Listriki Perdesaan, Pemerintah Kombinasikan Energi Terbarukan dan Fosil
Menaikkan kualitas pasokan listrik di Indonesia tak kalah pentingnya dengan usaha meningkatkan rasio elektrifikasi nasional. Masih banyak wilayah berlistrik dengan nyala listrik hanya beberapa jam dalam sehari.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
DOKUMENTASI PLN DISTRIBUSI LAMPUNG
Jaringan listrik yang dibangun oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) di kawasan sentra udang Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Kota Bandar Lampung.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan 433 desa yang belum berlistrik di Indonesia segera bisa mengakses listrik pada tahun ini. Selain memprioritaskan pemanfaatan sumber energi terbarukan setempat, elektrifikasi dari pembangkit bertenaga diesel juga menjadi pilihan. Dibutuhkan dana Rp 1,2 triliun untuk melistriki ratusan desa tersebut.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Kompas, Kamis (20/8/2020), Direktur Jenderal Ketenagalistrikan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, pemanfaatan sumber energi terbarukan, seperti mikrohidro, tenaga bayu, dan surya, yang ada di desa tersebut akan menjadi pilihan utama. Pilihan berikutnya adalah melistriki desa dengan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) komunal. Cara yang lain dengan pengadaan tabung listrik (talis).
”Kebutuhan pendanaan untuk elektrifikasi 433 desa ini sekitar Rp 1,2 triliun, termasuk di dalamnya anggaran pengadaan tabung listrik Rp 525,5 miliar yang dianggarkan pada 2021 di bawah Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi,” ujar Rida.
Hingga Juni 2020, rasio elektrifikasi desa di Indonesia mencapai 99,51 persen atau lebih tinggi daripada rasio elektrifikasi nasional yang 99,09 persen.
Talis adalah sebuah perangkat yang mampu menyimpan daya listrik dan mudah untuk dibawa atau dipindahkan (portabel). Ada tiga macam kapasitas talis, yaitu 300 watt jam (Wh), 500 Wh, dan 1.000 Wh, yang bisa untuk menyalakan beberapa bohlam dan televisi serta mengisi daya telepon seluler. Daya listrik dari talis diperoleh dari pembangkit listrik tenaga surya atau dari stasiun pengisian energi listrik.
Hingga Juni 2020, rasio elektrifikasi desa di Indonesia mencapai 99,51 persen atau lebih tinggi daripada rasio elektrifikasi nasional yang sebesar 99,09 persen. Mayoritas desa yang belum berlistrik ada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain itu, ada 3.058 desa di Indonesia yang mendapat penerangan listrik dari lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Panel surya dipasang di puncak bukit Dusun Banyumeneng, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, guna menghasilkan listrik untuk tenaga mesin pompa air, Kamis (31/8/2018). Pompa air bertenaga surya tersebut memungkinkan ratusan keluarga di dusun itu tetap dapat memperoleh aliran dari mata air meski saat kemarau.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Bob Saril mengatakan, PLN berkomitmen untuk melistriki seluruh wilayah Nusantara. Tak hanya meningkatkan rasio elektrifikasi, PLN juga terus meningkatkan kepuasan pelanggan.
”Usaha menaikkan rasio elektrifikasi nasional terus meningkat pesat sejak 2014 yang sebesar 84,35 persen menjadi 99,09 persen sejak triwulan I-2020. Jadi, ada kenaikan lebih dari 14 persen,” ujarnya.
Kualitas listrik
Dalam catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), kualitas pasokan listrik di Indonesia belum merata kendati rasio elektrifikasi terus meningkat. Kualitas pasokan ini menyangkut kemampuan pasok tingkat daya listrik yang berbeda-beda antara suatu wilayah dan wilayah lain. Optimalisasi sumber energi terbarukan sesuai dengan potensi suatu wilayah bisa menjadi jalan keluar.
”Walaupun rasio elektrifikasi Indonesia hampir menyentuh 100 persen, kualitas listrik masih menjadi catatan penting bagi kami. Belum semua masyarakat mendapat akses listrik dengan kualitas seragam,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.
Salah satu upaya meningkatkan pasokan dan memperbaiki kualitas akses listrik di Indonesia adalah dengan mengoptimalkan sumber energi terbarukan di tiap-tiap wilayah.
Menurut Fabby, program elektrifikasi yang diluncurkan pemerintah pada umumnya masih menyediakan akses listrik dengan kualitas tier 1, seperti pada program pembagian LTSHE. Kategori ini adalah kategori untuk akses listrik dengan tingkat daya sangat rendah, yakni di bawah 50 watt.
Tier 1 hanya cukup untuk penerangan lampu bohlam atau untuk pengisian daya perangkat telepon seluler. Sedangkan masyarakat yang mendapat aliran listrik dari pembangkit PLN sebagian besar mendapat akses listrik dengan kualitas tier 4 (800-2.000 watt), bahkan tier 5 (di atas 2.000 watt).
”Perbedaan ini dapat memengaruhi manfaat dan efektivitas listrik yang diterima masyarakat yang terkait dengan produktivitas ekonomi,” ujar Fabby.
SUMBER: IESR
Kualitas akses listrik yang dibagi dalam besaran daya terpasang.
Salah satu upaya meningkatkan pasokan dan memperbaiki kualitas akses listrik di Indonesia adalah dengan mengoptimalkan sumber energi terbarukan di tiap-tiap wilayah. Sumber energi terbarukan tersebut, antara lain, tenaga surya, bayu, atau tenaga mikrohidro. Walaupun potensi energi terbarukan di Indonesia besar, pemanfaatannya belum optimal.
Data dari Kementerian ESDM menyebutkan, potensi tenaga panas bumi di Indonesia sebesar 25.400 megawatt (MW) dengan pemanfaatan sekarang hanya 2.000-an MW. Sementara potensi tenaga hidro mencapai 75.000 MW dengan pemanfaatan kurang dari 6.000 MW.
Sementara potensi tenaga bayu mencapai 60.000 MW dan tenaga surya 207.000 MW. Dua jenis energi terbarukan yang terakhir ini pemanfaatannya masih sangat minimal.