Pasar obligasi diperkirakan semakin ramai karena maraknya surat utang yang diterbitkan swasta dan pemerintah pada semester II-2020. Ruang "perang" imbal hasil mulai terbuka.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Opsi investor ritel memilih instrumen obligasi pada semester II-2020 semakin beragam seiring kembali maraknya penerbitan surat utang swasta. Dari sisi emiten, kebutuhan pembiayaan serta harapan segera pulihnya kondisi pasar keuangan membuat instrumen surat utang kembali menjadi alternatif.
Pada Senin (20/7/2020), PT Pupuk Indonesia (Persero) melangsungkan Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) Obligasi Berkelanjutan II Pupuk Indonesia Tahap I Tahun 2020 dengan total emisi Rp 2,5 triliun. Obligasi ini merupakan bagian dari PUB II senilai total Rp 8 triliun.
Direktur Utama Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat mengatakan, penerbitan obligasi ini bagian dari strategi perusahaan untuk mendiversifikasi sumber pendanaan eksternal. Dana obligasi akan digunakan baik untuk melakukan reprofiling atas pinjaman perbankan maupun obligasi di induk serta anak perusahaan.
”Kami optimistis target penerbitan bisa terserap pasar mengingat kinerja perusahaan yang selalu stabil, bahkan meningkat walaupun di tengah masa pandemi Covid-19,” ujarnya.
Penerbitan obligasi ini bagian dari strategi perusahaan untuk mendiversifikasi sumber pendanaan eksternal.
Pada 2019, Pupuk Indonesia memperoleh laba Rp 3,71 triliun dari total nilai aset Rp 135,55 triliun. Dengan capaian itu, Pupuk Indonesia berhasil mempertahankan kinerjanya sebagai 10 besar perusahaan pupuk dunia berdasarkan total aset, pendapatan, EBITDA (pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi), dan laba bersih.
Adapun, obligasi berkelanjutan Pupuk Indonesia mendapat peringkat AAA (idn) dari PT Fitch Ratings Indonesia. PUB II Obligasi Pupuk Indonesia Tahap I Tahun 2020 terbagi dalam tiga seri, yaitu Seri A bertenor 3 tahun, Seri B bertenor 5 tahun, dan Seri C bertenor 7 tahun. Pembayaran bunga dilakukan secara triwulanan.
Untuk obligasi Seri A dengan tenor 3 tahun memiliki indikasi kupon yang ditawarkan 6,25-7,25 persen, Seri B tenor 5 tahun sebesar 7-8,3 persen, dan Seri C tenor 7 tahun sebesar 7,5-8,75 persen.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, sudah ada 30 perusahaan yang siap mencatatkan 36 instrumen obligasi dan sukuk di pasar modal. Satu perusahaan dalam daftar tunggu saat ini ada yang menerbitkan lebih dari satu obligasi. Data ini merupakan data sementara dan akan terus berkembang dengan masuknya emiten baru.
Geliat swasta
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, volume emisi surat utang korporasi hingga akhir semester I-2020 hanya Rp 24,64 triliun, turun 55,64 persen dibandingkan semester I-2019 yang mencapai Rp 55,55 triliun.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengakui, tren penerbitan obligasi korporasi pada periode enam bulan pertama tahun ini turun. Penurunan nilai emisi terjadi seiring dengan turunnya penerbitan instrumen obligasi dan jumlah perusahaan penerbit. Namun, dia optimistis pada awal semester II-2020 ini, minat perusahaan sudah kembali untuk mencari pendanaan lewat pasar surat utang.
Kepala Divisi Pemeringkatan Korporasi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Niken Indriarsih menilai, tren suku bunga rendah dan keperluan perusahaan untuk mendanai surat utang jatuh tempo akan menjadi pendorong korporasi untuk menerbitkan surat utang.
Berdasarkan skenario optimistis Pefindo, total nilai emisi penerbitan obligasi sepanjang tahun ini diproyeksi bisa mencapai Rp 100 triliun. Sementara berdasarkan skenario pesimistis, total nilai emisi penerbitan obligasi sepanjang tahun ini diperkirakan hanya Rp 66 triliun.
Sementara itu, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan, penerbitan obligasi pada semester II-2020 masih berpeluang mendapatkan dana sesuai target emisi. Namun, ada ruang persaingan antara imbal hasil dari obligasi korporasi dan imbal hasil dari surat utang negara (SUN).
Setelah penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ke level 4 persen, imbal hasil dari SUN bertenor 5 tahun berada kisaran 6,05-6,28 persen. Sementara itu, imbal hasil SUN bertenor 10 tahun diproyeksikan berada dalam rentang 7-7,1 persen. Sementara imbal hasil SUN bertenor 15 tahun di kisaran 7,3-7,55 persen.
Meski bersaing dengan SUN, Ramdhan optimistis obligasi korporasi tetap dapat terserap dengan baik. Hal itu sejalan dengan kebutuhan investor dalam menyeimbangkan portofolio dengan mengoleksi surat utang perusahaan.
”Pasar masih akan menyerap obligasi korporasi selama ditunjang kondisi empat pilar pasar keuangan yang masih sehat, yakni perbankan, dana pensiun, asuransi, dan reksa dana,” ujarnya.
Meski bersaing dengan SUN, obligasi korporasi tetap dapat terserap dengan baik. Hal itu sejalan dengan kebutuhan investor dalam menyeimbangkan portofolio dengan mengoleksi surat utang perusahaan.
Sementara, pada semester-I 2020, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI membukukan laba bersih setelah pajak Rp 42 miliar atau tumbuh 124 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Pada penutupan kinerja keuangan akhir 2019, RNI merugi Rp 64,8 miliar.
”Kinerja positif perseroan tak terlepas dari membaiknya produktivitas sejumlah kelompok usaha, salah satunya kelompok industri perkebunan, terutama teh, gula, dan minyak kelapa sawit,” kata Direktur Pengembangan dan Pengendalian Usaha RNI Febriyanto, Senin. (M PASCHALIA JUDITH J)