Data penerima mendesak dimutakhirkan agar penyaluran bantuan sosial lebih tepat sasaran. Keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia jadi kendala pendataan di daerah.
Oleh
ARIS PRASETYO/KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil penelitian menunjukkan perlunya perbaikan program perlindungan sosial yang dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19. Pembenahan yang dinilai paling mendesak adalah pemutakhiran data penerima agar bantuan benar-benar tepat sasaran.
Pemerintah mengakui ada kendala birokrasi terutama di tingkat daerah.
Hasil penelitian Smeru Research Institute, lembaga kajian kebijakan publik, itu dipaparkan dalam webinar bertajuk ”Implementasi Program Perlindungan Sosial di Masa Pandemi Covid-19”, Jumat (17/7/2020).
Peneliti Smeru, yakni Hastuti dan Asep Kurniawan, memaparkan hasil penelitian dan ditanggapi oleh Kepala Pusat Data dan Informasi pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Ivanovich Agusta, serta Asisten Deputi Kompensasi Sosial pada Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Herbin Manihuruk.
Penelitian menunjukkan ada sebagian kecil perluasan keluarga penerima manfaat (KPM) tidak tepat sasaran, keluarga miskin dan rentan miskin tidak tercakup dalam program, dan belum semua KPM menerima berbagai bantuan sosial yang diprogramkan pemerintah. Hal itu mengindikasikan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang disusun pemerintah kurang valid. Hasil pembaruan data di tingkat daerah, sebagian tidak diakomodasi di tingkat pemerintah yang lebih tinggi.
”Ada masalah pemutakhiran data yang belum optimal. Beberapa penyebabnya adalah keterbatasan anggaran daerah dan sumber daya manusia di lapangan untuk pemutakhiran data. Pemerintah daerah perlu memperkuat komitmen pemutakhiran DTKS secara berkala,” kata Hastuti.
Sementara itu, Asep yang meneliti penyaluran bantuan langsung tunai dari dana desa menyatakan, ada sejumlah persoalan di lapangan yang menyebabkan penyaluran melambat. Persoalan itu adalah dualisme kriteria dari pemerintah pusat terhadap calon penerima bantuan, data bantuan sosial yang tumpang tindih, serta kewajiban penyaluran bantuan berbentuk non-tunai.
Selain itu, pemerintah kabupaten atau kota lamban memverifikasi data calon penerima bantuan yang diserahkan pemerintah desa. ”Faktor-faktor penghambat di atas menunjukkan belum harmonisnya koordinasi antarinstansi pemerintah dalam penanganan bencana yang dampaknya luas seperti pandemi Covid-19 ini,” ujar Asep.
Menanggapi hasil penelitian itu, Ivanovich mengakui masih ada kendala penyaluran bantuan di lapangan. Salah satunya adalah lambannya pemerintah daerah untuk memverifikasi data calon penerima bantuan yang sudah diserahkan pemerintah desa.
Namun, pemerintah sudah melakukan terobosan. ”Terobosan itu, misalnya, penyaluran bantuan boleh dalam bentuk tunai apabila di wilayah itu tidak ada fasilitas perbankan. Selain itu, calon penerima bantuan yang belum memiliki nomor induk kependudukan tetap diberi bantuan dengan syarat identitas dan alamat penerima harus dicatat lengkap,” kata Ivanovich.
Soal validitas data, menurut Herbin, bencana non-alam pandemi Covid-19 belum banyak memberikan pengetahuan terkait protokol pencegahan. Lantaran tak mau mengambil risiko, petugas di lapangan akhirnya menggunakan data yang sudah ada. Namun, dalam penyaluran bantuan berikutnya mulai muncul inisiatif verifikasi atau pembaruan data.
Pemerintah daerah berperan penting untuk mempercepat penyerapan bantuan sosial ke penduduk miskin. Penyerapan bantuan sosial yang optimal akan menahan lonjakan angka kemiskinan dan ketimpangan.
Penyerapan anggaran
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi anggaran perlindungan sosial per 30 Juni 2020 mencapai 35,6 persen atau Rp 72,5 triliun dari total pagu Rp 203,9 triliun. Secara umum, penyerapan anggaran perlindungan sosial menghadapi tantangan di level operasional dan administrasi.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, yang dihubungi Kompas, Jumat, menyatakan, penyerapan anggaran jaring pengaman sosial relatif baik karena beberapa program sudah ada sebelumnya. Persoalan saat ini lebih pada data penduduk.
Menurut Kunta, kendala program jaring pengaman sosial di lapangan masih berkutat pada masalah data penerima manfaat yang acap tidak tepat sasaran atau ganda. Kelemahan dalam penyaluran bantuan terus diperbaiki sehingga terjadi akselerasi dan risiko lonjakan kemiskinan terbendung.
Pemerintah, melalui Kementerian Sosial, akan memperpanjang dan menambah program bantuan sosial, yang semula berakhir September menjadi akhir tahun ini. Selain bansos yang ada, perpanjangan juga meliputi penyaluran Bansos Khusus Covid-19, yaitu Bansos Sembako untuk 1,9 juta keluarga di Jabodetabek dan Bansos Tunai untuk 9 juta keluarga di 503 kabupaten/kota di luar Jabodetabek.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menuturkan, keberhasilan program perlindungan sosial tidak terlepas dari peran strategis pemerintah daerah. Jangan sampai anggaran mengendap di rekening kas khusus daerah. ”Yang terjadi saat ini, anggaran sudah ditransfer ke daerah, tetapi serapan rendah ke masyarakat,” ujarnya.