Optimalisasi Pemasaran Daring Dorong Ekspor Produk Furnitur
Untuk bertahan, bahkan untuk membuka kesempatan ekspor di tengah pandemi Covid-19, pelaku usaha harus menjadikan teknologi sebagai dasar dalam melakukan proses bisnis.
Oleh
ERIKA KURNIA/SHARON PATRICIA
·5 menit baca
Para pelaku usaha di bidang furnitur dan dekorasi rumah memang cenderung melayani konsumen dengan tatap muka secara langsung. Namun, untuk tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19, bahkan untuk membuka peluang ekspor, penjualan dalam jaringan harus dioptimalkan.
Wahyudi, pengusaha produk dekorasi berbahan logam tembaga asal Boyolali, Jawa Tengah, menemukan secercah optimisme ketika mendapat permintaan produk dari Negeri Kanguru, Australia, baru-baru ini. Setelah tiga bulan lamanya kering pesanan dari luar negeri, kini roda usahanya kembali bergerak.
Pandemi Covid-19 yang meledak sejak Maret lalu memengaruhi aktivitas usahanya yang 90 persen ditopang permintaan ekspor. Beberapa tender besar dari Belgia, Amerika Serikat, dan Australia pun tertunda sejak mobilitas orang dari luar negeri ke Indonesia terhambat pembatasan sosial.
Sebelum pandemi, hampir setiap hari galerinya di daerah perajin Cepoyo biasa didatangi calon pembeli dari luar negeri. Namun, pembatasan sosial membuat kunjungan tamu berkurang, menjadi rata-rata tiga orang dalam sebulan.
Pasar dalam negeri memang masih menghidupi usahanya. Namun, nilai dan volume penjualan dalam negeri jauh dari normal. Penghasilan yang didapatkan pun tidak menghindarkan perusahaan untuk melakukan efisiensi tenaga kerja.
”Proyek penjualan dalam negeri yang jalan antara lain untuk masjid dan rumah pribadi eksklusif. Permintaan datang dari Jakarta hingga luar Jawa seperti Medan. Tetapi, penghasilannya cuma buat bertahan hidup saja,” tutur Wahyudi saat dihubungi Kompas, Selasa (28/7/2020).
Di tengah ketidakstabilan permintaan dan situasi pandemi, ia akhirnya menjajal jalur online atau dalam jaringan (daring). Meski mengakui masih belajar dalam memanfaatkan platform e-dagang dan media sosial dari kerabat yang lebih muda, Wahyudi sudah merasakan dampak dari digitalisasi.
”Kami sudah share produk kami secara daring dan ternyata banyak pasar luar negeri yang follow dan tertarik memesan sampel. Kemarin ada permintaan dari Australia dan sekarang kami sudah mulai produksi untuk dikirim ke sana,” ujarnya.
Kanal pemasaran digital juga dioptimalkan oleh pengusaha furnitur mebel dan kerajinan tangan Abdul Sobur yang berbasis di Jakarta dan Bandung. Pengusaha produk merek Kriya Nusantara dan Gloya (Global Kriya), yang sudah jalan selama 25 tahun, tersebut kini mulai membangun platform pemasaran daring sebagai ikhtiar membangkitkan usaha yang terpuruk karena pandemi.
”Memang perlu ada ikhtiar khusus. Biasanya, kami mengandalkan pameran offline untuk pemasaran, tetapi kini kami susah berinteraksi karena adanya pembatasan penerbangan dan sebagainya,” katanya.
Strategi beralih ke daring diakui Abdul memang agak terlambat dilakukan. Namun, pandemi memaksa mereka untuk segera beralih ke digital agar bisa menyaingi pelaku usaha global lainnya.
Tidak hanya itu, jalur daring juga menjadi cara untuk tetap terhubung dengan pelanggan dan calon pelanggan baru di luar negeri, terlebih 90 persen usahanya memang menyasar pasar ekspor. Mayoritas pasarnya berada di Timur Tengah, khususnya untuk produk kerajinan tangan. Sisanya tersebar di Eropa dan Amerika.
