Tekan Emisi Gas Rumah Kaca, Indonesia Perlu Rp 3.461 Triliun
Perencanaan energi di Indonesia yang berbasis fosil menyebabkan pengembangan energi terbarukan berjalan lambat.

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan pendanaan hingga Rp 3.461 triliun untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Anggaran negara yang terbatas membuat dukungan sektor swasta menjadi penting untuk mewujudkan target itu.
Program pencapaian tersebut bisa dipadukan dengan program pemulihan ekonomi nasional yang terpukul akibat pandemi Covid-19.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral pada Kementerian Keuangan Adi Budiarso menyatakan, kebutuhan pendanaan tersebut dirancang sejak 2018. Dengan demikian, kebutuhan pendanaan per tahun mencapai Rp 266 triliun. Padahal, kemampuan pendanaan dari APBN rata-rata Rp 90 triliun per tahun sehingga ada kekurangan hampir Rp 170 triliun per tahun.
Adi menambahkan, dampak fiskal dari emisi gas rumah kaca di Indonesia tak bisa dianggap enteng. Pada 2017, penurunan kualitas air akibat emisi gas rumah kaca senilai Rp 4,05 triliun per tahun. Adapun penurunan kualitas tanah per tahun mencapai Rp 385 miliar dan kerugian akibat emisi pembakaran batubara pada 2017 sebesar Rp 238 miliar.
”Perlu mitigasi dampak perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca dari sektor energi. Pemerintah sudah memberikan dukungan fiskal untuk pengendalian perubahan iklim di Indonesia berupa insentif perpajakan, alokasi belanja mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta pembiayaan inovatif,” kata Adi dalam webinar bertajuk ”Peran Sektor Energi untuk Pemulihan Ekonomi Hijau dan Berkelanjutan”, Jumat (14/8/2020).
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Didorong pada Pemanfaatan Energi Terbarukan
Direktur Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hariyanto menambahkan, Indonesia adalah negara penghasil gas rumah kaca kelima terbesar di dunia. Sektor ketenagalistrikan berkontribusi 15 persen dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia. Padahal, potensi dan sumber daya sumber energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah.
”Pembangunan energi terbarukan di Indonesia akan terus didorong untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan berdampak positif bagi pemulihan ekonomi dan investasi,” ujar Hariyanto.
Indonesia adalah negara penghasil gas rumah kaca kelima terbesar di dunia.

Mengutip Bank Dunia, Hariyanto memaparkan, setiap investasi 1 dollar AS di bidang energi terbarukan akan berdampak hingga 8 dollar AS. Di Indonesia, nilai investasi energi rendah karbon mencapai 38,9 miliar dollar AS. Salah satu strategi pencapaian target energi terbarukan di Indonesia adalah mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan biomassa secara masif.
Pemerintah menargetkan investasi di sektor energi terbarukan 2,3 miliar dollar AS pada tahun ini. Pada 2019, realisasi investasi di sektor ini mencapai 1,5 miliar dollar AS. Pandemi Covid-19 yang turut melanda Indonesia sejak awal Maret lalu diperkirakan bakal membuat pengembangan energi terbarukan lesu dan tak sesuai target.
Pemulihan ekonomi
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, pengembangan energi terbarukan di Indonesia bisa membantu pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Caranya dengan menggalakkan program pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di rumah tangga miskin yang selama ini menerima subsidi listrik. PLTS atap juga dapat mengurangi belanja subsidi listrik dalam jangka panjang.
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia bisa membantu pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.
Menurut kajian IESR, pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 bisa dilakukan lewat program nasional berupa Program Surya Nusantara. Program ini adalah pemasangan PLTS atap berkapasitas 1.000 megawatt peak (MWp) terhadap 500.000 rumah tangga penerima subsidi listrik. Dengan demikian, setiap rumah mendapat kapasitas terpasang hingga 2.000 watt peak. Program ini bisa dimulai pada 2021 untuk mendukung capaian target nasional PLTS atap sebesar 6.500 MWp pada 2025.
”Program ini dapat menyerap tenaga kerja baru 30.000 orang dan mampu menurunkan belanja subsidi listrik dalam jangka panjang,” ujar Fabby.

Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon, Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan oleh pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual. Selain ramah lingkungan, penggunaan panel surya juga menghemat biaya penggunaan listrik bulanan yang pada akhirnya menguntungkan konsumen.
Baca juga: Dampak Pandemi Sementara, Energi Terbarukan Terus Dikembangkan
Data Kementerian ESDM menunjukkan, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia sebesar 417.800 megawatt. Namun, pemanfaatannya masih sangat rendah, yakni sekitar 10.400 megawatt. Perencanaan energi di Indonesia yang berbasis fosil membuat pengembangan energi terbarukan terpinggirkan. Padahal, pemerintah menargetkan peran energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Sementara realisasinya sampai dengan tahun ini masih kurang dari 10 persen.