Jangan sampai, demi menghindari resesi, kebijakan diluncurkan dengan tergesa-gesa. Setiap program mesti dilihat dampaknya.
Oleh
Enny Sri Hartati -- Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
·5 menit baca
Kekhawatiran Indonesia akan memasuki resesi pada triwulan III-2020 telah memicu ”kepanikan” dalam memutuskan kebijakan ekonomi. Berbagai kebijakan diterabas atas nama kondisi luar biasa. Tidak cukup dengan pemberian keleluasaan kewenangan fiskal yang cenderung memiliki hak imunitas. Kini muncul wacana pembentukan dewan moneter melalui amandemen undang-undang Bank Indonesia. Bahkan, rencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Reformasi Sistem Keuangan.
Untuk memitigasi dampak pandemi yang dahsyat, diperlukan kebijakan dan langkah-langkah yang luar biasa. Namun, apa pun kebijakannya, tetap harus terukur dan efektif menyelesaikan sumber masalah. Persoalan paling krusial sebagai dampak pandemi adalah aktivitas ekonomi masyarakat yang terganggu.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi anjlok, angka pengangguran naik, dan berujung pada daya beli masyarakat yang terkikis. Fenomena ini melanda hampir seluruh negara, yang akhirnya menyerah masuk ke jurang resesi.
Artinya, sebenarnya resesi di tengah pandemi menjadi hal wajar, tanpa harus disertai kebijakan yang over acting atau berlebihan.
Apalagi, di awal pandemi Covid-19, pemerintah telah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang No 2 Tahun 2020. Pemerintah tidak hanya diberi keleluasaan memperlebar defisit APBN, termasuk mengambil kebijakan-kebijakan yang cepat tanpa harus menunggu pembahasan yang berbelit-belit dengan DPR. Defisit APBN yang semula dalam Perpres No 54/2020 ditetapkan Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen produk domestik bruto (PDN), menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen PDB.
Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk penanganan Covid-19 bertambah mencapai Rp 695,2 triliun. Apalagi, Bank Indonesia (BI) diminta Kementerian Keuangan berbagi beban (burden sharing). BI menanggung pendanaan Rp 397,56 triliun dengan langsung membeli surat berharga negara (SBN) serta menanggung beban bunga utang tersebut.
BI menanggung pembiayaan semua program hajat hidup orang banyak, antara lain kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, serta bantuan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun. Artinya, dengan kesediaan BI memonetisasi utang atau menjadi kasir pemerintah, mestinya persoalan ketersedian anggaran mitigasi covid tidak lagi menjadi masalah. Sebab, lebih dari 58 persen ditanggung BI.
Efektivitas Program
Sayangnya, per 19 Agustus 2020, anggaran PEN baru terealisasi Rp 174,79 triliun atau 25,1 persen dari pagu. Mirisnya, di tengah kurva penularan Covid-19 yang masih fluktuatif, realisasi anggaran kesehatan baru Rp 7,36 triliun. Akibatnya, tidak hanya ketersediaan alat pelindung diri (APD) tenaga medis yang terkendala, tetapi upaya testing, tracing, dan treatment juga masih sangat terbatas. Akibatnya, kasus penularan semakin meningkat.
Sementara itu, realisasi anggaran perlindungan sosial sudah cukup lumayan, mencapai Rp 93,18 triliun atau 49,7 persen. Program ini mestinya efektif menahan daya beli kelompok 40 persen terbawah yang anjlok. Namun, pada Juli dan Agustus 2020, masih terjadi deflasi 0,1 persen dan 0,05 persen, yang mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat.
Untuk menahan dampak daya beli yang anjlok, tidak mungkin hanya mengandalkan program perlindungan sosial. Pasalnya, kontribusi pengeluaran 40 persen kelas bawah hanya sekitar 17 persen. Kontributor terbesar dalam konsumsi adalah kelompok 20 persen teratas, yaitu 45,49 persen, disusul kelompok 40 persen kelas menengah 36,78 persen.
