Masyarakat yang bekerja di sektor informal rentan miskin dan terperosok ke jurang ketimpangan yang semakin dalam. Pandemi Covid-19 yang memicu perubahan perilaku dan kegiatan ekonomi menambah jumlah orang miskin.
Oleh
Karina Isna Irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dikhawatirkan tidak hanya meningkatkan angka kemiskinan, tetapi juga memperlebar ketimpangan pengeluaran masyarakat. Jurang ketimpangan pada akhir tahun ini juga bisa kian dalam pada pasar tenaga kerja dan pendidikan.
Kebijakan pemerintah bisa diarahkan pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Ini karena selama pandemi Covid-19, akses teknologi informasi dan komunikasi—yang kondisinya masih senjang—berperan penting.
Masyarakat kelas menengah-atas masih bisa bekerja dan beraktivitas dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Sebaliknya, kendala dihadapi masyarakat kelas menengah-bawah yang tidak memiliki akses.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang 25,14 juta orang.
Angka kemiskinan per Maret 2020 sebesar 9,78 persen. Setelah bertahun-tahun, setidaknya sejak 2006, baru pada dua tahun lalu, yaitu Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia di bawah 10 persen.
Jurang ketimpangan pada akhir tahun ini juga bisa kian dalam pada pasar tenaga kerja dan pendidikan.
Definisi BPS, penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2020, garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan.
Sementara itu, ketimpangan ditunjukkan melalui rasio gini yang berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar.
Pada Maret 2020, rasio gini 0,381 atau naik 0,001 poin dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 0,38. Namun, lebih rendah 0,001 poin daripada Maret 2019, yakni 0,382.
Padahal, per 1 Juli 2020, Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income), ”naik kelas” dari negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income). Klasifikasi ini berdasarkan pendapatan nasional bruto atau PNB per kapita tahun 2019 yang 4.050 dollar AS.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, yang dihubungi Kompas, Rabu (15/7/2020), menuturkan, kondisi yang dihadapi Indonesia pada pandemi Covid-19 berbeda dengan saat krisis ekonomi 1998. Pada 1998, angka kemiskinan naik, tetapi ketimpangan cenderung turun.
”Dampak pandemi Covid-19, ketimpangan akan semakin lebar dan kemiskinan semakin dalam. Kondisi ini dipengaruhi kesenjangan akses teknologi informasi dan komunikasi antara kelompok atas dan bawah,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, penduduk miskin atau kelas bawah tidak bisa mengapitalisasi peluang yang muncul di masa pandemi Covid-19. Ini karena sebagian besar bekerja di sektor informal yang memerlukan kehadiran fisik dan tidak bisa secara virtual.
Ketimpangan yang semakin lebar akan mempersulit upaya pengentasan warga dari kemiskinan. Kebijakan dan sistem untuk mengatasi lonjakan kemiskinan tak akan berdampak signifikan jika implementasinya terkendala. Teknologi informasi dan komunikasi bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan sekaligus ketimpangan.
Informal
Kepala BPS Suhariyanto dalam telekonferensi pers, Rabu, menyebutkan, jumlah penduduk miskin bertambah karena banyak penduduk hampir miskin yang kembali jatuh miskin. Persentase penduduk hampir miskin pada Maret 2019 mencapai 7,45 persen atau sekitar 19,91 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 61,03 persen penduduk hampir miskin bekerja di sektor informal.
”Sebagian besar penduduk hampir miskin bekerja di sektor informal dan tidak terlindungi jaring pengaman sosial sehingga sangat rentan,” ujarnya.
Jumlah penduduk miskin bertambah karena banyak penduduk hampir miskin yang kembali jatuh miskin.
Berdasarkan data BPS, per Februari 2020 ada 56,99 juta orang atau 43,5 persen bekerja pada kegiatan formal dan 74,04 juta orang atau 56,5 persen bekerja pada kegiatan informal.
Suhariyanto menambahkan, program jaring pengaman sosial tak mampu menahan dampak Covid-19 terhadap penurunan pendapatan masyarakat. Selain itu, pandemi Covid-19 berdampak pada perubahan perilaku, aktivitas ekonomi, dan pendapatan penduduk sehingga menambah orang miskin baru.
Menteri Sosial Juliari P Batubara memaparkan, pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial akan dilakukan mulai 2021. Ia mengakui, data terpadu kesejahteraan sosial tidak pernah diverifikasi dan divalidasi ulang sejak 2015. Verifikasi dan validasi data ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan Kemensos hanya mengonsolidasikan data.
”Harus diakui, data tidak relevan lagi, tetapi data ini paling lengkap yang dimiliki Indonesia mencakup 40 persen penduduk termiskin dari total populasi,” kata Juliari dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Rabu.
Pemerintah berencana memutakhirkan dan memperluas basis data terpadu kesejahteraan sosial dari 40 persen menjadi 60 persen penduduk.
Dunia usaha terbatas
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani secara terpisah menyampaikan, intervensi dunia usaha untuk membantu menahan lonjakan kemiskinan terbatas. Hampir semua sektor usaha tertekan karena tidak ada permintaan.
”Kondisi saat ini sangat sulit sehingga dunia usaha tidak bisa berbuat banyak. Kalau permintaan sudah kembali tumbuh, penyerapan tenaga kerja bisa kembali meningkat,” ujarnya.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 berkisar 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Pada akhir 2020 diperkirakan ada 26,2 juta-27,5 juta orang miskin atau ada tambahan 3,9 juta penduduk miskin pada tahun ini. Peningkatan kemiskinan dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 1 persen sampai dengan minus 0,4 persen.
Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat masyarakat rentan jatuh miskin. Penduduk pada kelompok rentan miskin memiliki peluang 55 persen menjadi kelompok miskin. Sementara rata-rata peluang penduduk miskin menjadi miskin kronis 55 persen.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi menyampaikan, selain lewat bantuan sosial, pengentasan warga dari kemiskinan dilakukan melalui perbaikan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan skala ekonomi usaha mikro, kecil, dan menengah.