Tak Hanya Jakarta, Surabaya Juga Dinilai Belum Siap Masuk Adaptasi Kebiasaan Baru
Surabaya dinilai belum siap memasuki adaptasi kebiasaan baru dari aspek persepsi risiko. Masyarakat belum memahami risiko penularan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 dengan baik karena adanya bias informasi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tidak hanya Jakarta, Surabaya juga dinilai belum siap memasuki adaptasi kebiasaan baru dari aspek persepsi risiko. Masyarakat Surabaya belum memahami risiko penularan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 dengan baik karena adanya bias informasi tentang Covid-19.
”Dibandingkan dengan indeks persepsi risiko (RPI) Jakarta, Surabaya menunjukkan nilai RPI yang sedikit lebih baik. Walaupun demikian, secara umum kondisi persepsi risiko warga Surabaya masih jauh dari siap untuk memasuki masa pelonggaran pembatasan sosial,” kata Sulfikar Amir dari Nanyang Technological University (NTU) saat paparan survei persepsi risiko Covid-19 Surabaya, Kamis (16/7/2020).
Survei dilakukan oleh Social Resilience Lab NTU bekerja sama dengan Laporcovid19.org secara daring pada 19 Juni hingga 10 Juli 2020. Ada 5.904 responden yang mengikuti survei dan 2.895 di antaranya valid untuk dianalisis.
Pembatasan sosial masih dibutuhkan setidaknya di beberapa sektor publik yang rentan penularan. (Sulfikar Amir)
Sebaran responden meliputi warga di 151 dari 154 kelurahan di Surabaya. Responden sebagian besar lulusan sarjana (47 persen) dan SMA (36 persen) dengan pekerjaan swasta (36 persen) dan aparatur sipil negara (15 persen). Usia responden terbesar 36-45 tahun (32 persen) dan 46-55 tahun (28 persen). Sebanyak 21 persen responden memiliki penyakit penyerta.
Sulfikar yang memimpin kajian itu mengatakan, untuk memasuki masa pelonggaran pembatasan sosial, idealnya indeks persepsi risiko harus mencapai di atas 4,00 sehingga risiko laju penularan dapat terkendali. Namun, dari hasil kajian, indeks persepsi risiko warga Surabaya hanya 3,42, lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta, 3,30.
Nilai 3,42 berada di antara kurang siap dan agak siap. Nilai itu diperoleh melalui analisis dari enam variabel, yakni persepsi risiko (2,84), pengetahuan (3,84), informasi (3,48), proteksi diri (4,25), modal sosial (3,17), dan ekonomi (2,99).
”Pembatasan sosial masih dibutuhkan setidaknya di beberapa sektor publik yang rentan penularan,” ujarnya.
Kepatuhan
Survei menemukan, terkait kepatuhan pada protokol kesehatan, mayoritas responden mengaku patuh. Ada 43 persen menyatakan selalu dan 50 persen responden sering mencuci tangan dalam sehari. Terkait pemakaian masker, 83 persen responden mengaku selalu dan 15 persen sering memakai masker saat keluar rumah. Sementara 60 persen menyatakan selalu jaga jarak dan 31 persen sering melakukannya ketika di luar rumah.
Namun, persepsi risiko warga Surabaya dalam penularan Covid-19 cenderung rendah. Sebanyak 59 persen responden menilai kemungkinan terkena Covid-19 sangat kecil (36 persen) dan kecil (23 persen). Sebanyak 70 persen responden pun menyatakan tidak ada orang yang dikenalnya terkena Covid-19.
Di sektor ekonomi, 78 persen responden menyatakan kesehatan dan ekonomi sama-sama penting. Namun, 31 persen responden mengaku sangat tidak rela dan 29 persen tidak rela apabila harus menghadapi risiko tertular agar penghasilan tidak terganggu. Padahal, pandemi ini menyebabkan penghasilan dari 86 persen responden berkurang.
Riset menunjukkan, 21 persen responden menyatakan virus Covid-19 buatan manusia, 26 persen tak percaya, dan 53 persen di antaranya ragu-ragu. Sebanyak 20 persen responden juga menilai Indonesia aman dari Covid-19 karena beriklim tropis.
Kegiatan hiburan dan rekreasi, seperti destinasi pariwisata, arena permainan, salon, tempat cukur rambut, dan sebagian gelanggang olahraga, masih dilarang beroperasi. (Irvan Widyanto)
Dari hasil survei tersebut, lanjut Sulfikar, secara umum warga Surabaya memiliki perilaku kesehatan yang baik. Namun, tingkat pengetahuan dan informasi mengenai kondisi pandemi masih perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan sumber informasi yang dipercaya publik.
”Jauh lebih efektif jika sumber daya yang dimiliki Pemerintah Kota Surabaya digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi yang lengkap tentang Covid-19. Dengan demikian, kewaspadaan muncul dari dalam sehingga masyarakat berpikir rasional,” katanya.
Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, Pemerintah Kota Surabaya memperketat pergerakan manusia. Salah satunya kewajiban tes cepat kepada warga luar daerah yang masuk ke Surabaya. Pekerja dari luar daerah pun wajib melakukan tes rutin tiap 14 hari.
”Kegiatan hiburan dan rekreasi, seperti destinasi pariwisata, arena permainan, salon, tempat cukur rambut, dan sebagian gelanggang olahraga, masih dilarang beroperasi,” ujar Irvan.