Pematuk Rezeki Itu Korona, Bukan Ayam
Kami harus terus "obah ben tetep bakoh". Kami harus tetap bekerja agar ekonomi tetap kuat. Jangan mengeluh dengan pandemi. Kami harus melawannya dengan kreativitas dan inovasi.

Kaspuri (tengah), pedagang sayur keliling, sedang melayani pembelinya di kawasan Cisalak Pasar, Depok, Jawa Barat, Rabu (5/8/2020).
Peribahasa ”jangan bangun kesiangan, nanti rezekinya dipatuk ayam” tak berlaku di tengah pagebluk Covid-19. Sudah bangun pagi, rezeki malah dipatuk korona.
Ada ataupun tiadanya pandemi Covid-19, Kaspuri (47), pedagang sayur keliling, tetap bangun pukul 03.30. Sekitar dua jam sebelum matahari terbit pun, dia sudah berada di pasar untuk membeli sayur-mayur, buah, ataupun aneka pangan sumber protein untuk dijajakan. Bedanya, dia lebih sering menunggu pembeli di suatu titik dan tidak terlalu banyak berkeliling.
Kendati demikian, rezeki Kaspuri terpatuk korona. ”Rata-rata pendapatan saya turun 50 persen. Pembeli berkurang akibat banyak jalan yang ditutup (karena pandemi Covid-19). Sayur, daging, atau buah yang dibeli oleh pembeli yang ada juga ikut berkurang,” tuturnya saat ditemui di Cisalak Pasar, Depok, Jawa Barat, Rabu (5/8/2020).
Rata-rata pendapatan saya turun 50 persen. Pembeli berkurang akibat banyak jalan yang ditutup. (Kaspuri)
Dampaknya, Kaspuri mesti menyesuaikan pengeluaran keluarganya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Harapannya tak muluk-muluk. Dia ingin sejumlah jalan di kawasan perumahan yang kini ditutup akibat pandemi Covid-19 dibuka kembali. Setidaknya, dia bisa menghampiri pelanggan di depan tempat tinggal.
Yani Mardiyanto (53), pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergelut di bidang kain lukis dengan nama Nasrafa, merasakan langsung dampak pandemi Covid-19. Omzet bulanan yang sebelumnya dapat mencapai Rp 100 juta terpukul hingga menjadi Rp 5 juta sampai Rp 10 juta.
”Saat awal pandemi sekitar 2,5 bulan sejak Maret, usaha kami betul-betul lesu. Bahkan, saya sempat mengistirahatkan enam pelukis selama dua minggu pada Mei karena sudah tidak ada pesanan baru dan hanya menjual stok lama,” ujarnya yang menjalankan usaha di daerah Solo, Jawa Tengah.
Tak hanya kelas menengah ke bawah yang terimbas pandemi, tetapi juga masyarakat kelas menengah ke atas. Ivonne Sondakh (33), manajer e-dagang dan pemasaran digital salah satu hotel di Ubud, Gianyar, Bali, harus menghadapi pengurangan gaji secara bertahap. Sejak mobilitas wisatawan asing dan domestik di Bali berkurang mulai Maret 2020, perusahaan tempatnya bekerja mengurangi gaji pokoknya, yang sekitar Rp 5 juta sebesar 30 persen pada April.

Sejumlah karyawan berjalan kaki di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup sementara sejumlah perkantoran di Jakarta setelah ditemukan karyawan yang terpapar Covid-19. Kluster perkantoran perlu terus diwaspadai agar penularan Covid-19 tidak meluas.
Pendapatan yang ia kantongi itu masih dikurangi potongan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Adapun tunjangan dan bonus lainnya, yang bisa menggenapkan gajinya dua sampai empat kali lipat gaji pokok, tidak lagi bisa didapatkan semenjak adanya kebijakan bekerja dari rumah. Kebijakan baru dalam bekerja dan pengurangan gaji itu masih ia syukuri, mengingat banyak rekannya di hotel lain yang dirumahkan tanpa digaji hingga mendapat pemutusan hubungan kerja.
Namun, pada bulan berikutnya, Mei 2020, gajinya kembali dikurangi 50 persen dan pada Juni 2020 dikurangi sampai 70 persen. Di tengah adaptasi kebiasaan baru saat ini, ia bahkan hanya digaji sesuai hari masuk kantor yang dibatasi empat hari seminggu. Penghasilan yang semakin menipis membuatnya menahan pengeluaran gaya hidup, seperti membeli kopi di Starbucks setiap hari atau berlibur di luar kota.
Ujian berat datang ketika ibu yang tinggal di Salatiga, Jawa Tengah, mengidap komplikasi penyakit berat. Kondisi kesehatan ibu yang semakin kritis selama pandemi membuat Ivonne harus menanggung biaya cuci darah Rp 7 juta-Rp 8 juta tiap minggu seorang diri.
Baca juga : Cegah Resesi, Daya Beli Ditingkatkan
Biaya perawatan itu hanya 10 persen total biaya yang dijamin asuransi BPJS Kesehatan, tetapi dengan kondisi keuangan yang seret, Ivonne masih harus mencari sumber pendanaan lain untuk membantu ibunya. Pada akhirnya, ia pun menggunakan deposito dan dana darurat yang ia siapkan sejak beberapa tahun belakangan.
”Di sini aku baru sadar bahwa dana darurat itu penting banget,” ujarnya.
Di sini aku baru sadar bahwa dana darurat itu penting banget. (Ivonne Sondakh)
Penyesuaian pengeluaran
Imbas dari pandemi Covid-19, ekonomi nasional pada triwulan II-2020 tumbuh minus 5,32 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebagai motor utama penggerak ekonomi nasional terkontraksi, minus 5,51 persen.

