Respons PLN terhadap persoalan lonjakan tagihan rekening listrik pelanggan dianggap kurang memuaskan. Perusahaan setrum milik negara ini diminta berbenah dalam banyak hal, termasuk komunikasi kepada pelanggan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VII DPR meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berbenah menyusul persoalan lonjakan tagihan rekening listrik sebagian pelanggan. Selain masalah tata kelola, pembenahan diperlukan dalam hal komunikasi kepada publik. Terkait program pembangkit 35.000 megawatt, PLN menyatakan tengah mengevaluasi program tersebut menyusul rendahnya permintaan tenaga listrik.
Permintaan tersebut disampaikan mayoritas anggota Komisi VII DPR dalam rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi PLN, Rabu (17/6/2020), di Jakarta. Pertemuan berlangsung di ruang rapat Komisi VII sembari tetap melaksanakan protokol pencegahan Covid-19. Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini bersama sejumlah anggota direksi turut hadir.
Salah satu desakan disampaikan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Rudy Masud. Terkait lonjakan tagihan rekening listrik sebagian pelanggan, ia menilai sosialisasi PLN tentang mekanisme penagihan kurang masif.
Selain itu, tak ada informasi yang cukup mengenai keputusan PLN meniadakan petugas pencatat stand meter di rumah pelanggan sejak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibatnya, masyarakat kaget saat mengetahui tagihan listrik mereka melonjak drastis.
”Menurut saya, tata tertib komunikasi perusahaan kurang. Masalah ini perlu dibenahi. Pasalnya, banyak sekali keluhan pelanggan. Jangan hanya sibuk mengurusi struktur organisasi, tetapi komunikasi dengan pelanggan juga harus diperhatikan,” kata Rudy.
Jangan hanya sibuk mengurusi struktur organisasi, tetapi komunikasi dengan pelanggan juga harus diperhatikan.
Moreno Soeprapto dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menambahkan, selain masalah komunikasi, PLN sebaiknya sudah bisa membuat sistem pencatatan meteran listrik lebih modern tanpa menggunakan cara konvensional, yakni pencatatan langsung oleh petugas. Terkait lonjakan tagihan, ia bisa memaklumi disebabkan konsumsi tenaga listrik sebagian pelanggan naik seiring kebijakan bekerja dari rumah diterapkan.
Mengenai struktur organisasi, Harry Poernomo dari Fraksi Partai Gerindra mengusulkan agar organisasi PLN disederhanakan per regional. Ia mencontohkan badan usaha milik negara (BUMN) lain, seperti PT Angkasa Pura atau PT Pelabuhan Indonesia yang terbagi menjadi beberap unit. Organisasi yang ada sekarang ini, menurut dia, terlalu besar atau gemuk.
”Gagasan saya ini mirip dengan Kementerian BUMN yang tengah menyederhanakan struktur organisasi BUMN. Jangan tanggung, dibelah saja PLN ini. Entah nanti namanya PLN 1, 2, dan seterusnya,” ucap Harry.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menilai, penyederhanaan struktur organisasi PLN bukan perkara mudah. Selain itu, organisasi PLN tidak bisa disamakan dengan organisasi perusahaan pengelola bandara atau pelabuhan. Sebab, model bisnis dan urusan teknis keekonomian sama sekali berbeda.
”Lebih baik dikaji secara mendalam terlebih dahulu mengenai penyederhanaan struktur organisasi PLN. Apabila dibagi per regional, pengelolaan memang akan lebih sederhana. Namun, tarif listrik akan menyesuaikan kondisi per wilayah sehingga nanti tidak akan seragam tarifnya,” kata Fabby.
Perubahan struktur organisasi PLN menuntut perlunya payung hukum baru, baik itu perubahan undang-undang maupun keputusan presiden.
Selain itu, Fabby menambahkan, sudah ada putusan Mahkamah Konsitusi yang pada dasarnya menyatakan bahwa pengelolaan listrik di Indonesia harus dilakukan BUMN dan terintegrasi secara vertikal (tidak terpisah-pisah/unbundling). Perubahan struktur organisasi PLN menuntut perlunya payung hukum baru, baik itu perubahan undang-undang maupun keputusan presiden.
Program 35.000 MW
Dalam rapat tersebut, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menyatakan, PLN tengah meninjau ulang program untuk menyesuaikan permintaan tenaga listrik di masyarakat. Selama pandemi Covid-19, permintaan tenaga listrik di Indonesia menurun. Peninjauan ulang diperlukan agar pembangkit listrik yang dibangun nanti tidak terbengkalai lantaran rendahnya permintaan di masyarakat.
”Sejauh ini, dari 35.000 MW, yang sudah tuntas dikerjakan sebanyak 14.793 MW, termasuk transmisi sepanjang 20.715 kilometer sirkuit dan pembangunan gardu induk dengan kapasitas total 75.160 megavolt ampere (MVA),” ujar Zulkifli.
Zulkifli sekaligus melaporkan kendala pada proyek tersebut, seperti rumitnya pembebasan lahan, penolakan masyarakat yang lahannya hendak dipakai untuk pembangunan menara transmisi bertegangan tinggi, maupun penggunakan kawasan hutan lindung. Ia memperkirakan, apabila dilanjutkan, program 35.000 MW bakal rampung pada 2025 dengan mempertimbangkan permintaan tenaga listrik dari masyarakat.