Belanja dari Tetangga, Merengkuh Bahu Saudara
Solidaritas di masa pandemi Covid-19 tertuang lewat banyak bentuk, salah satunya membeli dari tetangga, kerabat, dan teman.
Aktivitas belanja masyarakat berubah di masa pandemi Covid-19. Sebagian mulai membeli barang atau kebutuhan dari tetangga, teman, dan kerabat. Belanja bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan pribadi, melainkan juga merangkul daya ekonomi pihak lain.
”Tawaran PO lagi, nih. Kali ini telur bebek asin, matang ataupun mentah,” seru Budi kepada istrinya, pekan lalu.
Budi membacakan tawaran di grup percakapan atau Whatsapp group (WAG) warga satu rukun tetangga rumahnya di kawasan Tangerang Selatan, Banten.
Pada awal pandemi Covid-19, Maret 2020, WAG itu diisi berbagai info tentang virus korona tipe baru dan kasus-kasus terkini. Ketua RT juga terus-menerus mengingatkan agar warga memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di bawah air mengalir, dan menjaga jarak. Anggota grup juga mengingatkan hal yang sama, sambil sesekali menyapa warga lainnya.
Memasuki bulan kedua, satu demi satu tawaran mulai bermunculan. Umumnya, tawaran makanan dengan sistem praporder atau PO. Ada tawaran telur asin, siomay, ayam potong, telur ayam, cendol, dan berbagai jenis makanan lain.
Sistem PO memungkinkan penjual atau penjual kembali (reseller) mendapat kepastian jumlah pesanan. Dengan demikian, penjual tak harus menanggung rugi karena barang dagangan mereka tidak laku.
Di dekat rumah Budi, tetapi berbeda rukun tetangga, ada juga beberapa keluarga yang menawarkan barang atau makanan di masa pandemi Covid-19. Mereka memanfaatkan kondisi pandemi yang mengharuskan warga lebih banyak tinggal di rumah.
Vivi, misalnya, jadi terbiasa membeli telur dari Imelda, tetangga yang tinggal di RT yang sama. ”Harganya sama dengan harga telur di toko di luar kompleks. Lagian rumah dekat dan telur tinggal diantar,” kata Vivi.
Baca juga: Penurunan Tarif Listrik Dorong Daya Beli
Di Bandung, Jawa Barat, Ega Zulfa R (26), ibu rumah tangga, bertetangga dengan guru taman kanak-kanak yang sekaligus berjualan sayur. Ega memilih berbelanja sayur dari tetangganya itu. Sayur diantar ke rumah pembeli.
Menurut Ega, berbelanja dari tetangga dan teman-temannya merupakan cara sederhana untuk menjaga solidaritas perekonomian di tengah pandemi Covid-19.
”Kita jadi menyadari, ada orang-orang yang membutuhkan dan mau berusaha. Maka, tercipta kondisi yang adil. Aku mendapatkan barang yang dibutuhkan dan mereka memperoleh pendapatan. Selain itu, dengan membeli dagangan mereka, mereka menjadi semangat untuk berjualan,” tuturnya saat dihubungi pada akhir Agustus.
Aku mendapatkan barang yang dibutuhkan dan mereka memperoleh pendapatan.
Sementara, Ibrahim Ukrin (27), dalam dua bulan terakhir berusaha membeli berbagai barang dagangan dari warung dan tukang sayur di radius 2-3 kilometer dari rumah tinggalnya. Pekerja yang tinggal di Bandung ini berusaha membeli dari penjual secara bergantian sehingga tidak pernah membeli dari pedagang yang sama.
Ibrahim menceritakan, dia pernah membeli sayur di warung yang sepi pengunjung karena terdorong rasa belas kasihan. Sayur yang dijual di warung itu tampak tak segar lagi.
Motivasinya sederhana, yakni ingin mengalirkan rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan, bahkan mungkin sangat membutuhkan. Keinginan berbagi itu merupakan wujud rasa syukur karena dia masih dapat bekerja di tengah kondisi perekonomian yang suram di masa pandemi Covid-19. Hasil kerjanya itu mampu menopang hidupnya untuk tetap sehat.
