Jungkir Balik Investor Pasar Modal Hadapi Virus Korona
Investor ritel perlu menyiasati kondisi pasar modal saat ini. Lebih baik pilih saham yang justru punya sentimen positif karena Covid-19, seperti saham sektor industri kesehatan dan ritel.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
Pandemi virus korona memukul hampir semua pihak di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Tak terkecuali investor di lantai bursa. Mereka harus berjibaku dan bersiasat menghadapi lesunya perekonomian dan rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG.
Pembukaan saham pada hari pertama perdagangan tahun ini, yakni 2 Januari 2020, dibuka pada angka 6.299,35. Hari ini, Rabu (17/6/2020), IHSG ditutup pada angka 4.987,77. Artinya, hanya dalam enam setengah bulan, IHSG jeblok 1.312 poin atau turun 20,82 persen. IHSG bahkan pernah terperosok ke titik terendahnya di tahun ini, yakni pada angka 3.937,63 pada 24 Maret 2020.
”Waduh pusing saya kalau lihat kurva ini belum balik seperti sebelum pandemi,” ujar Suryanto (64), investor pasar modal, Rabu.
Suryanto mengaku merugi hingga Rp 65 juta karena anjloknya IHSG. Saat itu saham-saham andalan yang dimilikinya, yakni saham-saham langganan bursa LQ 45, ikut jeblok karena pandemi virus korona.
”Saya rugi Rp 65 juta itu juga sudah beruntung karena saya cut loss atau jual rugi sebelum harganya makin merosot. Kalau tidak, sudah pasti saya rugi lebih besar,” ujar Suryanto.
Karena IHSG masih jeblok, saat itu ia pun putuskan untuk berhenti dulu melakukan aktivitas perdagangan sejak akhir Maret. Sejak menjadi investor pasar modal pada 2007 usai pensiun dini dari perusahaan swasta, dia tidak lagi memiliki sumber penghasilan lainnya.
Saya rugi Rp 65 juta.
Masalah tambah pelik lantaran usaha kue berdasarkan pesanan milik istrinya juga sedang seret permintaan. Dia pun harus menanggung dua anaknya yang masih tinggal bersama dirinya di bilangan Meruya, Jakarta Barat.
Anaknya yang sulung yang telah bekerja menjadi karyawan pabrik di Tangerang, Banten, pun dirumahkan, sedangkan anak bungsunya masih duduk di bangku kuliah juga butuh kuota internet untuk kuliah dalam jaringan.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Suryanto mengaku menjual simpanan investasi emas batangan miliknya. Berbanding terbalik dengan IHSG, harga emas justru sedang meroket naik. Harga emas bahkan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa di Indonesia pada awal April pada kisaran Rp 940.000 per gram.
Tidak hanya itu, Suryanto juga menerapkan kebijakan pengetatan pengeluaran. Ia memutuskan untuk berhenti merokok dan minum kopi. Untuk belanja kebutuhan sehari-hari, mereka memilih berjalan kaki ketimbang naik kendaraan. Kebetulan rumah mereka hanya 3 kilometer dari pusat perbelanjaan.
”Saya suruh istri berhenti dulu beli komestik. Toh, di rumah ini tidak perlu dandan, ha-ha-ha,” ujarnya.
Cerita merugi juga dialami investor pasar modal lainnya. David (28) mengaku merugi Rp 20 juta karena jebloknya IHSG. Padahal, awalnya ia ingin membeli sepeda motor baru dari hasil mendapat untung dari pasar modal. ”Seharga sepeda motor itu uang yang hilang,” ujar David yang telah menjadi investor pasar modal paruh waktu sejak 2015.
Namun, sumber penghasilan David yang lainnya sebagai pegawai swasta masih mengucur. Ia pun coba menabung kembali dari pekerjaannya.
Optimistis
Meski diterpa kerugian mendalam, baik Suryanto maupun David memandang hari-hari ke depan dengan optimistis. Suryanto mengatakan, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia dan dunia ini bukan karena masalah finansial, melainkan masalah kesehatan. Maka, dia optimistis, ketika vaksin atau obat Covid-19 ditemukan, maka ekonomi akan perlahan membaik.
Mental Suryanto pun sudah lebih kuat lantaran dia pun pernah mengalami kerugian mendalam di pasar modal saat krisis keuangan 2008. Namun, setelah itu, IHSG dan perekonomian pun bisa kembali pulih, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Suryanto juga sudah kembali melantai bursa sejak awal Juni seiring dengan pelonggaran restriksi sosial dan mulai dioperasikannya kembali aktivitas ekonomi. IHSG pun terus terkerek naik, bahkan menembus level tertinggi sejak pandemi, yakni 5.070 pada 8 Juni 2020.
Tidak hanya itu, dia juga sudah menyiapkan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk strategi jangka pendek adalah dia harus memelototi kinerja perdagangan lebih dari 500 emiten di lantai bursa. Dia akan memilih membeli saham yang masih aktif diperjualbelikan.
Sementara untuk jangka panjang, Suryanto justru memborong saham-saham andalan yang kini harganya sedang murah-murahnya. ”Nanti kalau ekonomi sudah membaik, harga-harga bisa naik seperti tahun 2008,” ujar Suryanto.
David pun menyiasati kondisi pasar modal saat ini. Dia memilih membeli saham-saham yang justru punya sentimen positif karena Covid-19, yakni saham-saham sektor industri kesehatan dan ritel.
Peningkatan kebutuhan obat-obatan dan masih bertahannya kebutuhan bahan pokok, diyakini David, bisa menjaga kinerja saham-saham itu. ”Saya yakinlah ini akan berakhir. Cuma memang harus sabar dan pintar bersiasat,” ujar David.