Pendanaan Proyek Energi Bersih Lebih Mudah Didapat
Perlu investasi Rp 3.461 triliun untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen pada 2030 di Indonesia. Kian mudahnya pendanaan untuk proyek energi terbarukan harus dimanfaatkan dengan baik.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendanaan proyek pengembangan energi bersih lebih mudah diperoleh ketimbang untuk proyek energi fosil yang dikenal tak ramah lingkungan. Isu perubahan iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi latar belakang masifnya dukungan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan di seluruh dunia.
Di Indonesia, PT Geo Dipa Energi (Persero) mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Dana dukungan itu senilai 469,2 juta dollar AS.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, berdasarkan kajian IESR, dukungan pendanaan untuk proyek pembangkit energi fosil kian berkurang. Investasi proyek pembangkit energi fosil yang dianggap kian mahal dan berisiko tinggi menyebabkan berkurangnya dukungan tersebut.
Selain itu, biaya produksi listrik dari energi terbarukan yang makin efisien diperkirakan menjadi lebih murah ketimbang listrik dari energi fosil pada 2025. Dengan semakin efisiennya listrik dari energi terbarukan pada masa mendatang, pembangkit listrik energi fosil berpotensi menjadi aset yang terbengkalai (stranded asset).
”Penyebab lainnya adalah tekanan dunia internasional yang makin kuat terhadap upaya mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim,” ucap Fabby saat dihubungi, Jumat (21/8/2020), di Jakarta.
Biaya produksi listrik dari energi terbarukan yang makin efisien diperkirakan menjadi lebih murah ketimbang listrik dari energi fosil pada 2025.
Sementara itu, Geo Dipa Energi berhasil menuntaskan pembiayaan untuk proyek pengembangan PLTP Dieng Unit 2 dan PLTP Patuha Unit 2 yang masing-masing berkapasitas 55 megawatt. Perusahaan tersebut mendapat pinjaman dari ADB untuk pembiayaan proyek PLTP itu senilai 469,2 juta dollar AS.
Sebagai penjamin pinjaman adalah Kementerian Keuangan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). Surat perjanjiannya ditandatangani pada 19 Agustus 2020.
Direktur Utama Geo Dipa Energi Riki Firmandha Ibrahi mengatakan, proyek pengembangan PLTP Dieng Unit 2 dan PLTP Patuha Unit 2 adalah investasi strategis dan berkelanjutan. Energi bersih yang dihasilkan dari PLTP tersebut akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Pemanfaatan tenaga panas bumi itu juga mendukung ketahanan energi nasional.
”Pengembangan proyek kedua PLTP tersebut sesuai dengan komitmen pemerintah mendukung pengurangan emisi karbon berdasarkan Perjanjian Paris 2015 yang ikut ditandatangani Pemerintah Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers.
Geo Dipa Energi mengelola dua wilayah kerja panasa bumi di Dieng, Jawa Tengah, dan di Patuha yang berada di 40 kilometer ke arah selatan dari Kota Bandung, Jawa Barat. Di dua wilayah kerja tersebut, Geo Dipa Energi telah mengoperasikan PLTP Dieng Unit 1 dan PLTP Patuha Unit 1 dengan kapasitas masing-masing sebesar 60 MW. Ada potensi pengembangan kapasitas di Dieng hingga 110 MW dan di Patuha yang juga sebesar 110 MW.
Pengembangan PLTP ini sekaligus dukungan untuk mengoptimalkan sumber daya energi bersih yang ada di Indonesia.
Direktur ADB untuk Indonesia Winfried F Wicklein menambahkan, kedua proyek pengembangan PLTP tersebut membantu Indonesia memerangi perubahan iklim dan menjadikan sistem kelistrikan lebih andal dan efisien. Selain itu, proyek pengembangan ini diyakini dapat mendorong peningkatan akses terhadap energi yang lebih terjangkau dan lebih ramah lingkungan.
Pengembangan PLTP ini sekaligus dukungan untuk mengoptimalkan sumber daya energi bersih yang ada di Indonesia. Dukungan ADB sejalan dengan sasaran jangka panjang Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan energi pada masa mendatang.
”Dukungan ini termasuk bagian dari upaya memaksimalkan penggunaan sumber daya energi dari dalam negeri, menambah bauran energi, dan memastikan pembangunan yang keberlanjutan,” ujar Winfried.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 417.800 megawatt. Namun, pemanfaatannya masih sangat minim, yaitu sekitar 10.400 megawatt.
Perencanaan energi di Indonesia yang berbasis fosil membuat pengembangan energi terbarukan terpinggirkan. Padahal, pemerintah menargetkan peran energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Sementara realisasi sampai tahun ini masih kurang dari 10 persen.
Dari potensi tenaga panas bumi di Indonesia yang sekitar 24.000 MW, pemanfaatannya sejauh ini baru sebesar 2.131 MW. Kebijakan pemerintah mengenai tarif listrik dari sumber energi terbarukan yang berubah-ubah dinilai sebagai salah sebab lambannya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Berdasarkan catatan IESR, sejak 2008 sampai 2017 ada tujuh aturan yang dikeluarkan Menteri ESDM mengenai harga listrik dari energi terbarukan jenis panas bumi. Begitu cepatnya perubahan tersebut membuat investor memilih bersikap menunggu.