Saat Pemulihan Ekonomi, Perusahaan Diharapkan Rekrut Kembali Korban PHK
Jumlah korban PHK kian meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Untuk menanggulanginya, pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif bagi perusahaan dengan syarat tak mem-PHK, bahkan merekrut kembali.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah korban PHK kian meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Untuk menanggulanginya, pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif bagi perusahaan dengan syarat tidak mem-PHK, bahkan merekrut kembali.
Dalam catatan The Smeru Institute berjudul Situasi Ketenagakerjaan di Lapangan Usaha yang Terdampak Pandemi Covid-19 disampaikan, ada enam lapangan usaha yang berpotensi terdampak berat akibat Covid-19. Sektor tersebut adalah penyedia akomodasi, makanan dan minuman; perdagangan; transportasi dan pergudangan; konstruksi; industri pengolahan; dan jasa lainnya.
Keenam lapangan usaha ini didominasi tenaga kerja dari kelompok ekonomi menengah (lebih dari 40 persen), kecuali sektor konstruksi yang didominasi kelas terbawah. Kelompok menengah dinilai dapat lebih bertahan karena umumnya memiliki tabungan atau aset sosial.
Namun, dominasi pekerja kelas menengah baru memulai kariernya (usia 20-39 tahun) sehingga tabungan masih terbatas dan kemungkinan akan habis jika krisis terus terjadi. Artinya, kondisi ini akan meningkatkan kerentanan tenaga kerja dari kelompok menengah.
Tak hanya itu, mereka pun tidak termasuk dalam basis data program perlindungan sosial pemerintah dan kemungkinan besar tidak mendapat bantuan sosial. Sementara pemerintah hanya menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai dasar pemberian bantuan.
Jika dilihat berdasarkan statusnya, proporsi tenaga kerja informal mendominasi di sektor penyedia akomodasi, makanan dan minuman (68,17 persen); transportasi dan pergudangan (59,32 persen); dan perdagangan (66,46 persen). Sementara sektor lainnya didominasi oleh pekerja formal, yakni konstruksi (51,35 persen), industri pengolahan (64,77 persen), dan jasa lainnya (54,39 persen).
Muhammad Adi Rahman, Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma, dan Hafiz Arfyanto menuliskan dalam laporan ini, status formal dan informal berpengaruh terhadap cara tenaga kerja beradaptasi dengan situasi krisis dan pendekatan intervensi kebijakan penanggulangan pengangguran. Misalnya, pekerja sektor informal akan lebih mudah mengubah jenis usaha sesuai kondisi perekonomian.
”Namun, pekerja informal memiliki akses yang terbatas terhadap program perlindungan sosial dan program pemerintah lainnya. Sebagai contoh, program Pemulihan Ekonomi Nasional yang dirancang untuk menanggulangi dampak krisis Covid-19 baru menyasar sektor formal. Oleh sebab itu, perlu juga kebijakan atau program penanggulangan krisis yang menargetkan pekerja di sektor informal,” kata ketiga penulis.
Latar belakang pendidikan juga turut memengaruhi kesempatan kerja. Pekerja di keenam sektor ini mayoritas merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA), kecuali sektor konstruksi yang didominasi lulusan sekolah dasar (SD).
Pekerja dengan tingkat pendidikan rendah dinilai cenderung berpeluang lebih besar untuk kehilangan pekerjaan, khususnya di sektor konstruksi. Terlebih, krisis akibat pandemi Covid-19 berpotensi mengubah struktur lapangan kerja dan dunia bisnis.
”Maka, peningkatan kapasitas pencari kerja terkait teknologi, misalnya melalui pelatihan, menjadi sangat pentingg. Hal ini juga harus disesuaikan dengan latar belakang dan tingkat pendidikan peserta pelatihan,” kata penulis.
Sejalan dengan itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat, sudah ada 6,4 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19. Data itu, antara lain, didapat dari tujuh sektor yang paling banyak memutus hubungan kerja dan merumahkan karyawannya, yakni sektor perhotelan, restoran, alas kaki, ritel, farmasi, tekstil, dan transportasi darat.
Sektor usaha tercatat paling banyak merumahkan karyawannya, antara lain tekstil dengan 2,1 juta pekerja, transportasi darat 1,4 juta pekerja, restoran 1 juta pekerja, sepatu dan alas kaki 500.000 pekerja, perhotelan 430.000 pekerja, ritel 400.000 pekerja, serta farmasi 200.000 pekerja. (Kompas, 20 Juni 2020)
Rekrut ulang
Ariyanto (33), korban pemutusan hubungan kerja (PHK), sejak Mei 2020 hingga kini belum mendapatkan pekerjaan lagi. Sebelumnya, ia bekerja di salah satu perusahaan otomotif di bidang konstruksi di Cikarang, Jawa Barat, sejak 2006.
Menurut dia, efisiensi perusahaan menjadi alasan untuk memberhentikan dirinya bersamaan dengan 50 karyawan lain. Awalnya ia mencoba untuk bernegosiasi agar dapat tetap bekerja, tetapi perusahaan tetap tidak bisa melakukan itu.
”Saya sama teman-teman sudah coba ngomong agar kami tidak di-PHK, tapi keputusan perusahaan tidak bisa berubah lagi. Setidaknya hak-hak karyawan itu dipenuhi, saya dapat pesangon,” kata Ariyanto.
Hingga kini, Ariyanto belum kembali mendapat pekerjaan. Ia menyadari, apabila tidak kunjung mendapat pekerjaan, uang pesangon akan habis untuk memenuhi kebutuhan harian untuk dirinya, istri yang sedang hamil, dan anaknya yang berusia 8 tahun.
”Sekarang saya lagi di kampung (Blora, Jawa Tengah) untuk menenangkan pikiran karena masih shock juga. Rencananya nanti kalau anak sudah bisa masuk sekolah, saya dan keluarga akan kembali ke Cikarang karena masih ada cicilan rumah juga,” ucapnya.
Baru dua tahun mencicil rumah, Ariyanto kini kebingungan bagaimana membayar cicilan selama 16 tahun ke depan. Ia pun meminta penangguhan kepada bank terkait angsuran Rp 1,070 juta per bulan, tetapi belum mendapat respons.
Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia Herman Abdulrohman meminta agar pemerintah segera membuat peraturan yang tegas dan jelas dalam upaya mencegah terjadi PHK. Dengan begitu, buruh akan memiliki perlindungan apabila terjadi PHK secara sepihak.
”Kami menolak dengan tegas PHK sepihak karena itu adalah kejahatan kemanusiaan. Kami buruh juga tidak terlalu berharap pada bantuan sosial karena yang kami butuhkan, pemerintah berperan sebagaimana mestinya untuk melindungi nasib buruh sebagai rakyatnya,” ujar Herman.
Kepala Departemen Ekonomi Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri menyampaikan, dalam masa pembatasan sosial berskala besar transisi ini, tetap tidak ada jaminan bagi korban PHK untuk dapat kembali bekerja. Untuk itu, pemerintah seharusnya membuat program yang bisa mengurangi beban perusahaan.
”Pemerintah dapat memberikan insentif kepada perusahaan berupa keringanan bunga pinjaman atau pajak. Tetapi harus dengan syarat tetap mempertahankan karyawan, bahkan merekrut ulang mereka yang dirumahkan atau di-PHK,” kata Yose.