Subak Masih Terpinggirkan, Badan Pengelola Warisan Dunia Menjadi Penting
Subak di Bali masih minim perhatian meskipun sudah diakui sebagai warisan dunia. Pemerintah diingatkan agar menjalankan rencana aksi dan komitmennya menjaga subak melalui pembentukan Badan Pengelola Warisan Dunia.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Setelah mendapat pengakuan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO sebagai bagian warisan dunia pada 2012, subak di Bali masih minim perhatian. Pemerintah kembali diingatkan agar menjalankan rencana aksi dan komitmennya menjaga subak melalui pembentukan Badan Pengelola Warisan Dunia.
Subak ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada sidang Komite Warisan Dunia ke-26 UNESCO di Saint Petersburg, Rusia, Jumat (29/6/2012). Pengakuan UNESCO itu melalui proses panjang dan membutuhkan waktu hingga 12 tahun sejak pengusulannya pada 2000. Terkait momen pengakuan subak sebagai warisan dunia oleh UNESCO itu, Google Doodle pada Senin (29/6/2020) menampilkan logo subak di berandanya.
Ancaman terhadap keberadaan subak di Bali masih besar.
Ahli subak, yang juga Ketua Grup Riset Sistem Subak dan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali, I Wayan Windia mengatakan, keberadaan subak di Bali sudah dikenal sejak abad ke-11 Masehi dan masih lestari sampai saat ini. ”Ancaman terhadap keberadaan subak di Bali masih besar,” kata Windia kepada Kompas, Senin (29/6).
Selain terancam akibat alih fungsi lahan pertanian yang masih tinggi, diperkirakan mencapai 800 hektar per tahun, keberadaan subak di Bali juga mengalami tantangan minimnya regenerasi petani. Subak juga belum mendapatkan prioritas yang tecermin dari pengalokasian anggaran pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pertanian dan peternakan masih di bawah 2 persen.
”Janji pemerintah kepada dunia untuk membentuk Badan Pengelola Warisan Dunia juga belum dilaksanakan,” kata Windia menambahkan.
Secara terpisah, Direktur PT Bali Organik Subak Anak Agung Gede Agung Wedhatama mengatakan, sektor pertanian di Bali, termasuk keberadaan subak, mengalami ancaman mulai dari hulu.
Ancaman di hulu, menurut Wedhatama, terkait pasokan air untuk irigasi subak semakin sulit lantaran terjadinya kerusakan hutan. Di tengah, subak juga mengalami ancaman kehilangan akses pengairan lantaran terjadinya perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman.
”Ujungnya, jumlah petani semakin sedikit karena pertanian tidak menarik dan dianggap belum dapat menyejahterakan,” kata Wedhatama yang juga pendiri Forum Petani Muda Keren di Bali. Melalui Koperasi Petani Muda Keren dan sistem pemasaran Bali Organik Subak yang berbasis aplikasi digital, Wedhatama mengajak kalangan muda dan masyarakat di Bali kembali memperhatikan pertanian di Bali.
Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra menerangkan, Pemerintah Provinsi Bali tetap memperhatikan subak dan menjaga keberadaan subak di Bali. Keberadaan subak dipayungi Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak.
”Pemerintah masih mengalokasikan bantuan keuangan khusus kepada subak,” kata Kartika kepada Kompas. Kartika mengakui pembentukan Badan Pengelola Warisan Dunia masih berproses.
Harmoni
Delapan tahun yang lalu, pada 29 Juni 2012, Ketua Sidang (Chairperson) Komite Warisan Dunia (WHC) sekaligus Permanent Delegate Rusia Federation UNESCO Eleonora Valentinovna Mitrofanova mengetuk palu sidang yang menandakan sahnya subak masuk daftar warisan dunia. Ketika itu, rombongan pemerintah daerah Bali dari Badung dan Gianyar yang hadir dalam sidang Komite Warisan Dunia ke-36 UNESCO di Saint Petersburg, Rusia, berdiri. Momen itu diberitakan harian Kompas edisi Sabtu (30/6/2012).
Penetapan itu merefleksikan pengakuan dunia terhadap nilai luar biasa dan universal subak sehingga dunia ikut melindunginya dan sekaligus pengakuan subak sebagai budaya asli Indonesia. Adapun lima titik lanskap subak di Bali yang diusulkan sebagai warisan dunia adalah Pura Subak Danau Batur, Danau Batur, Subak Pakerisan, Subak Catur Angga Batukaru, dan Pura Taman Ayun (Kompas, 30/6/2012).
Kompas edisi Selasa (9/4/2019) memberitakan, subak yang diakui UNESCO seluas 19.519,9 hektar dengan kawasan penunjangnya mencapai 1.454,8 hektar, meliputi 17 subak; masing-masing 14 subak di Kabupaten Tabanan dan 3 subak di Kabupaten Gianyar.
Pengakuan dunia terhadap keberadaan subak di Bali mengangkat daya tarik pariwisata budaya di Bali. Dalam liburannya di Bali, Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama bersama keluarga mengunjungi kawasan Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Minggu (25/6/2017). Kawasan Jatiluwih termasuk lanskap subak di Bali yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia.
Dari laman https://buleleng.bulelengkab.go.id yang diakses Senin (29/6), subak berasal dari bahasa Bali dan kata subak terdapat pada Prasasti Pandak Badung sekitar tahun 1072 Masehi.
Subak mengacu pada lembaga sosial dan keagamaan yang unik, memiliki pengaturan tersendiri, dan asosiasi yang demokratis dari petani dalam menetapkan penggunaan air irigasi. Keberadaan subak diasosiaskan manifestasi konsep Tri Hita Karana, atau hubungan harmoni dari tiga penyebab kebahagiaan dan kesejahteraan, yakni manusia, Tuhan, dan lingkungan.
Pemprov Bali mengalokasikan bantuan kepada subak dan juga desa adat di Bali melalui bantuan keuangan khusus (BKK). Setiap subak mendapatkan bantuan sebesar Rp 50 juta per tahun.
Windia menyebutkan, jumlah subak di Bali diperkirakan sebanyak 1.599 buah dengan total luas mencapai 70.000 hektar. ”Jumlah subak melebihi jumlah desa adat di Bali karena keberadaan subak mengacu pada sumber air dan pura subak,” kata Windia, Senin.