”Yang terpenting dari memulihkan bisnis saat ini adalah kesiapan industri itu sendiri, dengan peningkatan kapasitas produksi dan desain. Saat ini, kita akui kita tertinggal dari Vietnam dan China yang lebih produktif karena kemajuan teknologi dan digitalisasi pemasaran,” ucapnya.
Potensi ekspor
Kepala Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) Los Angeles, Amerika Serikat, Bayu Nugroho menyampaikan, produk furnitur Indonesia memiliki potensi bagus untuk ekspor ke AS. Nilai ekspor produk furnitur mencatatkan peningkatan dari sekitar 700 juta dollar AS pada 2017 menjadi sekitar 1,1 miliar dollar AS pada 2019.
”Bahkan, di masa pandemi Covid-19, kinerja ekspor furnitur Indonesia seperti memberikan angin segar dengan membukukan kenaikan sebesar 51,3 persen pada periode Januari-Mei 2020. Nilainya mencapai 582 juta dollar AS, sebelumnya pada periode yang sama tahun 2019 sebesar 384 juta dollar AS,” ujarnya.
Bayu menyampaikan paparan ini dalam acara seminar virtual bertemakan ”Peluang Ekspor ke AS, Eropa, dan Rusia”. Acara diadakan Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia dan Junior Chamber International (JCI) Yogyakarta.
Tantangan yang sering dihadapi pelaku usaha, kata Bayu, adalah mengenai sertifikasi. Setidaknya ada empat sertifikasi yang harus dipenuhi pelaku usaha furnitur sebelum mengekspor barangnya ke AS.
Sertifikasi itu mulai dari US Customs Border and Protection (CBP), USDA: Regulasi APHIS (The US Department of Agriculture’s Animal and Plant Health Inspection Service), persyaratan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), hingga persyaratan Lacey Act.
”Secara umum, sertifikasi ini untuk mengetahui apakah profuk furnitur yang dijual bebas dari hama, tidak menggunakan tanaman langka. Perlu juga ada persiapan ilmiah yang menginformasikan tentang genus atau spesies terkait asal kayu,” kata Bayu.
Dalam keadaan pandemi Covid-19 yang mengurangi tatap muka, Bayu menyarankan para pelaku usaha tetap melakukan temu bisnis secara virtual. Persiapan yang perlu dilakukan antara lain bahan presentasi Power Point yang dapat berupa video dan presentasi dalam bahasa Inggris untuk mengantisipasi adanya pembeli asing.
Duta Besar RI untuk Italia Esti Andayani menyampaikan, produk furnitur dan dekorasi rumah juga memiliki potensi untuk diekspor ke Italia. Nilai ekspornya pada 2019 tercatat 9,73 juta dollar AS, menjadi komoditas terbesar keempat setelah kopi, pakaian, dan perhiasan.
Sama halnya dengan AS, ekspor furnitur ke Italia pun memiliki regulasi yang wajib ditaati. Misalnya, khusus produk berbahan kayu harus memenuhi ketentuan penebangan legal.
Selain itu, produk peralatan dapur dan peralatan makan harus memenuhi ketentuan standar regulasi material. Ada pula sertifikasi yang menjamin sustainabilitas, perdagangan yang adil, serta Forest Stewardship Council.
Menurut Esti, para pelaku usaha harus mulai menyiapkan informasi melalui laman serta berbagai media sosial terkait produk yang dijual sebagai strategi untuk promosi dagang. Diperlukan juga katalog untuk spesifikasi teknis dan visual yang lengkap serta sejalan dengan nilai-nilai Italia.
”Konsumen Italia menginginkan kualitas produk yang tinggi dan layanan prima. Jadi, pada dasarnya tetap ada peluang bagi produk luar, termasuk Indonesia, untuk masuk ke pasar Italia,” kata Esti.