Tak Hanya Modal dan Pendampingan, UMKM Juga Butuh Akses Pasar
Tidak hanya bantuan permodalan dan pendampingan, pelaku usaha juga membutuhkan pasar untuk menyerap produk mereka yang penjualannya seret selama pandemi Covid-19.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Kehilangan pasar masih menjadi pukulan terberat pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM akibat pandemi Covid-19. Mereka berharap bantuan bukan hanya berfokus pada pendampingan dan permodalan, melainkan juga pada perluasan pasar untuk menyerap produk usaha.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) mencatat, pada Juni 2020, penjualan, permintaan, dan pelanggan UMKM yang menurun (22,9 persen) masih mendominasi kondisi iklim usaha. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan, pada triwulan II-2020, ekspor barang dan jasa terkontraksi sebesar negatif 11,66 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Kiki (45), pemilik usaha sepatu dengan merek Fortuna Shoes, merasakan langsung dampak Covid-19. Penjualan yang berorientasi ekspor sejak tahun 1970 menurun hingga 70 persen karena negara tujuan, yaitu Eropa, Korea, dan Jepang, pun terdampak pandemi.
”Pesanan sepatu ada yang ditunda, dikurangi, bahkan dibatalkan. Padahal, waktu awal tahun, kami sudah semangat dan menyiapkan material untuk persiapan Olimpiade 2020 di Jepang karena kami perkirakan akan menjadi momentum penjualan,” kata Kiki saat dihubungi Kompas, Jumat (11/9/2020).
Usaha sepatu yang diproduksi langsung di Bandung, kata Kiki, kini hanya menerima berkisar 500-1.000 pasang sepatu per bulan dari kondisi normal bisa mencapai 4.000 pasang per bulan. Akibatnya, dana cadangan perusahaan terus terkuras untuk membayar biaya operasionalisasi serta menggaji karyawan 350 orang.
Sebagai strategi bertahan, jangkauan pasar Fortuna Shoes diperluas dengan merambah pasar dalam negeri. Produk sepatu disesuaikan dengan tren pasar saat ini, yakni dengan memproduksi sepatu kasual.
”Kami berharap pemerintah dapat memberikan dukungan berupa penggunaan sepatu kulit formal produksi dalam negeri, terutama untuk para pejabat atau aparatur sipil negara kelas tertentu sehingga keberadaan produk kita dapat diapresiasi bangsa kita sendiri,” ujar Kiki.
Bantuan promosi produk oleh para pejabat negara, termasuk Presiden Joko Widodo, pun diharapkan dapat dilakukan. Menurut Kiki, promosi ini akan sangat membantu pelaku UMKM meningkatkan penjualan.
Sementara untuk ekspor yang selama ini menjadi andalan, Kiki berharap pemerintah tidak sekadar mengadakan pertemuan bisnis. Diharapkan benar-benar mempertemukan pelaku usaha dengan konsumen yang memiliki daya beli (potential buyer).
”Kami sudah beberapa kali ikut pameran di luar negeri dan inginnya dapat pasar baru, tapi ternyata yang datang hanya lewat-lewat. Pulang ke Indonesia hasilnya tetap nol. Semoga ke depan sebelum diadakan pertemuan bisa dipastikan dahulu kalau memang ada pembelinya,” tutur Kiki.
Yani Mardiyanto (53), pelaku usaha kecil yang bergelut di bidang kain lukis dengan nama Nasrafa, juga terpukul akibat pandemi Covid-19. Ia harus rela kehilangan 65 persen penjualan ekspor karena tidak lagi bisa mengirimkan produk ke Filipina dan Perancis sejak awal Januari 2020.
”Omzet per bulan untuk ekspor kini hanya berkisar Rp 50 juta sampai Rp 100 juta dari yang awalnya bisa sampai Rp 300 juta. Saya berharap pemerintah dapat membantu mencarikan pembeli yang memang berpotensi untuk membeli,” ujar Yani, yang menjalankan usaha di daerah Solo, Jawa Tengah.
