Serat Sabut Kelapa Dikirim ke China, Ekspor Nontambang Sultra Potensial
Sulawesi Tenggara melepas ekspor perdana serabut kelapa ke China. Komoditas sisa perkebunan ini digunakan untuk pembuatan sofa hingga jok mewah. Komoditas ekspor non pertambangan di Sultra dinilai potensial.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara melepas ekspor perdana serat sabut kelapa ke China. Komoditas sisa perkebunan ini digunakan untuk pembuatan sofa hingga jok mobil mewah. Meski demikian, perbaikan fasilitas dan kemudahan dibutuhkan untuk meningkatkan komoditas ekspor di luar pertambangan yang dinilai potensial.
Sebanyak satu kontainer serat sabut kelapa dikirim melalui Pelabuhan Kendari New Port, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, menuju Weifang, China. Ekspor komoditas ini menambah beberapa komoditas ekspor di luar sektor pertambangan.
Gubernur Sultra Ali Mazi menyampaikan, potensi di wilayah tersebut begitu besar. Selain pertambangan, juga banyak potensi pertanian, perkebunan, dan perikanan yang bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi komoditas ekspor.
”Sebelumnya, kami sudah ekspor kakao dan hasil laut. Sekarang ekspor serat sabut kelapa di tengah pandemi Covid-19. Ini membuktikan potensi Sultra sangat besar. Namun, tetap harus dikelola dengan baik agar berkesinambungan,” ujarnya.
Ekspor Sultra selama ini didominasi hasil pertambangan, khususnya ore nikel ataupun ferronikel. Ekspor ini mendominasi 98 persen dari total ekspor 2019 dengan valuasi sebesar Rp 19,6 triliun. Dominasi ekspor dari sektor pertambangan ini dinilai berbahaya bagi ekonomi Sultra karena menunjukkan ketergantungan pada satu sektor.
Oleh sebab itu, lanjut Ali Mazi, pihaknya akan mendeteksi berbagai potensi di wilayah ini untuk terus dikembangkan. Perbaikan fasilitas ekspor juga dilakukan termasuk jalan, fasilitas pendukung, hingga mengajak perusahaan yang bisa menjamin ketersediaan kontainer eskpor di Sultra.
Tidak hanya itu, Pemprov Sultra juga mendorong agar ada diversifikasi produk untuk meningkatkan nilai tambah di masyarakat. ”Ekspor bahan baku tentu penting untuk membantu pendapatan masyarakat dan penerimaan daerah. Apalagi, sudah bisa tercatat langsung di Kendari, tidak lagi di daerah lain. Namun, juga harus dipikirkan adanya nilai tambah di masyarakat,” ujarnya.
Serat sabut tersebut bisa digunakan untuk berbagai hal, seperti sofa, matras, hingga untuk bahan jok mobil mewah.
Ekspor serat sabut kelapa merupakan ekspor turunan hasil pertanian yang pertama kali dilakukan di wilayah ini. Ekspor dilakukan oleh PT Weida Indochoir Prima dengan mengirimkan komoditas ini langsung ke Weifang, China.
Irwan Pontoh, perwakilan perusahaan eksportir, menyampaikan, pihaknya melihat potensi besar dari serat sabut kelapa untuk diekspor ke luar negeri. Serat sabut tersebut bisa digunakan untuk berbagai hal, seperti sofa, matras, hingga untuk bahan jok mobil mewah.
Menurut Irwan, serat sabut tersebut dikumpulkan di dua tempat, yaitu Konawe Utara dan Konawe Selatan. Satu kubik sabut kelapa dihargai Rp 5.000. Setelah dikumpulkan, bahan baku dibersihkan, dipisahkan debu dengan serat, hingga siap dikemas.
”Satu kontainer ini seberat 18 ton dengan nilai masing-masing Rp 54 juta. Untuk pengirimannya, kami mendatangkan dulu kontainer ekspor dari Surabaya karena di sini belum ada. Dari Kendari dibawa ke Surabaya untuk pindah kapal, lalu dikirim ke Weifang, China. Kami bisa menekan biaya pengiriman karena pembeli menanggung biayanya. Pencatatan ekspor tetap tercatat di Kendari,” tutur Irwan.
Pihak perusahaan akan mengembangkan berbagai produk turunan kelapa agar meningkatkan nilai tambah.
Dengan potensi besar di Sultra, lanjut Irwan, ia menargetkan bisa mengirim 30 kontainer serat sabut kelapa setiap bulan. Selain itu, pihaknya juga akan mengembangkan berbagai produk turunan kelapa agar meningkatkan nilai tambah.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pelindo IV Prasetyadi menyampaikan, dukungan dari pemerintah provinsi sangat dibutuhkan untuk memperlancar proses ekspor di Pelabuhan New Port Kendari. Selain fasilitas jalan, dibutuhkan pula komitmen untuk memperlancar proses keluarnya komoditas yang dikirim eksportir.
Menurut Prasetyadi, pelabuhan baru di Kendari yang pembangunannya menelan dana sekitar Rp 1 triliun tersebut memiliki kapasitas 250.000 TEUs (unit ekuivalen dua puluh kaki). Kapasitas ini terus dikembangkan dengan target 3,5 juta TEUs untuk menuju pelabuhan bertaraf internasional demi memperlancar proses ekspor di wilayah regional Sulawesi.
”Kami juga punya fasilitas pendingin sehingga ekspor hasil perikanan dan hasil bumi bisa dilakukan dengan maksimal. Dengan potensi besar di Sultra, pelabuhan ini akan sangat mudah untuk berkembang,” ujarnya.
Selama ini, komoditas utama di Sultra lebih banyak dikirim secara domestik ke Surabaya atau Makassar (Sulawesi Selatan) sebelum diekspor. Dengan demikian, pencatatan ekspor dan nilai tambah tidak dirasakan langsung masyarakat.
Data Balai Karantina Pertanian Kendari mencatat, pada semester awal 2020, lalu lintas domestik sembilan produk pertanian unggulan asal Sultra sebanyak 50.157,4 ton dengan nilai Rp 861,7 miliar. Komoditas tersebut adalah kopra 24.282 ton, kacang mete 4.424 ton, kakao 1.150 ton, jagung 5.417 ton, dan cengkeh sebanyak 6.938 ton.
Selain itu, lada sebanyak 642 ton, pala 68 ton, kemiri sebanyak 1.431 ton, dan beras 10.984 ton. Komoditas ini dikirim ke sejumlah wilayah di Indonesia, utamanya Makassar dan Surabaya.
”Ekspor komoditas serat sabut kelapa ini mendatangkan angin segar bagi ekspor nonmigas Sultra. Sebelumnya, Sultra memiliki komoditas ekspor unggulan ekspor, cocoa butter. Namun, pandemi Covid-19 membuat produksi komoditas tersebut terhenti,” ujar Kepala Karantina Pertanian Kendari Prayatno Ginting.