Sumber daya batubara yang melimpah lebih banyak diekspor ketimbang dinaikkan nilai tambahnya di dalam negeri. Salah satu cara menaikkan nilainya adalah dengan gasifikasi menjadi dimetil eter sebagai pengganti elpiji.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen meningkatkan nilai tambah batubara di dalam negeri dengan mengolahnya menjadi etanol dan gasifikasi menjadi dimetil eter. Namun, gasifikasi memerlukan kajian lebih lanjut karena berpotensi membutuhkan subsidi yang lebih besar.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) memerlukan investasi lebih besar dibandingkan dengan mengubah batubara jadi metanol. Untuk menghasilkan 1,8 juta ton metanol per tahun membutuhkan investasi 1,79 miliar dollar AS, sementara untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun investasinya mencapai 2,4 miliar dollar AS.
”Untuk proyek batubara menjadi metanol tidak ada isu yang signifikan. Namun, untuk gasifikasi batubara menjadi DME memerlukan kajian lebih lanjut karena berpotensi membutuhkan subsidi yang lebih besar dari subsidi elpiji yang ada saat ini,” kata Luhut saat menjadi pembicara dalam acara The 5th Save Indonesian Coal yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Senin (14/9/2020).
Luhut melanjutkan, pemerintah berkomitmen meningkatkan nilai tambah batubara di dalam negeri melalui pemberian sejumlah insentif. Insentif itu berupa tax holiday hingga 20 tahun dan pembebasan pajak impor di masa konstruksi untuk proyek batubara menjadi metanol. Insentif serupa diberikan untuk proyek gasifikasi batubara menjadi DME, termasuk pemberian subsidi tambahan yang masih dalam tahap kajian.
Insentif tersebut adalah tax holiday hingga 20 tahun dan pembebasan pajak impor di masa konstruksi untuk proyek batubara menjadi metanol.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di acara yang sama menambahkan, peningkatan nilai tambah batubara menjadi program prioritas pemerintah dalam pemanfaatan batubara sebagai sumber energi. Program hilirisasi batubara, selain menghasilkan produk metanol dan DME, adalah pembuatan briket. Produksi briket batubara dilakukan oleh PT Bukit Asam Tbk.
”Ada pula rencana coal up grading (peningkatan mutu batubara) lewat penambahan tiga fasilitas coal up grading pada 2024, 2026, dan 2028, yang masing-masing kapasitasnya 1,5 juta ton per tahun,” kata Arifin.
Di Sumatera, ada tiga lokasi produksi briket yang dibuat oleh Bukit Asam dan PT Thriveni. Bukit Asam memiliki dua lokasi, yaitu di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dengan produksi 20.000 ton per tahun, dan di Tarahan, Lampung, dengan produksi 7.000 ton per tahun. Adapun PT Thriveni memproduksi hingga 85.000 ton per tahun di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Kementerian ESDM melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) sudah menguji coba penggunaan dimetil eter sebagai pengganti elpiji untuk skala rumah tangga. Ada tiga tipe pengujian, yaitu tabung gas yang berisi 100 persen DME, tabung berisi 50 persen DME dan 50 persen elpiji, serta tabung dengan komposisi 20 persen DME dan 80 persen elpiji. Pengujian dilakukan di Palembang, Sumatera Selatan, dan di DKI Jakarta sejak akhir 2019 hingga awal 2020.
”Hasil uji terap menunjukkan bahwa nyala api DME berwarna biru dan api mudah dinyalakan. Hanya saja, waktu memasak menggunakan DME 1,2 kali lebih lama dibanding menggunakan elpiji. Secara teknis, pemanfaatan DME 100 persen layak dan bisa menggantikan fungsi elpiji,” ujar Kepala Balitbang Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Dengan konsumsi per tahun 6-7 juta ton, subsidi elpiji bisa lebih dari Rp 36 triliun per tahun. Pada 2018, subsidi elpiji mencapai Rp 58,1 triliun dan tahun 2019 tak jauh beda, yaitu Rp 58 triliun.
Hingga saat ini belum ada satu pun industri yang mengembangkan gasifikasi batubara menjadi DME di Indonesia. Menurut Dadan, dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk pengembangan industri di sektor ini. Kajian itu meliputi insentif yang bisa diberikan pemerintah serta kemungkinan besaran subsidi yang diberikan untuk DME. Sampai saat ini, harga elpiji 3 kilogram masih disubsidi negara.
Tahun lalu, dari 7,6 juta ton elpiji yang dikonsumsi di dalam negeri, sebanyak 5,7 juta ton diimpor PT Pertamina (Persero). Nilai impor tersebut mencapai 2,7 miliar dollar AS. Adapun konsumsi elpiji bersubsidi pada tahun 2019 mencapai 6,84 juta ton dan tahun ini diperkirakan mencapai 7 juta ton.
Dengan konsumsi 6-7 juta ton per tahun, subsidi elpiji bisa mencapai lebih dari Rp 36 triliun per tahun. Pada 2018, subsidi elpiji mencapai Rp 58,1 triliun dan tahun 2019 tak jauh beda, yaitu Rp 58 triliun.