Pemerintah memastikan kebijakan ekspor benih losbter berlanjut. Evaluasi akan terus dilakukan untuk perbaikan-perbaikan kebijakan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memastikan tidak akan mundur terhadap kebijakan-kebijakan yang telah disusun. Salah satu kebijakan baru yang digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah ekspor benih bening lobster.
”Percayalah, kami tidak akan mundur karena keputusan yang kami buat bukan atas dasar ketidaksukaan (terhadap kebijakan sebelumnya). Sudah banyak ahli di belakang kami (bergelar) profesor, doktor, dan pegiat lingkungan. Kami terukur kebijakannya,” ujarnya dalam seminar daring bertema ”Kontribusi Sektor Kelautan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional”, yang digelar Sekolah Politik Yayasan Cemara Sembilanbelas, Kamis (16/7/2020) malam.
Edhy menegaskan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak akan mundur terhadap kritikan. Namun, ia meminta semua pihak menaati prosedur yang telah ditetapkan dan tidak euforia sehingga mengakibatkan kelalaian menjalankan prosedur dan kewajiban.
”Kami yakin kritikan-kritikan itu untuk membangun, tetapi kami tetap yakin terhadap apa yang kami lakukan. Keputusan kami bukan kitab suci, keputusan bisa diubah atau direvisi, tetapi percayalah jika ada revisi maka untuk keperluan sebaik-baiknya masyarakat,” ujarnya.
Edhy mengaku mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan komunikasi yang buntu dengan pemangku kepentingan kelautan dan perikanan, serta memajukan perikanan budidaya. Untuk itu, program-program yang digulirkan bertujuan memutar perekonomian di tingkat bawah.
Kami yakin kritikan-kritikan itu untuk membangun, tetapi kami tetap yakin terhadap apa yang kami lakukan. Keputusan kami bukan kitab suci, keputusan bisa diubah atau direvisi, tetapi percayalah jika ada revisi maka untuk keperluan sebaik-baiknya masyarakat.
Menurut dia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah RI yang ditetapkan pada 4 Mei 2020, bertujuan mengembalikan sumber pendapatan nelayan yang dulu kehidupannya bergantung pada hasil tangkapan benih bening lobster.
Regulasi selama empat tahun terakhir membuat usaha nelayan benih lobster terhenti dan beberapa nelayan dikriminalisasi. Di sisi lain, kerugian negara akibat penyelundupan benih lobster dapat ditarik untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui jalur ekspor yang legal.
Sebelumnya, dua pejabat tinggi di lingkungan KKP mengundurkan diri dari jabatan. Mereka adalah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar dan Wakil Ketua Umum bidang Konservasi dan Keberlanjutan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP Chalid Muhammad. Zulficar mundur pada 14 Juli 2020 dan Chalid pada 16 Juli 2020.
Keduanya meletakkan jabatan di tengah polemik kebijakan ekspor benih bening lobster dan diizinkannya kembali penggunaan alat tangkap cantrang, trawl, dan sejenisnya. Kebijakan ekspor benih bening lobster menuai polemik di masyarakat. Muncul indikasi penyalahgunaan kemitraan sebagai jalan pintas untuk izin ekspor benih, antara lain berlangsung di Lombok Timur (Kompas 12/7/2020).
Alih-alih budidaya, perusahaan eksportir benih lobster diduga memanfaatkan kemitraan dengan pembudidaya lobster demi memperoleh izin ekspor benih lobster. Setelah izin didapat, perusahaan mangkir dari kemitraan.
Pembudidaya lobster mulai resah karena harga lobster hasil budidaya terus jatuh. Kondisi itu dipersulit dengan benih lobster yang semakin sulit didapat dan harganya terus merangkak naik. Kesulitan benih lobster dinilai mengancam usaha budidaya.
Chalid menilai, peran konsultasi publik seharusnya dibedakan dengan pemangku kepentingan. Konsultasi publik adalah proses yang sangat baik dalam perumusan kebijakan. Namun, konsultasi publik sebaiknya dijalankan oleh pihak yang memiliki keahlian memfasilitasi dan berpegang pada prinsip netral. Ia berharap perwakilan organisasi nelayan dan pelaku usaha dipisahkan ke komisi pemangku kepentingan.
Ia juga menyoroti beberapa hal, di antaranya komitmen pemerintah dalam mengejar target perikanan budidaya. Ia meminta KKP mengevaluasi kebijakan ekspor benih lobster karena pelaku usaha belum siap dalam sarana dan prasarana budidaya. Ia juga meminta peninjauan kembali penggunaan trawl dan sejenisnya, di samping peluang izin pembuangan limbah tailing ke laut, serta penambangan pasir laut.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf, di Jakarta, Jumat (17/7/2020), mengemukakan, pengawasan terhadap kebijakan ekspor benih lobster terus dilakukan. Kekurangan yang ditemukan akan terus diperbaiki.
Menurut Yusuf, KKP telah melakukan kajian terhadap kebijakan ekspor benih lobster. Dari aspek formal, seluruh dokumen pendaftaran izin hingga ekspor benih bening lobster sudah lengkap, yang melibatkan direktorat jenderal perikanan tangkap, budidaya, dan karantina ikan.
”Kita learning by doing dan doing by learning. Mungkin ada yang belum sempurna, tetapi kita memberikan pembinaan dan bukan pelarangan dulu. Hasil kajian yang saya terima, stok benih (lobster) berlimpah sampai Agustus ini dan akan mati jika tidak dimanfaatkan,” katanya.
Hasil kajian yang saya terima, stok benih (lobster) berlimpah sampai Agustus ini dan akan mati jika tidak dimanfaatkan.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto mengemukakan, pemanfaatan sumber daya ikan harus memperhatikan aspek spasial dan temporal. Penangkapan lobster, misalnya, dimungkinkan untuk zona hijau, tetapi jangan sampai lobster ditangkap di zona merah yang sudah mengalami eksploitasi berlebih. Apalagi, penangkapan lobster yang bernilai rendah.
”Penangkapan tidak gebyah uyah. Itu adalah kunci dari perikanan berkelanjutan,” ujarnya.