Relasi dan komunitas
Menurut Ketua Komite Tetap Akses Pasar Kamar Dagang dan Industri Bidang Usaha Kecil Menengah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rifda Ammarina, pola belanja dari tetangga dan kerabat terbentuk selama pandemi Covid-19. Sebab, pelaku usaha mengoptimalkan jaringan relasi yang mereka miliki. Adapun barang-barang yang dibeli dengan pola ini umumnya berupa makanan, minuman, dan produk herbal.
Rifda menyebutkan, anak-anak muda yang masih kuliah merupakan salah satu pemain bisnis yang baru terjun ke usaha skala rumahan. Mereka mengandalkan jejaring relasi dan pertemanan. Penghasilan yang diperoleh dapat menopang kebutuhan pada saat pendapatan orangtua mereka terpukul pandemi Covid-19.
Apabila dijalankan secara kontinu dan konsisten, Rifda berpendapat, usaha skala rumahan tersebut dapat bertahan, bahkan berlanjut setelah pandemi berakhir. Namun, untuk mewujudkan hal itu, perlu konsistensi dan keputusan bisnis pelaku usaha.
Indonesia memang bergantung pada konsumsi rumah tangga atau masyarakat. Pada periode April-Juni 2020, konsumsi rumah tangga yang berperan 57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tumbuh minus 5,51 persen. Akibatnya, perekonomian RI tumbuh minus 5,32 persen pada triwulan II-2020.
Pada triwulan I-2020, pertumbuhan ekonomi RI masih positif, yakni 2,97 persen. Pada periode Januari-Maret 2020, konsumsi rumah tangga yang tumbuh 2,83 persen masih menopang PDB.
Peran konsumsi rumah tangga yang signifikan tersebut membuat daya beli menjadi faktor yang dijaga di Indonesia. Jika daya beli melorot, konsumsi rumah tangga dipastikan merosot dan pertumbuhan ekonomi RI anjlok.
Baca juga: Dampingi UMKM Bertransformasi
Tak hanya tetangga, Ega juga sering berbelanja dari lingkaran pertemanan dan komunitas bernama ITB Motherhood. Komunitas ITB Motherhood adalah ruang belajar dan berbagi ibu-ibu alumni Institut Teknologi Bandung.
Setiap akhir pekan, anggota komunitas mempromosikan dagangan secara dalam jaringan (daring). Dari jaringan relasi tersebut, Ega sering membeli makanan beku, camilan, pakaian, hijab, serta perlengkapan dan kebutuhan bayi.
Rifda menilai komunitas ibu rumah tangga merupakan pelaku usaha yang turut mengoptimalkan jejaring pertemanan dalam berbisnis dan menjalankan usaha.
”Akibat pandemi Covid-19, para ibu rumah tangga ini terjun berjualan karena memiliki waktu. Ada pula yang berbisnis untuk memperoleh penghasilan tambahan ketika pendapatan suami berkurang,” ujarnya.
Kepercayaan konsumen
Keunggulan berbelanja dari tetangga ataupun teman dekat, menurut Ega, adalah memberikan rasa percaya kepada konsumen. ”Aku merasa dekat dengan mereka dan mereka pun gampang dihubungi,” ujarnya.
Dengan berbelanja kepada kerabat yang telah dikenal, Ega memperoleh produk-produk jenama asli. Jika membeli dari orang yang tak dikenal secara daring, ada sejumlah risiko yang mesti diantisipasi, antara lain barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang dipesan dan ketidakjelasan proses transaksi.
Sementara, bagi Rifda, berbelanja dari jaringan pertemanan menjamin kebersihan pemrosesan dan pengolahan produk. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 yang mensyaratkan kebersihan dan kesehatan.
Berbelanja dari jaringan pertemanan menjamin kebersihan pemrosesan dan pengolahan produk.
Kedekatan relasi menjadi salah satu faktor penting yang dipertimbangkan konsumen dalam berbelanja. Berbelanja dari rekan, kerabat, dan tetangga merupakan bentuk solidaritas dalam keseharian, terutama di masa pandemi Covid-19. Transaksi jual beli antar-relasi bagaikan saling merengkuh bahu di masa pandemi, saling menguatkan di tengah situasi yang tak pasti. (IDR)