Pemerintah Didesak Tertib Bayar Utang ke Pertamina
Kebijakan subsidi energi yang diterapkan pemerintah perlu diperbaiki. Skema yang ada saat ini tak menguntungkan bagi Pertamina karena dapat menggangu arus kas perusahaan. Diusulkan agar subsidi langsung diterapkan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VI DPR meminta pemerintah tertib membayar utang kepada PT Pertamina (Persero) setiap tahun. Sejak tahun 2017, utang pemerintah kepada Pertamina tercatat Rp 96,5 triliun. Utang tersebut timbul dari selisih harga jual bahan bakar minyak jenis premium dan subsidi solar yang dibebankan kepada Pertamina.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan besaran utang tersebut dalam rapat dengar pendapat dengan anggota Komisi VI DPR, Senin (29/62020), di Jakarta. Dari total utang Rp 96,5 triliun, tahun ini pemerintah menjanjikan pembayaran Rp 45 triliun dan sisanya dicicil mulai tahun 2021. Dalam salah satu kesimpulan rapat, Komisi VI DPR mendesak pemerintah agar pembayaran utang kepada Pertamina diselesaikan setiap tahun.
Nicke merinci, utang pemerintah pada 2017 tercatat Rp 20,789 triliun, yakni untuk subsidi solar. Adapun pada 2018, utang pemerintah mencapai Rp 44,85 triliun, yakni untuk subsidi selisih harga jual premium dengan harga keekonomian dan subsidi solar. Sementara tahun 2019, utang pemerintah mencapai Rp 30,864 triliun, yakni untuk subsidi selisih harga jual premium dan subsidi solar.
”Dengan adanya jadwal pencairan (utang) Rp 45 triliun tahun ini, masih ada sisa sebesar Rp 51,5 triliun yang, menurut rencana, akan dibayarkan tahun depan (2021) dan tahun depannya lagi (2022). Dari sisi volume BBM (terkait utang), sudah diverifikasi oleh Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral). Dari sisi angka, sudah diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan disetujui Kementerian Keuangan. Jadi, tinggal pembayarannya saja,” kata Nicke.
Dengan adanya jadwal pencairan (utang) Rp 45 triliun tahun ini, masih ada sisa sebesar Rp 51,5 triliun yang, menurut rencana, akan dibayarkan tahun depan (2021) dan tahun depannya lagi (2022).
Sejak tahun 2017, premium tak lagi disubsidi melalui penganggaran di APBN. Adapun solar masih disubsidi dengan skema subsidi tetap. Selisih harga jual premium, yang saat ini Rp 6.450 per liter, dengan harga keekonomian dibayarkan langsung pemerintah ke Pertamina yang diistilahkan sebagai dana kompensasi. Adapun besaran subsidi tetap solar tahun ini adalah Rp 1.000 per liter.
Nicke menambahkan, dana piutang tersebut sangat dibutuhkan lantaran keuangan perusahaan tengah tertekan. Pandemi Covid-19 menyebabkan penerimaan Pertamina merosot drastis lantaran penjualan BBM menurun selama diberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Sementara di sektor hulu, harga minyak yang sempat kurang dari 20 dollar AS per barel selama pandemi turut mengurangi penerimaan perusahaan.
”Kami bahkan sudah memangkas belanja modal perusahaan pada tahun ini, mulai dari level induk hingga ke cucu perusahaan, minimal sebesar 30 persen,” ujar Nicke.
Harus ada reformasi subsidi. Subsidi BBM sebaiknya diberikan langsung kepada rakyat. Dengan demikian, tak ada lagi piutang-piutang yang terlambat dibayar.
Anggota Komisi VI DPR dari Partai Golkar, Nusron Wahid, berpendapat, cara pemerintah memberikan subsidi BBM mesti diperbaiki. Dengan cara yang sekarang ini, di mana ada dampak keterlambatan pembayaran utang subsidi BBM, arus kas Pertamina terganggu. Padahal, menurut dia, arus kas yang sehat dibutuhkan untuk kepentingan operasi perusahaan dalam hal penyediaan dan pendistribusian energi.
”Harus ada reformasi subsidi. Subsidi BBM sebaiknya diberikan langsung kepada rakyat. Dengan demikian, tak ada lagi piutang-piutang yang terlambat dibayar,” ucap Nusron.
Pembangunan kilang
Nicke juga memaparkan kebutuhan modal perusahaan sampai 2026 yang mencapai 120 miliar dollar AS. Jumlah tersebut termasuk anggaran untuk pembangunan kilang baru dan proyek peningkatan kapasitas kilang.
Ada empat kilang Pertamina yang masuk dalam proyek peningkatan kapasitas, yaitu kilang Cilacap di Jawa Tengah, kilang Balongan di Jawa Barat, kilang Dumai di Riau, dan kilang Balikpapan di Kalimantan Timur. Adapun kilang baru yang akan dibangun ada di Tuban, Jawa Timur.
”Kilang kita yang ada sekarang sudah ketinggalan zaman. Kilang-kilang ini hanya berstandar euro 2, padahal syarat mutu BBM sekarang adalah minimal euro 4. Jadi, memang harus ada penyesuaian dan peningkatan kapasitas kilang untuk menuju minimal standar euro 4,” kata Nicke.
Anggota Komisi VI DPR dari Partai Golkar, Lamhot Sinaga, mendesak agar pembangunan kilang baru dan peningkatan kapasitas kilang-kilang yang ada dintegrasikan dengan produksi petrokimia. Pasalnya, produk petrokimia akan semakin dibutuhkan pada masa mendatang. Selain itu, pengintegrasian dengan produk petrokimia dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor.