Bank Dunia: Hanya 53 Persen Anak Indonesia yang Mencapai Potensi Maksimal pada Usia Produktif
Bank Dunia menilai Pemerintah Indonesia melakukan upaya positif untuk mengelola keuangan publik. Pembenahan masih diperlukan agar hasilnya terhadap masyarakat optimal. Termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia menilai pengelolaan keuangan publik di Indonesia mengalami kemajuan selama 20 tahun terakhir. Namun, sejumlah pembenahan masih perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas hasil belanja publik.
Demikian dikutip dari pemaparan virtual berjudul ”Improving Quality of Expenditure on Human Capital: Education, Health, Social Assistance, and Nutrition”, Rabu (24/6/2020). Belanja publik yang dimaksud mencakup sektor pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial. Ketiganya merupakan elemen penting untuk pembangunan sumber daya manusia (SDM).
”Menurut indeks SDM Indonesia oleh Bank Dunia, diprediksi hanya 53 persen anak Indonesia yang akan mencapai potensi maksimalnya di usia produktif. Itu sebabnya belanja publik untuk pendidikan dan kesehatan penting. Kendala belanja publik juga perlu diidentifikasi,” kata Lead Country Economist for Indonesia World Bank, Frederico Gil Sander.
Senior Education Economist World Bank Rythia Afkar mengatakan, belanja publik di bidang pendidikan mengalami kemajuan. Ini terlihat dari beberapa kebijakan yang diambil pemerintah, antara lain membuat alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan mewajibkan guru memenuhi kualifikasi strata sarjana.
Alokasi dana pendidikan 20 persen di Indonesia termasuk terbesar dibandingkan dengan negara Asia lain, seperti Jepang (9,3 persen), Korea Selatan (12,8 persen), Singapura (17,7 persen). Kendati demikian, pengeluaran Indonesia untuk pendidikan hanya 3 persen dari PDB atau setengah dari pengeluaran Malaysia dan Vietnam.
Belanja publik di sektor pendidikan belum diiringi dengan hasil yang mumpuni. Ruang kelas dengan kondisi layak rata-rata hanya 25 persen di jenjang SD-SMP, sedangkan SMA dan SMK 40 persen. SD-SMP dengan akreditasi A sebesar 21 persen, sementara SMA dan SMK 34 persen.
”Salah satu akar masalah ada di distribusi dana yang tidak rata dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ini memengaruhi beragamnya kemampuan pemda untuk mengatur dana pendidikan mereka. Koordinasi dengan pemda dibutuhkan,” kata Rythia.
Bantuan sosial
Social Protection Specialist World Bank Juul Pinxten mengatakan, pemerintah Indonesia juga melakukan kemajuan positif untuk menyalurkan bantuan sosial. Upaya pemerintah merelokasi dana untuk bansos dinilai tepat.
Pada 2014-2017, pengeluaran pemerintah untuk subsidi di bidang energi turun 71 persen atau setara Rp 97,6 triliun. Di periode yang sama, pengeluaran untuk bansos naik 28 persen atau sebesar Rp 72,3 triliun.
Salah satu akar masalah ada di distribusi dana yang tidak rata dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ini memengaruhi beragamnya kemampuan pemda untuk mengatur dana pendidikan mereka. Koordinasi dengan pemda dibutuhkan
Cakupan bantuan sosial juga meluas dengan Program Keluarga Harapan (PKH), penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN), dan Program Indonesia Pintar (PIP). Pinxten menambahkan, adanya program seperti PKH meningkkatkan upaya distribusi bansos yang lebih merata. PKH tercatat telah mencakup 10 juta penduduk Indonesia pada 2018.
PKH berhasil meningkatkan kesejahteraan warga dan menurunkan risiko tengkes (stunting). Angka tengkes berkurang 9-10 persen pada anak usia 0-60 bulan.
”Agar bansos lebih optimal, penguatan distribusi bansos diperlukan. Pemerintah pusat perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah. Perlu juga basis data kesejahteraan sosial terpadu untuk meminimalkan kesalahan (dalam pendataan dan distribusi bansos),” kata Pinxten.
Hal serupa dikatakan Senior Economist World Bank Reem Hafez. Menurut dia, belanja publik di bidang kesehatan menunjukkan kemajuan positif. Ini tampak dari cakupan asuransi kesehatan yang mencapai 82 persen dari total penduduk.
”Belanja publik di bidang kesehatan masih harus ditingkatkan. Beberapa di antaranya dengan berinvestasi di pembangunan sistem informasi kesehatan dan menargetkan sumber daya yang ada ke kelompok masyarakat yang paling membutuhkan,” katanya.