Sepanjang semester I-2020, Pertamina mencatat kerugian sebesar Rp 11,2 triliun. Situasi ini pertama kali dalam sejarah perusahaan mencatatkan kerugian sebesar itu. Kerugian terkait dengan pandemi Covid-19.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) menyiapkan sejumlah langkah antisipasi untuk mencegah kerugian lebih besar pada masa mendatang. Salah satu antisipasi tersebut adalah renegosiasi kontrak yang menggunakan mata uang asing untuk diganti dengan rupiah. Sepanjang semester I-2020, Pertamina mencatatkan rugi sebesar 767,9 juta dollar AS atau setara Rp 11,2 triliun.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan kerugian Pertamina sedemikian besar adalah faktor kurs rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di titik terendah pada Maret yang sempat menyentuh angka Rp 16.608 per dollar AS. Di satu sisi, belanja perusahaan, seperti untuk impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), menggunakan mata uang dollar AS.
”Sementara pendapatan Pertamina sebagian besar dalam mata uang rupiah. Untuk itu, salah satu langkah strategis perusahaan menghadapi tantangan pada tahun 2020 adalah dengan renegosiasi kontrak yang menggunakan mata uang asing untuk dibayar menggunakan rupiah,” kata Emma dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin (31/8/2020).
Langkah strategis lainnya yang diambil Pertamina adalah memangkas belanja modal dan belanja operasional hingga 4,7 miliar dollar AS atau setara Rp 68,1 triliun. Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pertamina menganggarkan 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113 triliun tahun ini. Pertamina juga memitigasi risiko selisih kurs dengan meningkatkan kinerja arus kas perusahaan.
Langkah strategis lainnya yang diambil Pertamina adalah dengan memangkas belanja modal dan belanja operasional hingga sebesar 4,7 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 68,1 triliun.
Kerugian yang dialami Pertamina pada semester I-2020 menjadi salah satu topik bahasan dalam rapat dengar pendapat tersebut. Selain itu, anggota DPR juga mempertanyakan hasil pembubaran Petral, unit usaha Pertamina yang menangani impor minyak mentah dan BBM, yang operasinya digantikan oleh Integrated Supply Chain (ISC). Anggota Dewan juga menanyakan rencana jangka panjang pembangunan kilang ataupun rencana penghapusan BBM jenis premium dan pertalite.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, kerugian yang dialami Pertamina disebabkan tiga faktor yang ia sebut sebagai triple shock. Dua faktor lainnya, selain faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, adalah kejatuhan harga minyak mentah dunia dan permintaan BBM yang merosot tajam selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia.
”Ada penurunan sebesar 26 persen pada periode Januari-Juli 2020 dibandingkan dengan periode serupa tahun lalu. Selain itu, harga minyak Indonesia (ICP) pada April 2020 sebesar 21 dollar AS per barel memukul keuangan perusahaan yang tetap mempertahankan produksi migas kendati penerimaan di hulu tertekan,” kata Nicke.
Beban keuangan untuk membayar gaji direksi hingga ke jabatan level bawah Pertamina sangat besar.
Anggota Komisi VII DPR dari PDI Perjuangan, Willy Midel Yoseph, mengusulkan agar Pertamina menyederhanakan struktur manajemen hingga ke tingkat anak perusahaan. Menurut dia, langkah tersebut dapat menghemat keuangan Pertamina. Ia juga menyebut bahwa beban keuangan untuk membayar gaji direksi hingga ke jabatan level bawah Pertamina sangat besar.
”Saya mengusulkan agar ada pemangkasan struktur manajemen di dalam organisasi Pertamina. Di situasi seperti sekarang ini ada beban luar biasa besar untuk menggaji jajaran direksi hingga jabatan di level bawah,” ujar Willy.
Sementara itu, Dyah Roro Esti dari Partai Golkar menimpali bahwa Pertamina seharusnya juga meraih laba pada saat harga minyak mentah turun, Pertamina tidak menurunkan harga jual BBM di Indonesia. Saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal Maret 2020, secara perlahan harga minyak mentah dunia merosot sampai di bawah level 20 dollar AS per barel pada April lalu.
Akan tetapi, Pertamina tidak menurunkan harga jual BBM nonsubsidi untuk kelompok pertalite dan pertamax. Demikian pula BBM jenis premium dan solar bersubsidi tak berubah sejak April 2016 yang masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter.
Sayangnya, semua pertanyaan anggota Komisi VII DPR dalam rapat tersebut tidak dijawab langsung oleh jajaran direksi Pertamina. Rapat disepakati dibatasi selama 3 jam. DPR meminta Pertamina menyampaikan jawaban atas semua pertanyaan tersebut secara tertulis selambatnya pada 8 September 2020.