah sebagai pusat dari transformasi yang ingin dilakukan, melibatkan perspektif nasabah dalam segala aspek. Pengalaman nasabah menjadi data penting untuk melakukan transformasi digital agar dapat menghadirkan layanan digital perbankan yang lebih baik,” ucap Mireille.