Kompleksitas Lembaga Keuangan, Termasuk Konglomerasi, Butuh Pengawasan Menyeluruh
Pemerintah diminta fokus pada penanganan pandemi daripada membuat kebijakan reformasi sistem keuangan. Terlebih lagi, konglomerasi lembaga keuangan menghadirkan kompleksitas risiko yang membutuhkan pengawasan holistik.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semakin mengguritanya konglomerasi lembaga keuangan membuat potensi risiko keuangan menjadi lebih kompleks. Pengawasan lembaga jasa keuangan akan lebih efektif dan optimal apabila dilakukan oleh satu lembaga yang sama.
Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ryan Kiryanto mengatakan, apabila pengawasan institusi jasa keuangan dilakukan lebih dari satu lembaga, kemungkinan terjadinya salah koordinasi akan semakin besar. Untuk mengawasi kinerja lembaga jasa keuangan, sebaiknya dilakukan oleh lembaga yang sama agar pengambilan keputusan bisa cepat.
”Apalagi lembaga keuangan yang sifatnya konglomerasi yang terus membesar jumlah perusahaan di dalamnya,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (2/9/2020).
Menurut Ryan, pengawasan yang dilakukan OJK saat ini tidak hanya pada institusi lembaga keuangan tunggal, tetapi juga konglomerasi dari sektor keuangan. Setidaknya terdapat 48 konglomerasi keuangan yang tidak hanya bergerak di bidang perbankan, tetapi juga asuransi, perusahaan pembiayaan, dan sekuritas.
Terdapat 48 konglomerasi keuangan yang tidak hanya bergerak di bidang perbankan, tetapi juga asuransi, perusahaan pembiayaan, maupun sekuritas.
Meski enggan berkomentar lebih lanjut terkait rencana pemerintah kembali mengalihkan pengawasan industri perbankan ke Bank Indonesia (BI) melalui Perppu Reformasi Sistem Keuangan, Ryan menilai hal tersebut sebagai ranah politik. ”Kami tetap fokus pada zona pengawasan terintegrasi. Sampai hari ini OJK masih solid menjalankan tupoksi kami,” katanya.
Ryan memaparkan, konglomerasi di sektor keuangan membutuhkan pengawasan yang intensif karena mereka cenderung akan membuat produk dengan tingkat risiko yang cukup tinggi, namun memiliki imbal hasil yang menarik. Produk keuangan seperti ini hadir didorong besarnya sisi permintaan dari konsumen maupun calon konsumen.
Selain itu, produk atau layanan lembaga jasa keuangan dari konglomerasi terjadi lintas sektor menjadi sangat kompleks dan dinamis, hal tersebut meningkatkan eksposur risiko. ”Sumber kerentanan krisis pada sektor keuangan menjadi sangat beragam. Perlu ada pencegahan timbulnya risiko sistemik dalam sektor keuangan,” katanya.
Kami tetap fokus pada zona pengawasan terintegrasi. Sampai hari ini, OJK masih solid menjalankan tupoksi kami.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah tengah mengkaji kembali berbagai undang-undang (UU) dan perangkat hukum terkait stabilitas sistem keuangan (SSK) dalam mengantisipasi krisis. Sejumlah UU yang saat ini pemerintah kaji adalah UU OJK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), hingga UU Keuangan Negara. Hal itu terkait dengan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Reformasi Sistem Keuangan nantinya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad Wibowo, menilai, penguatan lembaga di dalam KSSK lebih diperlukan saat ini ketimbang menerbitkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan. Salah satunya, penguatan LPS agar penanganan bank bermasalah bisa lebih cepat.
”Untuk mencegah krisis moneter keuangan dan perbankan di tengah pandemi, itu bukan Perppu Reformasi Keuangan solusinya, yang diperlukan lebih kepada penguatan lembaga di dalam KSSK,” katanya.
Penguatan lembaga di dalam KSSK lebih diperlukan saat ini ketimbang menerbitkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan.
Menurut Drajad, cara memperkuat fungsi LPS adalah melalui perampingan proses penanganan bank bermasalah dan juga bank gagal mengingat payung hukum berupa UU LPS maupun regulasi yang lain masih bisa dirampingkan prosesnya.
Hal lainnya yang juga tidak kalah krusial adalah memastikan penerimaan negara terpenuhi agar negara cukup memiliki tabungan fiskal. ”Ketika menghadapi krisis itu, penerimaan negara sejak 2005-2006 sering tidak terpenuhi target pajaknya, banyak shortfall dan negara tidak punya cukup tabungan fiskal,” kata Drajad.
Sementara itu, Direktur riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, mengembalikan fungsi pengawasan bank dari OJK ke BI bukan solusi untuk keluar dari potensi resesi. Terlebih lagi, KSSK setiap tiga bulan selalu menegaskan bahwa stabilitas sistem keuangan nasional masih normal, stabil, dan baik.
”Pemerintah sebaiknya fokus saja dulu untuk menyelesaikan pandemi. Beberapa jalan pintas yang ramai dibicarakan belakangan ini ada kaitannya dengan pemerintah yang terlalu ingin terbebas dari resesi,” katanya.
Piter mengingatkan, tidak ada gunanya meributkan atau memunculkan wacana pengembalian fungsi pengawasan bank dari OJK ke BI karena justru dapat memperkeruh suasana. BI, OJK, dan LPS sudah berkontribusi baik selama pandemi. Kontribusi ini tidak bisa diukur dengan adanya resesi.