Akan tetapi, kelompok 20 persen teratas masih menahan konsumsi hingga kini. Hal itu disebabkan ekspektasi terhadap penanganan Covid-19 yang penuh ketidakpastian serta menghindari belanja di pusat perbelanjaan. Per Agustus 2020, rata-rata tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan hanya 30-40 persen dibandingkan dengan kondisi normal, sedangkan tingkat penjualan 60-70 persen. Bahkan, di luar Bodetabek, rata-rata tingkat penjualan hanya 30-40 persen. Kelompok ini memilih menabung untuk berjaga-jaga. Hal ini terkonfirmasi dari peningkatan dana pihak ketiga pada Juli 2020, berupa deposito tumbuh 6,3 persen dan simpanan berjangka 8,5 persen, terutama simpanan di atas Rp 5 miliar.
Data tersebut semakin memperjelas, upaya pemulihan ekonomi hanya akan terjadi jika kurva penyebaran Covid-19 terkendali. Artinya, pemerintah dapat mengalkulasi efektivitas kontribusi berbagai program bantuan sosial dalam menahan resesi, secara detail. Berbagai program bantuan dikucukurkan, termasuk untuk pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan.
Data tersebut semakin memperjelas, upaya pemulihan ekonomi hanya akan terjadi jika kurva penyebaran Covid-19 terkendali.
Segmen UMKM juga ”dikeroyok” rame-rame agar bertahan di masa pandemi. UMKM mendapat alokasi anggaran PEN Rp 123,46 triliun, yang terbagi dalam enam kategori, yaitu subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) Rp 4,967 triliun dan pembiayaan program non-KUR Rp 27,195 triliun; Pajak Penghasilan (PPh) final ditanggung pemerintah sebesar Rp 2,4 triliun; dan penjamin modal kerja oleh Askrindo dan Jamkrindo Rp 1 triliun. Ada juga belanja imbal jasa penjaminan Rp 5 triliun; penempatan dana untuk restrukturisasi Rp 78,78 triliun; dan pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB-KUMKM) Rp 1 triliun.
Persoalannya, realisasi anggaran sampai dengan Agustus 2020 baru Rp 44,63 triliun. Itu pun memasukkan penyertaan dana pemerintah pada Bank Himbara sebesar Rp 30 triliun. Di tengah eksekusi program yang rendah, pemerintah menambah program bantuan presiden (Banpres) produktif untuk 9,1 juta usaha mikro atau ultramikro. Sekitar 1,2 juta pelaku usaha akan mendapat pinjaman bunga 0 persen senilai Rp 2,4 juta per orang.
Dengan kata lain, berbagai program berlomba diluncurkan dan dipacu dengan kencang. Semua dilakukan dengan dalih demi menghindari predikat resesi. Semua akan menjadi percuma, jika pada akhirnya eksekusi program lemah dan tidak tepat sasaran. Termasuk melonggarkan kegiatan ekonomi, yang berujung pada penyebaran Covid-19 yang semakin tidak terkendali.
Kambing Hitam
Di tengah indikasi berbagai program PEN tidak efektif dalam mengerem potensi resesi, saatnya mencari kambing hitam. Ada yang tidak setuju dengan pembatasan sosial berskala besar (PSSB) ketat per 14 September 2020 di DKI Jakarta. Padahal jelas, bagi DKI Jakarta, PSBB bukan lagi pilihan. Sebab, penambahan kasus positif di DKI mencapai 1.380 orang sehingga akumulasi kasus positif mencapai 54.220 kasus per Minggu (13/9/2020). Sejak memasuki September, kasus penularan semakin tidak terkendali. Hanya dalam 12 hari, kasus naik 49 persen.
Secara nasional, selama tiga bulan pertama terjadi penambahan 50.000 kasus. Kini hanya dalam 17 hari, ada tambahan 50.000 kasus menjadi 200.000 kasus.
Tingkat keterisian tempat tidur isolasi di DKI sudah mencapai 77 persen dan keterisian tempat tidur ICU sudah 83 persen. Jika penularan tidak segera dikendalikan, dalam hitungan satu minggu, kendati ada tambahan tempat tidur isolasi, pasien tidak akan tertampung.
Jika penyebaran semakin tidak terkendali, Indonesia tidak hanya di lockdown oleh 56 negara, tetapi bisa dikenai ”embargo” ekonomi. Alasannya, tidak aman berbisnis dan berinvestasi dengan Indonesia. Akibatnya, kebijakan PSBB yang telah hampir 6 bulan akan berujung sia-sia. Ekonomi tetap resesi, sedangkan Covid-10 semakin tidak terkendali.