Hindari PHK, Inovasi Pelaku Usaha dan Insentif Pemerintah Harus Jalan
Pekerja di Jakarta khawatir alami pengurangan gaji hingga pemutusan hubungan kerja kembali dengan diterapkannya pembatasan sosial berskala besar atau PSBB ketat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja di Jakarta khawatir alami pengurangan gaji hingga pemutusan hubungan kerja kembali dengan diterapkannya pembatasan sosial berskala besar atau PSBB ketat. Sebelum skenario terburuk itu terjadi, pelaku usaha perlu berstrategi dengan meningkatkan inovasi. Kelancaran bantuan pemerintah juga diharapkan.
Lisa (44), petugas layanan pelanggan perusahaan keuangan swasta di Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, mengaku khawatir perusahaannya kembali mengurangi penghasilan pegawai . Setelah beberapa bulan PSBB diterapkan sejak April 2020, gajinya sudah dikurangi sampai 50 persen.
”Karena penghasilan berkurang, akhirnya waktu itu banyak karyawan yang mengundurkan diri. Ada juga karyawan di bagian lain yang dikurangi,” katanya saat ditemui Kompas, Senin (14/9/2020).
Ibu satu anak itu pun memilih bertahan karena penghasilan dari pekerjaannya menjadi tumpuan keluarga. Suaminya yang biasa berjualan mainan sejak awal pandemi terbatas aktivitas usahanya. Demikian juga anak satu-satunya yang dirumahkan sebagai karyawan hotel karena terdampak sepinya kegiatan wisata.
Randy (31) juga khawatir dengan pekerjaannya sebagai juru masak kontrak di salah satu restoran di kawasan bisnis Sudirman. Ia mengatakan, tempatnya bekerja sempat mulai pulih di masa PSBB transisi. Lantas, kebijakan baru Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang meminta aktivitas makan di tempat ditiadakan dikhawatirkan mengancam pekerja seperti dirinya.
”Restoran tempat saya bekerja ini sangat bergantung sama para pekerja kantoran di sekitar sini. Terbukti penjualan kita selama PSBB transisi lebih baik dari saat PSBB awal yang membuat kami hanya bisa melayani delivery dan menjual secara daring,” katanya.
Adapun dampak terburuk yang ia khawatirkan dari pembatasan usaha secara ketat adalah pengurangan karyawan. Sebelumnya, ia bersyukur karena tidak ditawarkan untuk mengakhiri kontrak. ”Kalau ternyata begini lagi, saya jadi khawatir kena dampak,” katanya.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta, tempat usaha 11 sektor ekonomi esensial, antara lain kesehatan, kebutuhan sehari-hari, dan energi, boleh beroperasi dengan pembatasan kapasitas 50 persen dan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Sementara, sektor usaha non-esensial yang boleh mengisi 25 persen kapasitas tempat kerja dengan karyawan pada satu waktu. Restoran, rumah makan, dan kafe hanya boleh melayani pesan antar atau bawa pulang.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta Diana Dewi, saat dihubungi hari ini, mengatakan, kemampuan pelaku usaha untuk bertahan dengan kebijakan baru ini beragam, bergantung arus kas masing-masing usaha.
”Yang usahanya terdampak memang harus berinovasi, misalnya biasanya offline ke online. Lalu, mengurangi biaya produksi. Yang dapat omzet lebih tinggi karena diuntungkan, baiknya bisa menggandeng pengusaha kecil atau UKM yang terdampak agar ekonomi terbantu,” katanya.
Strategi itu bisa dilakukan dengan mencari dukungan bantuan pemerintah. Menurut dia, bantuan seperti pinjaman modal atau restrukturisasi utang perbankan adalah yang paling dibutuhkan saat ini.
Sayangnya, Diana mengatakan, ia kerap mendapatkan laporan dari sesama pengusaha mengenai kesulitan mengakses bantuan tersebut. Contohnya, biaya administrasi dalam mengurus restrukturisasi utang perbankan yang memberatkan pelaku usaha. Belum lagi, kecenderungan perbankan memperketat seleksi pelaku usaha yang mau meminjam uang untuk menghindari gagal bayar.
”Dengan kondisi seperti itu, kalau menuntut bank saja sulit. Harus ada intervensi dari pemerintah untuk memudahkan pemberian bantuan ke pelaku usaha,” pungkasnya.