Mereka Lebih Takut Mati Kelaparan daripada Tertular Covid-19
Pandemi Covid-19 menghadapkan warga pada situasi keuangan yang kian terpuruk. Dalam kondisi tertentu, mereka lebih takut mati kelaparan daripada menderita Covid-19.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di sebuah lorong Rumah Susun Sederhana Sewa Tambora, Jakarta Barat, Neni (53) terdengar mengeluhkan berbagai persoalan keuangan. Jumat (17/7/2020) siang itu, dia mengeluhkan biaya tagihan air dan listrik bersama para tetangga lain. Saat pandemi Covid-19, tagihan tersebut dirasa semakin membengkak.
Jumlah tagihan air dan listrik rumah Neni sekitar Rp 795.000 atau naik sekitar Rp 300.000 dari bulan sebelumnya. Padahal, suaminya baru saja berhenti dari profesi sebagai sopir harian. Hingga kini, Neni masih berpikir keras menyiasati kebutuhan hidup untuk hari-hari ke depan.
”Uang semakin habis ditambah suami dan anak-anak pada enggak kerja. Saya takut, bukannya mati karena korona ini, mah, tetapi mati karena kelaparan,” ujar ibu lima anak ini.
Kondisi keluarga Neni menggambarkan sebagian situasi sulit yang dialami warga saat ini. Karena pandemi Covid-19, banyak perusahaan dan lembaga lainnya menutup lapangan kerja demi efisiensi. Selain Neni, sejumlah tetangga di Rusunawa Tambora juga kehilangan pekerjaan.
Sumiyati (42), penghuni lain, juga resah karena suaminya tidak lagi bekerja selama sebulan terakhir. Perempuan ini pun mencari pundi-pundi rupiah, mulai dari membantu jasa cuci pakaian di rusunawa. Upah sekitar Rp 50.000 per hari dikumpulkan untuk melunasi biaya hidup di tengah kehamilan anak keempat yang baru sebulan.
Dalam kondisi itu, suami Sumiyati juga bekerja serabutan untuk antar apa saja. Dari rusunawa, suaminya kadang mengantar barang, kadang juga mengantar atau menjemput orang. ”Situasi begini, dapat uang berapa saja disyukuri sajalah,” ucap Sumiyati.
Situasi sulit Neni dan Sumiyati itu seiring dengan angka kemiskinan yang belakangan dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Berasarkan data, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang sebanyak 25,14 juta orang.
Definisi BPS, penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2020, garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan. Selain itu, ketimpangan juga ditunjukkan melalui rasio gini yang berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, menuturkan, dampak dari pandemi Covid-19 bisa semakin dalam. Sebab, pembatasan sosial yang berlaku saat ini tidak bisa sepenuhnya dimanfaatkan oleh para pekerja di sektor informal.
”Dampak pandemi Covid-19, ketimpangan akan semakin lebar dan kemiskinan semakin dalam. Kondisi ini dipengaruhi kesenjangan akses teknologi informasi dan komunikasi antara kelompok atas dan bawah,” kata Teguh, Rabu (15/7/2020).
Teguh menambahkan, penduduk miskin atau kelas bawah tidak bisa mengapitalisasi peluang yang muncul di masa pandemi Covid-19. Hal ini karena sebagian besar bekerja di sektor informal yang memerlukan kehadiran fisik dan tidak bisa secara virtual.
Kondisi kesulitan saat ini memaksa sebagian warga tetap bepergian. Yuyun Suwarna (57), warga Pademangan Barat, Jakarta Utara, masih bepergian untuk bermacam kebutuhan gerai ponselnya, Kamis (16/7/2020). Dalam kondisi itu, dia mengambil risiko tertular Covid-19 daripada kegiatan bisnis menjadi tersendat.
”Sekarang kondisi Covid-19 begini, saya hanya mengandalkan jasa reparasi daripada berjualan ponsel. Itu pun susah karena suku cadangnya harus beli dulu, paling dekat ke ITC Roxy Mas. Mau kirim-kirim pun prosedurnya rumit sekali, mending saya yang ambil barang ke sana,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pekerja sektor informal, wirausaha, dan sejenisnya adalah yang paling terdampak dalam situasi pandemi. Ada baiknya kalangan mereka mendapat perhatian ekstra dari pemerintah, misalnya kemudahan dalam layanan kesehatan dan pemeriksaan.
”Fasilitas kesehatan untuk mereka perlu diperkuat seiring dengan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk bidang kesehatan. Selagi hal itu berlangsung, kedisiplinan protokol kesehatan pun harus terus berjalan,” kata Faisal.
Seiring peningkatan layanan kesehatan, peringatan kehati-hatian juga harus terus digaungkan. Tujuannya agar warga tidak semakin nekat bepergian di tengah pandemi Covid-19.
Santunan berupa bantuan sosial juga harus tetap berjalan untuk menjamin kehidupan warga miskin. Tanpa itu, warga akan kesulitan bertahan di tengah situasi pandemi.