Jeratan pinjaman daring semakin menghantui masyarakat di masa pandemi Covid-19. Masyarakat diminta semakin wawas dan waspada.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Entitas penyelenggara layanan pinjaman antarpihak ilegal memanfaatkan momentum pelemahan ekonomi masyarakat untuk penyaluran dana. Masyarakat perlu mewaspadai pinjaman dengan bunga tinggi dan tenor pendek ini karena berpotensi semakin menjerat ekonomi mereka.
Sepanjang Juni 2020, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi (Satgas Waspada Investasi) telah menutup 105 penyelenggara layanan pinjaman antarpihak (peer to peer lending/P2P) ilegal.
Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam Lumban Tobing, Jumat (3/7/2020), mengatakan, aktivitas P2P ilegal kembali menjamur beberapa waktu terakhir. Para pelaku memanfaatkan pelemahan ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19.
”Mereka memanfaatkan kondisi pandemi dengan mengincar masyarakat yang saat ini kesulitan ekonomi dan membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumsi,” ujarnya.
Mereka memanfaatkan kondisi pandemi dengan mengincar masyarakat yang saat ini kesulitan ekonomi dan membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumsi. (Tongam Lumban Tobing)
Menurut Tongam, perluasan akses melalui platform daring membuat ruang gerak teknologi finansial (tekfin) ilegal semakin luas. Padahal, keberadaan tekfin ilegal di tengah pandemi Covid-19 sangat merugikan masyarakat karena pinjaman yang diberikan dikenai bunga sangat tinggi dengan tenor pinjaman pendek.
”Penindakan yang cepat sangat diperlukan untuk mencegah para pelaku investasi ilegal dan tekfin ilegal beroperasi kembali yang bisa merugikan masyarakat,” katanya.
Sejak 2018 hingga Juni 2020, jumlah total tekfin layanan peminjaman antarpihak ilegal yang dibekukan Satgas Waspada Investasi sebanyak 2.591 entitas. Seluruh temuan Satgas Waspada Investasi diteruskan kepada kepolisian untuk segera ditindak sesuai dengan ketentuan hukum.
Satgas Waspada Investasi juga menghentikan 99 kegiatan usaha yang diduga tidak memiliki izin usaha. Aktivitas ini memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat dengan iming-iming keuntungan dan imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar.
Dari ke-99 entitas tersebut, lanjut Tongam, sejumlah 87 entitas melakukan perdagangan berjangka ilegal, 2 penjualan langsung ilegal, 3 investasi uang kripto ilegal, 3 investasi uang, serta 4 sisanya menjalankan aktivitas konsultasi dan pelatihan bisnis investasi tanpa izin.
”Di antara entitas-entitas tersebut, beberapa bahkan menduplikasi situs entitas resmi yang berizin seolah-olah situs tersebut resmi milik entitas yang memiliki izin,” ujarnya.
Di antara entitas-entitas tersebut, beberapa bahkan menduplikasi situs entitas resmi yang berizin seolah-olah situs tersebut resmi milik entitas yang memiliki izin.
Tongam menambahkan, kerugian masyarakat akibat kejahatan ekonomi berkedok investasi atau investasi bodong dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 telah mencapai Rp 92 triliun.
Minim regulasi
Secara terpisah, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan, kekurangan regulasi menjadi salah satu faktor yang turut menyebabkan menjamurnya aktivitas tekfin ilegal.
Setidaknya terdapat dua perundangan yang dianggap dapat mengatur hal ini, yakni Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi dan UU yang secara khusus mengatur soal aktivitas bisnis entitas tekfin.
”Sayangnya, kedua regulasi tersebut masih belum ada hingga saat ini. UU Perlindungan Data Pribadi yang belum disahkan DPR, sedangkan UU mengenai tekfin yang belum dibuat,” ujarnya.
Tumbur menegaskan, regulasi yang fokus menangani tekfin mendesak dibutuhkan mengingat meluasnya akses daring semakin memudahkan para oknum untuk mengoperasikan layanan P2P. Di samping itu, semakin populernya layanan tekfin P2P juga membuat ruang aktivitas tekfin ilegal semakin terbuka.
Tim Investigasi Harian Kompas pada medio 2019 menuliskan, tekfin ilegal jenis P2P umumnya gencar berpromosi melalui pesan singkat yang dikirimkan ke telepon seluler atau bahkan ke media sosial warga secara acak. Mereka mengiming-imingi proses singkat dengan mencantumkan alamat tautan aplikasi.
Tanpa bertatap muka dan proses berbelit, pelaku usaha tekfin digital seolah bermurah hati mempercepat pencairan dana pinjaman tunai. Dari sejumlah aplikasi tekfin P2P ilegal, mereka menawarkan dana pinjaman dengan bunga 1-2 persen per hari atau 30-60 persen per bulan. Sebagai perbandingan, bunga dari aplikasi tekfin resmi maksimal 0,8 persen per hari, sedangkan bunga perbankan berkisar 12 persen per tahun atau hanya 1 persen per bulan (Kompas, 17 Juni 2019).
OJK mencatat, per April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman tekfin P2P mencapai Rp 106,06 triliun. Nilai penyaluran itu tumbuh 186,54 persen dibandingkan dengan April 2019 yang sebesar Rp 37,01 triliun. Adapun tingkat wanprestasi pinjaman di atas 90 hari (TWP 90) per April 2020 sebesar 4,93 persen. Angka tingkat kredit macet tekfin P2P itu meningkat dari posisi April 2019 yang sebesar 1,63 persen.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah mengatakan, pandemi Covid-19 berimbas pada perekonomian lintas sektoral. Banyak pelaku usaha yang membutuhkan pembiayaan sehingga permintaan pinjaman tekfin meningkat. Sebagian besar peningkatan pembiayaan berasal dari sektor produktif.
”Selain itu, ada tiga sektor bisnis lain yang menggeliat dan mencatatkan pertumbuhan pembiayaan, yaitu bisnis distribusi peralatan dan layanan kesehatan, pangan, serta telekomunikasi,” katanya.