Potensi resesi ekonomi harus diantisipasi dengan mendorong daya tahan usaha mikro, kecil, dan menengah. Program Pemulihan Ekonomi Nasional dinilai perlu berpihak pada sektor produktif.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun ini, perekonomian Indonesia dinilai tak terhindarkan dari resesi. Dampak resesi ekonomi perlu diantisipasi karena akan sangat memukul penghidupan kelompok masyarakat menengah bawah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Kamis (27/8/2020), memperkirakan, Indonesia akan mengalami resesi pada tahun ini. Selama triwulan II-2020, kerugian ekonomi Indonesia mencapai Rp 145,64 triliun secara tahunan.
Sementara itu, angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020, jika dibandingkan dengan kondisi normal, mengalami kontraksi atau minus 10,34 persen. Penurunan ekonomi itu lebih dalam dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi per triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen.
”Untuk menuju posisi normal berat sekali, itulah mengapa kami yakin resesi sulit dihindari,” katanya dalam diskusi daring Indef bertajuk ”Membedah Pemulihan Ekonomi Nasional 2021” di Jakarta.
Untuk menuju posisi normal berat sekali, itulah mengapa kami yakin resesi sulit dihindari.
Menurut Tauhid, resesi ekonomi akan berdampak sangat besar bagi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang akan kehilangan pendapatan, pekerjaan, harapan hidup, dan dampak sosial. Untuk itu, dampak resesi perlu diantisipasi oleh pengambil kebijakan.
Kebijakan fiskal berupa program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diperlukan untuk stimulus perekonomian, tetapi bukan satu-satunya yang menggerakkan perekonomian di tengah dampak pandemi Covid-19. Namun, realisasi PEN masih rendah.
Hingga 25 Agustus 2020, realisasi PEN baru Rp 174,79 triliun atau 25,1 persen dari pagu yang ditetapkan Rp 695,2 triliun. Momentum perbaikan ekonomi ada pada triwulan III-2020, dengan penyaluran PEN setidaknya 50 persen dari total anggaran.
Tauhid menilai, banyak persoalan menyebabkan program PEN sulit terealisasi, antara lain masalah administrasi pendataan yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, dan pelemahan pasar. Realisasi PEN terbesar sejauh ini adalah perlindungan sosial sebesar 45 persen dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) 37 persen.
”Dana bantuan presiden produktif untuk 12 juta usaha mikro dengan total anggaran Rp 22 triliun atau senilai Rp 2,4 juta per usaha mirko diperkirakan sulit efektif mendorong modal kerja. Dana tersebut dikhawatirkan habis sekali pakai dan tidak bisa diputarkan lagi,” ujarnya.
Dalam RAPBN 2021, pemerintah telah membuat diversifikasi program PEN. Namun, alokasi anggaran PEN tahun depan merosot dari Rp 695,2 triliun pada 2020 menjadi Rp 356,5 triliun.
Penurunan terbesar pada anggaran insentif usaha, yakni turun sebesar 83,47 persen. Sementara itu, alokasi PEN untuk UMKM juga turun 59,5 persen, dari Rp 120,6 triliun menjadi Rp 48,4 triliun. Tauhid mempertanyakan penurunan ini mengingat penyerapan anggaran insentif usaha pada 2020 tergolong besar.
”Rendahnya alokasi itu patut disayangkan karena penyerapan anggaran untuk UMKM relatif tinggi hingga saat ini. Logikanya, penyerapan besar seharusnya juga tetap dapat alokasi besar. Ini tanda tanya besar,” kata Tauhid.
Selama ini, kontribusi UMKM terhadap PDB hampir 60 persen dengan penyerapan tenaga kerja hampir 100 juta pekerja. Sebaliknya, anggaran untuk sektoral kementerian/lembaga dan pemda justru meningkat dari Rp 106,11 triliun menjadi Rp 136,7 triliun.
Tauhid menambahkan, alokasi PEN UMKM tahun 2021 tidak didukung desain baru untuk program UMKM, bahkan investasi pada badan layanan umum koperasi dan umkm dihilangkan. Tidak ada desain baru untuk mengantisipasi kesulitan UMKM di tengah masa pemulihan ekonomi.
”Tantangannya, tidak mudah usaha baru muncul di tengah pandemi, apalagi pasar turun untuk beberapa jenis komoditas. Sementara itu, kredit macet UMKM saat ini cenderung meningkat, terutama usaha kecil dari kredit bermasalah (NPL) 3,97 pada September 2019 menjadi 4,27 pada mei 2020,” katanya.
Ekonom senior Indef, Aviliani, berpendapat, UMKM menghadapi persoalan karena masyarakat terkena imbas dan pendapatan turun. Kondisi UMKM yang rentan perlu disikapi dengan mendorong penggabungan dan rantai pasok dengan perusahaan agar menjadi kesatuan dan usaha memperoleh nilai tambah.
Jumlah UMKM hingga 2018 terdata 63,5 juta UMKM. Dari data Bank Pembangunan Asia (ADB) 2020, UMKM yang menutup usaha sebanyak 48,6 persen, UMKM yang mengalami penurunan permintaan domestik 30,5 persen, UMKM yang mengalami gangguan rantai pasok 19,8 persen, dan UMKM yang mengalami pembatalan kontrak 14,1 persen.
Program perlindungan sosial Indonesia masih di bawah rata-rata negara dunia. Padahal, pandemi Covid-19 telah menimbulkan lonjakan jumlah penduduk miskin cukup signifikan, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Peneliti Indef, Media W Askar, mengatakan, program perlindungan sosial Indonesia masih di bawah rata-rata negara dunia. Padahal, pandemi Covid-19 telah menimbulkan lonjakan jumlah penduduk miskin cukup signifikan, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Sementara itu, efektifivitas program bantuan sosial masih minim implementasi dan transparansi. Persoalan akurasi data menyebabkan program menjadi sulit efektif.
”Diperlukan mekanisme pengelolaan data yang baik dan perluasan jangkauan layanan pencatatan sipil. Masih banyak kelompok masyarakat tergolong miskin yang belum memiliki KTP di wilayah pelosok,” katanya.
Ia menambahkan, diperlukan identifikasi pihak yang layak menerima manfaat. Program bantuan sosial bukan sekadar alokasi anggaran dan perencanaan, tetapi yang paling signifikan adalah proses pendampingan terhadap bantuan finansial.
”Alokasi pendanaan penting, tetapi harus diimbangi dengan monitoring dan pendampingan,” katanya.