Masyarakat mulai melirik pendidikan vokasi digital. Namun, banyak yang perlu ditingkatkan agar dapat menjangkau khalayak luas dan memenuhi kebutuhan industri.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat mulai melirik pelatihan keahlian kerja atau pendidikan vokasi dalam platform digital. Namun, bentuk pelatihan dalam jaringan perlu banyak ditingkatkan agar dapat menjangkau khalayak luas.
Kesimpulan ini diambil dari hasil survei cepat MarkPlus, Inc terhadap 82 responden yang 63,4 persen berasal dari luar Jabodetabek, seminggu terakhir. Survei menunjukkan, 60 persen responden telah mengenal pendidikan vokasi digital.
Dalam webinar Senin (22/6/2020), Senior Business Analyst MarkPlus, Inc, Ridho Singgih, juga menyampaikan, 78 persen responden tertarik dengan program pendidikan vokasi digital. Mereka mengaku tertarik karena pendidikan bisa dilakukan di mana saja (diakui 94 persen responden).
Selain itu, pendidikan vokasi digital membuat mereka tertarik karena dapat diulang untuk pemahaman lebih (50 persen), proses pembelajaran lebih terorganisasi (45 persen), dan biaya lebih murah daripada pendidikan di luar jaringan (45 persen).
Sayangnya, masih ada 22 persen responden yang kurang tertarik karena takut kesulitan memahami materi (40 persen) dan persiapan alat pembelajaran dengan teknologi andal (33 persen).
Selain itu, mereka mencatat, penetrasi informasi pendidikan vokasi digital di kalangan masyarakat masih perlu ditingkatkan. Penggunaan media sebagai penyebaran informasi harus lebih merata dan memaksimalkan platform digital, seperti media sosial.
”Responden banyak mendengar pendidikan vokasi digital dari website sebesar 69 persen dan televisi sebesar 53 persen, tetapi menurut mereka media yang lebih efektif untuk penyebaran informasi selain televisi adalah Instagram, Youtube, dan Facebook, ” katanya, memaparkan.
Selain pemilihan media promosi, konten juga dinilai perlu dikemas lebih menarik. Survei melaporkan, animasi video paling banyak diminati oleh masyarakat (60 persen), diikuti video tutorial (56 persen), artikel berita (44 persen), infografis (33 persen), dan konten yang disampaikan oleh influencer media sosial (32 persen).
”Pemerintah dan instansi pendidikan ke depannya perlu mempersiapkan kampanye digital agar program pendidikan vokasi digital dapat diterima dengan baik dan meluas. Peningkatan strategi komunikasi bisa menjadi kunci program tersebut semakin diminati,” ujarnya.
Tantangan
Pengembangan pendidikan vokasi berbasis digital masih cukup menantang karena berbagai faktor. Faktor tersebut yaitu kurikulum, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM).
Eko Cahyanto selaku Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kementerian Perindustrian, pada acara webinar, menjelaskan, faktor kurikulum antara lain karena sekitar 70 persen pendidikan vokasi adalah praktik.
Dari sisi teknologi, kendala bisa berupa infrastruktur teknologi yang tidak merata dari platform teknologi dan bandwith, serta biaya tinggi untuk pengadaan alat dan kuota internet. Dari sisi sumber daya manusia, kendala kerap datang dari literasi teknologi oleh pengajar dan tuntutan cara belajar interaktif oleh siswa.
”Tantangan-tantangan tersebut telah kita rasakan di saat pandemi Covid-19 ini. Pendidikan vokasi akan bertahap bertransisi ke era normal baru. Ini akan mengubah ruang belajar dari ruang publik ke ruang pribadi, metode pengajaran yang lebih personal, dan menuntut partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran,” tuturnya.
Sebelum adanya pandemi, pemerintah, menurut Eko, juga sudah mengarahkan pendidikan vokasi ke arah tersebut seiring implementasi revolusi industri 4.0. Badan pemerintahan, seperti BPSDMI, telah diberi amanat untuk menyusun peta jalan guna mengantisipasi perubahan di masa depan.
Pemerintah sudah menetapkan implementasi revolusi industri 4.0 pada lima sektor industri yang berkontribusi besar pada negara, karena menyumbang ekspor terbesar dan menyerap banyak SDM. Sektor itu adalah makanan dan minuman, otomotif, tekstil dan produk tekstil, elektronik, petrokimikal, dan farmasi.
”Pandemi ini justru menjadi akselerator penyiapan industri dan SDM ke depan, karena bagaimanapun industri bergantung pada SDM, selain teknologi dan investasi. SDM di sini bukan hanya yang peserta pendidikan dan pengajar, tetapi juga aparatur pemerintah dan agensi,” katanya.