Pelaku usaha, khususnya skala mikro dan kecil, membutuhkan pendampingan untuk menghadapi persaingan pasar di platform digital. Digitalisasi jadi faktor kunci UMKM bertahan dan berkembang di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
Agnes Theodora/M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program pemerintah sejauh ini dinilai kurang realistis dan tepat guna untuk memberdayakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Para pelaku usaha, khususnya mikro dan kecil, membutuhkan pendampingan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan pasar di platform digital.
Ketua Bidang Organisasi International Council for Small Business (ICSB) Indonesia Samsul Hadi berpendapat, digitalisasi menjadi faktor kunci agar UMKM bisa bertahan dan berkembang selama dan sesudah pandemi Covid-19. Namun, pelaku UMKM tidak bisa diharapkan terjun ke ekosistem digital tanpa pendampingan dan pelatihan yang realistis.
”UMKM memiliki kelebihan untuk lebih fleksibel merespons perubahan dibandingkan korporasi besar. Namun, UMKM sering kali kalah dari segi kapasitas, kualitas, dan akses pasar–apalagi, segmen pasar digital itu berbeda jauh dari pasar luring,” kata Samsul saat dihubungi, Selasa (28/7/2020).
Oleh karena itu, program pemberdayaan UMKM harus realistis. UMKM tidak bisa dipaksa untuk langsung terjun ke platform digital, seperti program pemberdayaan UMKM oleh Kementerian Koperasi dan UKM dengan platform Blibli. ”Lompatan digital UMKM tidak bisa langsung ke marketplace, itu ibarat ditaruh di hutan belantara,” ujarnya.
Ia mengatakan, pelaku usaha skala ultra mikro sampai kecil bisa memulai lompatan digital itu dengan mulai berjualan di platform media sosial, seperti Instagram dan Facebook. Secara berkala dan berkesinambungan, perkembangan usaha mereka juga dimonitor dan dievaluasi. Selain itu, membukakan akses pasar untuk UMKM di ranah digital.
Belanja pemerintah atau BUMN bisa diperluas lewat UMKM. Harapannya, pelaku usaha tidak perlu menunggu orang lewat dan membeli, tetapi sudah ada kebutuhan yang teridentifikasi dan bisa diisi oleh UMKM. ”Kalau hanya mengandalkan mekanisme pasar, itu sulit. Pelaku UMKM yang disuruh masuk ke marketplace tanpa pendampingan pasti kalah. Karena selera konsumen di pasar digital itu beda lagi,” kata Samsul.
Ia mencontohkan, dari hasil analisis Google Trends, selama lima bulan terakhir, produk yang laku di pasar digital umumnya adalah produk kosmetik dan kecantikan yang mayoritas diimpor. ”Penjual keripik pisang mau berjualan di platform marketplace harus tahu bagaimana kondisi pasarnya. Atau, tidak bisa semua pelaku usaha banting setir berjualan masker karena permintaan masker mulai menurun,” katanya.
Di sisi lain, banyak UMKM tradisional yang selama ini terbiasa fokus pada proses produksi dan tidak terlalu memperhatikan pemasaran karena sudah punya ceruk pasarnya sendiri. Mereka membutuhkan pergeseran pola pikir jika ingin terjun ke ranah digital yang fokus pada pemasaran. Pelatihan insentif dan pendampingan diperlukan untuk pelatihan strategi pemasaran secara daring.
Salah satu solusi adalah memperbanyak pemasar melalui internet (internet marketer) atau reseller untuk membawa produk tradisional itu ke pasar daring. ”Dengan kata lain, jasa untuk membantu UMKM memasarkan produk sehingga UMKM bisa fokus pada produksi dan menjaga kualitas barang. Ini bisa membantu pelaku UMKM yang belum siap berbisnis dengan pola baru, tetapi harus mempertahankan usahanya,” kata Samsul.
Beberapa program pemerintah dinilainya belum memiliki strategi besar serta masih tersebar lintas kementerian/lembaga. Sebagai contoh, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memiliki program Beli Kreatif Lokal untuk mendorong digitalisasi UMKM di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Para pelaku UMKM difasilitasi untuk berjualan secara daring dan diberi pendampingan serta promosi.
Ada pula program KUMKM Hub yang diselenggarakan Kementerian Koperasi dan UKM dengan platform Blibli. Program ini merupakan kanal khusus di Blibli yang isinya memasarkan an menjual produk lokal buatan UMKM.
”Pemerintah harus dapat memotret fenomena pasar di ceruk digital dan menyampaikannya ke UMKM, bukan sebaliknya, mendorong UMKM ’cemplung’ ke digital tanpa strategi,” tutur Samsul.
Sejumlah pelaku e-dagang berupaya dalam meningkatkan dan memeratakan literasi digital bagi pelaku UMKM. Executive Vice President Consumer Goods Blibli Fransisca K Nugraha mengatakan, strategi yang terbukti jitu dalam menjangkau dan mengembangkan penjual UMKM potensial, baik di luar Jawa maupun di Jawa, ialah bekerja sama dengan pemerintah dan asosiasi industri di pusat dan daerah. Tujuannya menjangkau berbagai macam pelaku usaha.
Menurut Fransisca, kolaborasi itu meningkatkan akses ataupun kemampuan berbisnis penjual UMKM dalam ekosistem e-dagang. ”Hal ini dapat memperluas pasar UMKM dan harapannya meningkatkan penghasilan UMKM,” ujarnya.
External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya berpendapat, secara fisik, perusahaan menghadirkan Tokopedia Center untuk menjangkau masyarakat di Indonesia agar dapat memanfaatkan peluang berjualan secara daring. Pusat ini salah satunya berperan sebagai sarana edukasi digital yang membantu para pegiat UMKM dalam memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan usaha.
Selain itu, kata Ekhel, Tokopedia juga berkolaborasi dengan sejumlah mitra strategis, seperti pemerintah dan badan usaha milik desa. Kolaborasi ini menghasilkan seminar dan pelatihan daring yang bertujuan mempermudah UMKM setempat dalam menggunakan teknologi digital dan menyelesaikan tantangan bisnis selama pandemi Covid-19.