Harga Ikan Tangkap Jatuh Selama Pandemi, Nelayan Didorong Tetap Beraktivitas
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara meminta nelayan bersabar dan tetap beraktivitas di tengah penurunan harga ikan tangkap. Sebaliknya, para nelayan didorong mengambil KUR demi bertahan di tengah pandemi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara meminta nelayan tetap beraktivitas di tengah penurunan harga ikan tangkap. Nelayan juga didorong untuk mempertahankan dan mengembangkan usahanya dengan mengambil kredit usaha rakyat yang difasilitasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penanganan pandemi Covid-19 yang berlarut dan belum terlihat ujungnya menyebabkan kelesuan industri perikanan yang terpusat di Bitung. Meskipun ada 53 unit pengolahan ikan (UPI) dengan kapasitas 1.360 ton ikan per hari, tingkat utilitasnya dilaporkan hanya mencapai 11-12 persen.
Akibatnya, harga ikan tangkap menurun drastis sejak pertengahan Juli hingga Senin (20/7/2020). Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam mengatakan, harga produk perikanan turun sebesar Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram akibat banyaknya pasokan yang tak terserap industri.
”Harganya memang turun seperti harga lima tahun lalu. Saat Jumat dan akhir pekan, harga bisa turun lebih jauh karena banyak UPI yang tidak beroperasi,” kata Tienneke, merujuk pada kejatuhan harga ikan akibat pelarangan alih muat di laut (transshipment).
Menurut beberapa nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bitung, Jumat (17/7/2020), harga ikan malalugis sekarang hanya Rp 13.000-Rp 14.000 per kg dari sebelumnya Rp 18.000 per kg. Adapun harga cakalang kini Rp 18.000 per kg dari sebelumnya Rp 23.000 per kg.
Harganya memang turun seperti harga lima tahun lalu. Saat Jumat dan akhir pekan, harga bisa turun lebih jauh karena banyak UPI yang tidak beroperasi. (Tienneke Adam)
Menurut Tienneke, hal ini menyebabkan banyak nelayan mengurungkan niat berlayar. Ratusan kapal ditambatkan hingga jelang sore hari di dermaga PPS Bitung, sementara beberapa awak kapal hanya berdiam di anjungan.
”Saya sudah minta nelayan untuk tetap melaut. Untuk sementara, saya hanya bisa meminta pengertian para nelayan. Negara sedang krisis karena semua anggaran diarahkan ke penanganan Covid-19,” katanya.
Tienneke juga mengatakan pemerintah telah berupaya membeli ikan kaleng untuk program bantuan sosial selama pandemi. Dengan dana Rp 70,5 miliar, sejauh ini Pemerintah Provinsi Sulut telah membagikan sekitar 263.000 paket bantuan yang mencakup 789.000 kaleng ikan siap saji. ”Tetapi, dana pemerintah, kan, terbatas,” ujarnya.
Menyalurkan bantuan
Pemerintah Kota Manado juga telah menyalurkan 66.920 paket bantuan yang memuat 669.200 kaleng ikan pada tahap pertama. Di tahap kedua, sebanyak 71.000 paket dengan total 1.065.000 kaleng ikan juga sedang dibagikan.
Tienneke pun berharap nelayan tetap melaut. Jika tidak, dampak ekonomi akan lebih berat. Sekitar 250.000 warga Sulut kini menjadi warga miskin dan miskin baru. Untuk itu, ia mendorong para nelayan untuk mengambil kredit usaha rakyat (KUR) berbunga 3 persen per tahun. Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah menyiapkan Rp 1,024 triliun untuk disalurkan ke nelayan dan pembudidaya di seluruh Indonesia.
Pemprov Sulut pun telah menyalurkan Rp 42 miliar dari dana tersebut. Tienneke menyatakan, ini dimungkinkan karena persuasi Gubernur Sulut Olly Dondokambey ke Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemerintah pusat juga menyediakan KUR dengan bunga 6 persen untuk pelaku usaha kecil, termasuk nelayan.
Sepanjang Januari-November 2019, Sulut menghasilkan 360.197 ton ikan tangkap. Sekitar 30 persen dari jumlah itu berasal dari Bitung.
Di lain pihak, Ketua Himpunan Pengusaha Nelayan (Hipken) Sulut Djefrie Sagune menilai pemerintah belum menyediakan program apa pun untuk mengatasi rendahnya harga ikan tangkap. Harga tuna sirip kuning yang selama ini menjadi produk primadona pun turut anjlok menjadi Rp 35.000-Rp 40.000 per kg dari Rp 60.000-Rp 70.000 per kg sebelum pandemi.
Untuk ikan ukuran kecil, para nelayan lebih suka menjualnya ke pedagang-pedagang dari Gorontalo dan Sulawesi Tengah. ”Ada yang menawarkan harga Rp 19.500 per kg untuk ikan malalugis. Ini lebih menguntungkan daripada menjual ke pabrik. Apalagi ikan kami masih disortir lagi di pabrik sehingga mungkin ada sisa yang tidak terjual,” kata Djefrie.
Untuk itu, ia berharap pemerintah bisa membantu nelayan dengan menetapkan harga batas bawah. Sebab, selama ini serapan pemerintah untuk bantuan sosial tidak mampu benar-benar mengangkat harga.
”Selama ini memang masalah yang kami hadapi hanya harga. Dengan harga sekarang, perusahaan sudah tidak mampu menyerap ikan dari nelayan. Padahal, bahan baku sedang berlimpah bertepatan dengan penerbitan izin kapal 30 gros ton ke atas yang sudah lebih lancar. Alat tangkap kami juga cuma jaring, tidak ada masalah,” tuturnya.
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Unit Pengolahan Ikan Bitung Basmi Said mengatakan, permintaan ikan kaleng oleh pemerintah sebenarnya sangat besar, tetapi sangat sulit dipenuhi pabrik-pabrik pengolahan ikan. Jika nilai jual sekaleng ikan 180 gram sekitar Rp 7.000, pemerintah hanya menawarkan harga beli Rp 5.000 per kaleng.
”Permintaan gila-gilaan, tetapi sulit dipenuhi. Di saat yang sama, kami tetap harus buka. Aktivitas UPI ini menyangkut hajat hidup banyak orang,” kata Basmi.