Legalisasi sejumlah alat penangkapan ikan yang dilarang, termasuk cantrang, dinilai akan memicu eksploitasi berlebihan. Selain itu, terbuka peluang korupsi dan pelanggaran karena masih lemahnya pengawasan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mengkaji ulang rencana legalisasi sejumlah alat penangkapan ikan yang dilarang, termasuk cantrang. Langkah ini penting mengingat Indonesia masih lemah dalam pengawasan dan penindakan hukum sehingga penggunaan cantrang dan sejenisnya justru berpotensi menggerus sumber daya ikan.
Penggunaan alat tangkap pukat harimau dan sejenisnya dinilai telah merusak dan membawa sejarah kelam pengelolaan perikanan di Indonesia. Hal itu terungkap dalam Rapat Umum Nelayan Melindungi Laut Indonesia Sumatera Utara secara daring, Selasa (23/6/2020).
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengemukakan, selama ini penangkapan ikan dengan alat tangkap sejenis pukat hela dasar (trawl) di Sumatera Utara masih marak dengan beragam penamaan alat tangkap. Tidak semua alat tangkap cantrang dan trawl mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga justru berpotensi merusak.
”Alat-alat modifikasi yang merusak justru mendapatkan peluang untuk diaktifkan kembali,” katanya.
Alat-alat modifikasi yang merusak justru mendapatkan peluang untuk diaktifkan kembali.
Pernyataan itu terkait dengan rencana pemerintah yang akan segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang akan diizinkan untuk digunakan lagi.
Alat tangkap tersebu,t antara lain, berupa trawl udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Legalisasi alat tangkap itu akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Pukat Hera dan Pukat Tarik, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 86/2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
Riza mengingatkan, masa depan Indonesia di laut seharusnya menjadi pekerjaan rutin yang tidak boleh berhenti. Bergantinya pemerintahan dan struktur tidak boleh mengendurkan semangat untuk menjaga ekosistem laut.
”Revisi kebijakan kelautan dan perikanan di tengah pandemi Covid-19 harus membuka ruang untuk mengonsolidasi gagasan dan kelautan perikanan, serta melibatkan aspirasi nelayan kecil dan tradisional,” katanya.
Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan IPB University Ari Purbayanto berpendapat, penggunaan cantrang, jika mengacu pada kriteria sebenarnya, sangat jauh berbeda dengan trawl yang bersifat menggerus. Cantrang hanya menyeret dan menyapu dalam jumlah kecil. Persoalannya, cantrang dimofidikasi bentuknya, diperbesar, modelnya diseret menyerupai trawl.
Ia menilai, trawl dan cantrang masih merupakan alat tangkap efektif dan efisien untuk menangkap udang dan ikan demersal, serta menopang bahan baku industri pengolahan ikan. Sisi negatifnya, penggunaan alat tangkap itu tidak terkontrol dan dioperasikan secara tidak benar sehingga merusak.
”Masyarakat sudah mafhum dengan trawl. Namun, penamaan yang bermacam-macam akan menyulitkan pengaturan dan pengawasan,” katanya.
Menurut Ari, hampir seluruh negara saat ini menggunakan alat tangkap trawl, tetapi dengan kontrol yang ketat. Indonesia sudah memiliki SNI terkait trawl, tetapi tidak dipatuhi. Di sisi lain, ketika pemerintah melarang penggunaan cantrang dan sejenisnya, alat tangkap itu nyatanya tetap dioperasikan nelayan hanya berbekal surat keterangan melaut.
Oleh karena itu, manajemen pengelolaan trawl dan cantrang harus diperbaiki dengan teknologi, di antaranya menetapkan daerah penangkapan yang tidak berbenturan dengan nelayan di pesisir, jumlah dan ukuran armada yang diperbolehkan, dan pengaturan waktu operasi.
Di samping itu, kata Ari, perlu standar baku trawl dan cantrang yang ramah lingkungan sebagai acuan pengawas perikanan dan sanksi hukum tegas terhadap pelanggaran.
”Teknologi itu tergantung penggunanya. Yang perlu diatur itu manusianya. Pemerintah harus mengupayakan trawl dan cantrang ramah lingkungan dengan teknologi dan tata kelola penangkapan ikan,” ujarnya.
Memicu konflik
Peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi Supriadi Adhuri, menuturkan, penggunaan trawl mulai banyak diadopsi nelayan Indonesia pada tahun 1970-an, terutama di Selat Malaka dan Laut utara Jawa. Tahun 1975-1979, eksploitasi ikan di perairan tersebut sudah di titik maksimum penangkapan.
Penggunaan trawl yang masif dari waktu ke waktu menuai persoalan. Saat pemerintah mendorong pemberantasan IUU fishing dan melarang trawl dan sejenisnya di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI, penggunaan alat tangkap itu tetap berlangsung secara terang-terangan dengan menggunakan nama lain dan memanipulasi pemanfaatan dengan berbagai strategi.
Dedi juga menyatakan, penggunaan trawl, cantrang, dan sejenisnya yang dimodifikasi secara teknis dinilai telah menguras laut, serta mengganggu wilayah tangkapan nelayan kecil dan alat tangkap nelayan tradisional. Ini dapat memicu konflik antarnelayan. Bagi nelayan kecil, nelayan trawl merupakan kompetitor yang menguras laut.
”Penggunaan trawl sudah terbukti memicu eksploitasi berlebih. Kalau dibiarkan, saya khawatir akan menambah eksploitasi terhadap perairan pantai,” ujarnya.
Ini dapat memicu konflik antarnelayan. Bagi nelayan kecil, nelayan trawl merupakan kompetitor yang menguras laut.
Ia menambahkan, 96 persen nelayan Indonesia merupakan nelayan kecil. Apabila produktivitas terganggu, dapat mengancam ketahanan pangan. Sementara itu, aturan-aturan tidak mampu diimplementasikan dengan optimal. Ini membuka potensi korupsi dalam pengurusan izin, penangkapan, dan pelepasan armada trawl.
Pengawasan lemah
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara Dana Prima Tarigan mendesak penggunaan alat tangkap yang merusak ditunda, bahkan tidak diberlakukan. Indonesia masih menghadapi persoalan pengawasan dan penindakan hukum yang sangat lemah. Penggunaan alat tangkap yang merusak akan memicu persoalan besar.
Ia mencontohkan, kerusahakan lingkunagn dan ekologi laut di Sibolga dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, akibat masifnya penggunaan alat tangkap cantrang dan trawl yang merusak. Ironisnya, pemerintah tidak berbuat apa-apa meski telah ada kebijakan untuk melarang penggunaan trawl, cantrang, dan sejenisnya.
”Penggunaan trawl dan sejenisnya karena dianggap efisien meningkatkan jumlah tangkapan justru merupakan persoalan besar karena pengawasan dan penindakan hukum yang lemah. Selama pengawasan dan penindakan hukum rendah, jangan coba-coba memberlakukan alat tangkap merusak,” ujarnya.