Selain itu, Yani berharap dapat mengakses bantuan modal kerja untuk meningkatkan produktivitas. Sebab, masih ada pasar-pasar ekspor yang tetap potensial untuk dituju, antara lain Dubai dan Perancis.
Untuk bertahan, Yani kini memperkuat pasar dalam negeri sebesar 35 persen di kota-kota besar di Provinsi Jawa. Menurut dia, pandemi Covid-19 telah menyadarkan dirinya untuk tidak terpaku pada pasar luar negeri.
Spesifik
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, menyampaikan, sebenarnya produk lokal Indonesia memiliki daya saing yang kompetitif dengan produk luar negeri. Namun, pemerintah harus mampu mencarikan negara tujuan ekspor secara spesifik.
Misalnya, ekspor ke Jepang yang sering kali tidak berhasil ditembus karena urusan higienitas. Kriteria-kriteria seperti ini yang harus diedukasi kepada pelaku usaha agar produk mereka bisa memenuhi kualifikasi dari negara tujuan ekspor.
”Libatkan juga para perwakilan negara, misalnya konsulat jenderal, Bank Indonesia, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal yang memiliki perwakilan di luar negeri. Saya berharap para perwakilan di luar negeri bukan hanya sebagai perwakilan, melainkan juga jadi intelijen pasar yang bisa mencari pasar untuk UMKM kita, memberikan peta atau produk yang bisa menjadi kekuatan di negara tujuan,” ujar Abdul.
Sebelumnya, Kepala Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) Los Angeles, Amerika Serikat, Bayu Nugroho mengatakan, impor produk pakaian (kode HS 62) dari Indonesia mencatatkan penurunan selama masa pandemi. Pada periode Januari-Mei terjadi penurunan hingga 12,91 persen dari 1,01 miliar dollar AS (2019) menjadi 875,41 juta dollar AS (2020).
Meski begitu, kata Bayu, tetap ada beberapa peluang terkait dengan impor pakaian, misalnya untuk alat pelindung diri (APD) dan sarung tangan. Perlu diingat, konsumen kini tidak dapat merasakan langsung produk yang ditawarkan.
Untuk itu, pelaku usaha harus bisa mendapatkan impresi awal yang baik dari calon pembeli. Misalnya, saat mengadakan temu bisnis virtual, harus ada presentasi yang akan lebih baik apabila ada video dengan durasi sekitar lima menit dan dalam bahasa Inggris untuk mengantisipasi pembeli asing.
Langkah terpenting dari temu bisnis virtual, kata Bayu, yaitu tindak lanjut setelah pertemuan selesai. Masyarakat Indonesia harus lebih aktif berkomunikasi melalui surat elektronik (e-mail), dan apabila memang ada berita buruk, harus disampaikan untuk menjaga kepercayaan konsumen.
”Pasar AS ini besar dan menjanjikan, tetapi harus ada sertifikasi yang dipenuhi. Pelaku usaha jangan melihat ini sebagai hambatan, tetapi tantangan dan mungkin memang membutuhkan waktu,” ujarnya.
Untuk produk pakaian, Bayu menjelaskan, ada beberapa sertifikasi yang harus dipenuhi, mulai dari Federal Trade Commission (FTC), konten produk, asal produk, label, hingga The Toxic Substance Control Act (TSCA).
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan menyampaikan, untuk meningkatkan ekspor, pemerintah juga membantu pelaku UMKM meningkatkan kualitas produk. Salah satunya sertifikasi produk agar lebih berdaya saing.
”Kami sering kali menemukan UMKM yang menghadapi tantangan kualitas. Untuk itu, kami juga sedang membuat factory sharing (rumah produksi bersama) agar produk lebih berkualitas dan lebih mudah dalam proses sertifikasi. Sebab, meski jumlah UMKM mencapai 64 juta unit, kontribusi terhadap ekspor hanya sekitar 14 persen dari total ekspor,” kata Kasan.