Soal Kemitraan Budidaya Lobster, Pemerintah Akui Ada Indikasi Masalah
Demi mendapatkan izin ekspor, perusahaan diduga memanfaatkan kemitraan dengan pembudidaya seolah telah berhasil membudidayakan lobster. Kementerian mengakui adanya potensi masalah itu. Sayangnya, belum ada sanksi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mengakui adanya indikasi penyalahgunaan kemitraan antara perusahaan eksportir benih dan pembudidaya lobster. Penolakan kebijakan ekspor benih bening lobster terus berlanjut. Selain hanya menguntungkan eksportir, kebijakan itu dinilai memukul usaha pembudidaya lobster di Tanah Air.
Protes kebijakan, antara lain, disuarakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) di Jakarta, Selasa (13/7/2020). Dalam unjuk rasa itu, Kiara menggelar aksi simbolik penyegelan Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Salah satu kebijakan yang disorot adalah dibukanya kembali keran ekspor benih bening lobster serta diizinkannya lagi penggunaan alat tangkap cantrang dan sejenisnya yang dinilai merusak lingkungan.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menyatakan, penyegelan kantor KKP merupakan simbol perlawanan dan ketidakpercayaan masyarakat bahari terhadap kebijakan yang telah ataupun yang akan dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Kebijakan yang merupakan bagian dari revisi 29 peraturan di lingkup KKP itu dipandang tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
”Alih-alih menegakkan kedaulatan, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat bahari, Menteri Edhy malah mengeluarkan kebijakan yang memperkaya para investor dan pengusaha besar, tetapi tidak mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan,” kata Susan.
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan ini ditetapkan pada 4 Mei 2020.
Pengeluaran benih bening lobster (Puerulus) dari wilayah RI mensyaratkan, antara lain, eksportir benih berhasil membudidayakan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat berdasarkan rekomendasi pemerintah. Selain itu, eksportir juga mesti melepasliarkan (restocking) lobster sebanyak 2 persen dari hasil panen.
Modus kemitraan
Modus penyalahgunaan kemitraan sebagai jalan pintas untuk izin ekspor benih, antara lain, berlangsung di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Alih-alih membudidayakan lobster, perusahaan eksportir benih lobster diduga memanfaatkan kemitraan dengan pembudidaya lobster demi memperoleh izin ekspor benih. Setelah izin didapat, perusahaan mangkir dari kemitraan (Kompas, 12/7/2020).
Modus penyalahgunaan kemitraan itu adalah perusahaan membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung (KJA) milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan perusahaan dalam melakukan budidaya. Modus lain, perusahaan membeli lobster ukuran di atas 50 gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai hasil panen. Selain itu, perusahaan juga mengklaim lahan KJA milik pembudidaya dan hasil panennya sebagai bentuk keberhasilan budidaya.
Terkait persoalan itu, Direktur Perbenihan Kementerian Kelautan dan Perikanan Coco Kokarkin Soetrisno mengemukakan, pihaknya sudah mensinyalir persoalan kemitraan terjadi antara eksportir benih dan pembudidaya lobster. Hingga saat ini, belum ada sanksi bagi perusahaan nakal yang terbukti mempermainkan kemitraan dengan pembudidaya lobster.
”Belum ada (sanksi). Namun, berikutnya (perusahaan) tidak dapat dukungan masyarakat lagi, lebih-lebih kalau masyarakat menyatakan undur diri dari kemitraan tersebut,” kata Coco.
Pengawasan
Coco menambahkan, KKP telah menciptakan sistem yang mendata koordinat (GPS) lokasi budidaya. Perusahaan eksportir yang menyatakan punya mitra pembudidaya akan dicek lokasi budidayanya. Dengan demikian, dapat diketahui jika ada lokasi budidaya lobster yang diklaim sebagai mitra oleh beberapa perusahaan eksportir sekaligus.
Di sisi lain, pemerintah menyiapkan skema bantuan 159 KJA untuk pembudidaya lobster. Bantuan itu diharapkan memperkuat posisi tawar kelompok pembudidaya sebagai mitra eksportir benih. ”Diharapkan ada penguatan posisi tawar kelompok sebagai mitra pengusaha yang menguasai lahan dan menyerap benih bening lobster untuk dibesarkan,” kata Coco.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP TB Haeru Rahayu menyatakan, pihaknya telah menugaskan jajaran untuk mencari info terkait pelanggaran aturan budidaya oleh perusahaan ekspor benih lobster.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 dinilai belum lama terbit dan pihaknya sedang merapikan seluruh instrumen terkait. ”Pengawasan selalu berjalan, baik secara random maupun tindak lanjut pelaporan yang masuk,” kata TB Haeru Rahayu.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, pekan lalu, menyatakan, pemerintah melalui KKP harus benar-benar menjalankan fungsi pengawasan terkait ekspor benih lobster yang dilakukan berbagai perusahaan. Sebab, ketika pengawasan lemah, kebijakan justru akan berujung pada dikorbankannya kepentingan rakyat dan bangsa.
Pelegalan ekspor benih bening lobster menjadi polemik. Sebab, selain bertolak belakang dengan kebijakan menteri sebelumnya, ekspor benih lobster dinilai bakal melemahkan upaya mengembangkan budidaya di dalam negeri dan berpotensi memicu eksploitasi benih.
Sebelumnya, Edhy Prabowo menyatakan, calon eksportir benih lobster tidak melibatkan orang terdekat dan keluarganya. Pemberian izin ekspor sudah sesuai prosedur. Pihaknya bahkan bersedia diaudit terkait kebijakan itu.