Dalam seminar daring bertajuk ”Beyond Covid-19: Keeping Up With The (Not So) New Consumers”, Director of Consumer Panel Nielsen Connect Indonesia Mia Triscahyani memaparkan hasil riset yang menunjukkan adanya penyesuaian dalam pos pengeluaran masyarakat. Hasil riset ini membagi masyarakat ke kelompok sosial-ekonomi (SES) rendah dengan pengeluaran di bawah Rp 700.000 per bulan, SES menengah (sekitar Rp 1 juta per bulan), dan tinggi (di atas 3 juta per bulan).
Dalam penelitian tersebut, kelompok SES tinggi dan SES menengah memiliki fleksibilitas menempatkan anggaran produk konsumen bergerak cepat (FMCG) atau kebutuhan hidup harian dan berpotensi tidak mengurangi alokasi untuk tabungan. Sebaliknya, kelompok SES rendah tidak memiliki fleksibilitas tersebut dan terancam mengorbankan alokasi anggaran untuk tabungan.
Kelompok lower SES akan mengalokasikan anggaran dengan kuat (atau bertambah di atas 5 persen) untuk kebutuhan telekomunikasi dan asuransi. Di sisi lain, kelompok ini berpotensi mengurangi anggaran untuk tabungan dan pinjaman sebesar 18 persen.
”Pengurangan anggaran itu menandakan kelompok masyarakat ini berpotensi tidak dapat menabung maupun mengembalikan pinjamannya dalam beberapa waktu ke depan,” katanya.
Baca juga : Penyesuaian Keuangan Masyarakat Dapat Menggerus Tabungan
Sementara itu, kelompok SES tinggi cenderung mengalokasikan anggarannya untuk barang-barang FMCG dalam kategori kuat. Alokasi anggaran kelompok ini akan berkurang sebesar 27 persen untuk transportasi dan 43 persen untuk rekreasi.
Hampir sama dengan SES tinggi, kelompok SES menengah akan menguatkan anggarannya untuk produk FMCG dan kebutuhan telekomunikasi. Kelompok SES menengah akan mengurangi anggarannya untuk kebutuhan pendidikan sebesar 20 persen dan rekreasi 32 persen.
Memperjuangkan hidup
Survei Kantar terhadap 4.159 orang di Indonesia pada 4-8 Juni 2020 menunjukkan, pandemi membuat 52 persen responden cemas akan pekerjaan dan pendapatannya. Sementara 47 persen responden memilih mengurangi pengeluaran untuk menyimpan uang.
Survei pada 9-19 Juni 2020, ketika Indonesia memasuki fase transisi menuju normal baru, kemudian mengubah kecenderungan kecemasan finansial mereka. Kecemasan akan pekerjaan dan pendapatan hanya disampaikan 44 persen responden dan keinginan untuk mengurangi pengeluaran dan menyimpan uang hanya dinyatakan 39 persen responden.
Baca juga : Waspadai Miskin Kronis di Akhir Tahun

Di tengah kecemasan terhadap pandemi dan ekonomi rumah tangga, Kaspuri, Yani, dan Ivonne terus berupaya memperjuangkan hidup. Kaspuri tetap setia berjualan sayur kendati berisiko terpapar Covid-19. Ivonne mencoba berjualan kue yang dibuat sendiri pada awal Juni untuk menyibukkan diri dan membiayai pengobatan sang ibu.
Kegiatan membuat kue yang awalnya dilakukan untuk memenuhi keinginan sendiri dan berbagi ke teman-teman saat Lebaran itu ternyata didukung untuk dikomersilkan.
”Di Bali ada gerakan ’bantu teman’. Perannya saling bantu mem-posting dagangan dan saling beli untuk mendukung usaha teman yang lain,” katanya.
Kami harus terus obah ben tetep bakoh. Kami harus tetap bekerja agar ekonomi tetap kuat. Jangan mengeluh dengan pandemi. Kami harus melawannya dengan kreativitas dan inovasi. (Yani Mardiyanto)
Gerakan sosial itu pun membantu mempromosikan kue buatannya yang dipasarkan secara daring. Pembeli pun tidak melulu datang dari kawan-kawan yang dikenal, tetapi juga dari konsumen baru. Sampai saat ini, ia biasa memproduksi kue dalam dua kali open order seminggu dengan omzet Rp 800.000.
Sementara itu, Yani bersama rekan-rekan pelukis lain berinovasi dan berkreasi melalui masker kain lukis guna mengungkit usaha. Para pelukis yang sempat diistirahatkan kini kembali berkarya untuk memenuhi pesanan yang mencapai 1.500 masker per bulan.
Sudah ada 72 pelanggan masker kain lukis yang tersebar mulai dari Palembang, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Bandung, Bali, hingga Papua. Inovasi juga dilakukan dengan promosi gratis masker kain lukis apabila membeli blus.
Sekarang omzet bisa berkisar Rp 40 juta sampai Rp 60 juta dari penjualan masker. ”Kami harus terus obah ben tetep bakoh. Kami harus tetap bekerja agar ekonomi tetap kuat. Jangan mengeluh dengan pandemi. Kami harus melawannya dengan kreativitas dan inovasi,” ujar Yani.