Perppu bukan hak sewenang-wenang presiden dan tidak bisa diterbitkan sembarangan. Perppu itu harus ada kondisi yang memaksa. Kalau tidak, ini akan melanggar konstitusi UUD 1945.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lambatnya proses pemulihan ekonomi mendasari pengajuan Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu Reformasi Keuangan. Padahal, di sisi lain, pengawasan sistem keuangan dinilai sudah dijalankan dengan baik sehingga tidak ada situasi genting yang memaksa pembentukan perppu.
Dalam merespons lambatnya proses pemulihan ekonomi, pemerintah dan DPR mewacanakan untuk mengeluarkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan. Salah satu tujuan utama perppu ini agar Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih responsif dalam mendukung proses pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan, proses pemulihan ekonomi yang lambat bukan sepenuhnya kesalahan otoritas moneter ataupun otoritas keuangan. Sepanjang pandemi Covid-19, otoritas dinilai telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19.
BI sebagai otoritas moneter telah mendukung stabilitas suku bunga dengan menurunkan suku bunga acuan BI hingga 4 persen. Selain itu, giro wajib minimum (GWM) juga diturunkan menjadi 2 persen untuk bank konvensional dan 0,5 persen untuk bank syariah.
”Otoritas moneter juga telah membuka pintu untuk berbagi beban dengan pemerintah dalam menanggung ongkos pembiayaan pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Otoritas moneter juga telah membuka pintu untuk berbagi beban dengan pemerintah dalam menanggung ongkos pembiayaan pemulihan ekonomi.
Sementara itu, lanjut Hendri, OJK juga menjalankan perannya dalam mengawasi sistem keuangan di tengah pandemi. Contohnya pada kasus penyelamatan likuiditas Bank Bukopin, OJK memberikan kesempatan yang sama bagi dua pemegang saham utama terbesar, yaitu Bosowa dan Kookmin Bank, untuk menyuntikkan setoran modal baru.
”Lebih jauh, apa yang dilakukan OJK sebagai upaya preventif terjadinya risiko yang lebih besar dalam sistem perbankan nasional,” ujarnya.
Hendri menilai, tanpa adanya Perppu Reformasi Keuangan, pengawasan sistem keuangan sudah dijalankan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomot 9 Tahun 2016 yang mengatur tata cara penyelamatan sistem keuangan.
Sementara pemindahan wewenang pengawasan perbankan kembali ke BI juga belum didasari pada alasan yang kuat. Jika memang alasan adalah mendorong proses pemulihan ekonomi, alasan ini tidak tepat mengingat OJK telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi.
”Dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan Perppu Reformasi Sistem Keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan perppu ini,” ujar Hendri.
Alih-alih menyalahkan otoritas tertentu, lanjut Hendri, evaluasi komprehensif perlu dilakukan pemerintah dalam mendorong proses pemulihan ekonomi nasional. Perlu diingat, selain sektor keuangan, tanggung jawab pemulihan ekonomi juga berada pada pundak pemerintah dalam bentuk anggaran belanja pemerintah dan juga anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
”Terakhir, yang tidak kalah penting, pemerintah harus tetap fokus untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. Perkembangan kasus baru akan memengaruhi kepercayaan konsumen, khususnya kelas menengah atas yang menjadi penyumbang terbesar konsumsi rumah tangga,” kata Hendri.
Kondisi genting
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan berpendapat, pembahasan Perppu Reformasi Sistem Keuangan seharusnya didasari oleh kondisi yang genting, tetapi belum memiliki landasan hukum. Di luar kondisi tersebut, pembentukan UU harus dilakukan dengan cara yang normal, yakni lewat pengajuan rancangan UU.
”Perppu bukan hak sewenang-wenang presiden dan tidak bisa diterbitkan sembarangan. Perppu itu harus ada kondisi yang memaksa. Kalau tidak, ini akan melanggar konstitusi UUD 1945,” katanya.
Perppu bukan hak sewenang-wenang presiden dan tidak bisa diterbitkan sembarangan. Perppu itu harus ada kondisi yang memaksa. Kalau tidak, ini akan melanggar konstitusi UUD 1945.
Saat ini, Anthony menambahkan, tidak ada kondisi yang genting untuk sektor keuangan. Jika tidak ada kondisi yang memaksa, pemerintah, dalam hal ini Presiden, berpotensi melanggar UUD 1945 dan kemudian berbuntut pada pemakzulan.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan, wacana pemerintah untuk mengeluarkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan berpotensi membawa dampak negatif terhadap pasar uang Indonesia.
”Upaya pemerintah lebih baik difokuskan untuk melakukan penguatan terhadap otoritas dan kewenangan setiap lembaga untuk menjaga kestabilan sistem keuangan, tetapi tanpa menggunakan instrumen perppu,” ujarnya.
Menurut Aviliani, kondisi sektor keuangan masih cukup stabil, dan jika pemerintah terlalu mengandalkan instrumen perppu untuk menyelesaikan suatu masalah, itu akan berpotensi untuk mengguncang stabilitas pasar uang dan pasar modal, terutama dari perspektif investor asing.
Perppu tidak akan menjadi solusi karena kondisi sektor keuangan saat ini dinilainya baik-baik saja. Namun, jika sektor keuangan diganggu berbagai isu, Aviliani khawatir pasar justru akan cenderung berperilaku negatif yang berimplikasi pada permasalahan nilai tukar.
”Isu-isu negatif akan memicu keluarnya aliran modal asing dari pasar uang, padahal pasar uang kita masih bergantung pada asing,” katanya.