Jaga Sumber Daya Kelautan dari Perusakan dan Ketidakkonsistenan Regulasi
Sumber daya kelautan perlu terus dijaga dari pencurian ikan dan perusakan lingkungan. Kepemimpinan kuat, penegakan aturan yang konsisten, dan kearifan lokal jadi kuncinya.
Oleh
aris prasetyo/bm lukita grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti mengingatkan bahwa faktor utama mencegah pencurian ikan di perairan Indonesia adalah kepemimpinan yang kuat dan penegakan aturan dengan konsisten. Sumber daya laut Indonesia masih dikuasai kartel yang menyebabkan hilangnya penerimaan negara dari pajak ataupun bukan pajak.
Selain itu, ancaman di laut bukan hanya soal pencurian ikan, melainkan juga perbudakan dan transaksi barang-barang terlarang. ”Sepinya pencurian itu karena kepemimpinan yang kuat. Tak ada lagi kesempatan (bagi pencuri ikan). Mereka akan pergi dengan sendirinya,” ujar Susi dalam seminar daring bertema ”Tantangan Indonesia untuk Mengakhiri Praktik Illegal Fishing”, Jumat (12/6/2020).
Susi menambahkan, kontrol negara dijalankan oleh faktor arah politik dan kepemimpinan. Negara yang dikendalikan oleh kepemimpinan yang kuat, semua instrumen negara yang ada di bawah akan patuh mengikuti. Selain itu, pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal juga membutuhkan niat politik yang kuat.
Rektor IPB University Arif Satria menuturkan, kerugian yang timbul akibat praktik penangkapan ikan ilegal menghasilkan angka yang luar biasa besar. Beberapa sumber menyebutkan nilai 1,8 miliar dollar AS per tahun dan sumber lain menyebut 3 miliar dollar AS per tahun. Pola yang digunakan dalam praktik ini antara lain kapal tanpa dokumen, pemalsuan dokumen, pelanggaran batas laut, berbendera ganda, dan bongkar muat ikan di laut (transhipment).
”Apa yang sudah dilakukan Indonesia pada zaman Bu Susi sebagai menteri itu sudah bagus sekali. Meningkatkan kedaulatan negara, tata kelola pemerintahan yang lebih baik, tata kelola perusahaan, dan upaya pemulihan sumber daya laut yang berkelanjutan. Green market (pasar hijau) dan reputasi internasional bisa tercipta,” ujar Arif.
Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan, penguatan nelayan adalah salah satu solusi jangka panjang. Nelayan menjadi salah satu strategi penting untuk membina potensi maritim. ”Kita harus hadir di laut-laut seperti Natuna Utara secara berkelanjutan,” katanya.
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, Janib Achmad mengatakan, kearifan lokal merupakan salah satu kunci untuk menekan tingkat perusakan sumber daya kelautan dan maraknya praktik perikanan ilegal yang semakin masif di Indonesia. Penguatan kearifan lokal masyarakat itu mampu menyeimbangkan kelestarian sumber daya dan manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir.
”Kearifan lokal memiliki kaitan erat dengan pelestarian sumber daya alam dan nilai ekonomi bagi masyarakat,” katanya dalam seminar daring ”Kearifan Lokal untuk Kelestarian Sumber Daya Laut” yang diselenggarakan Universitas Khairun Ternate dan Wildlife Conservation Society, Jumat.
Di Kepulauan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau, nelayan menolak kebijakan pemerintah untuk melegalkan kembali alat tangkap cantrang. Keputusan itu dikhawatirkan bisa memicu konflik antarnelayan dan menyebabkan penangkapan ikan berlebih di Laut Natuna.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra mengatakan, penggunaan pukat hela (trawl) dan cantrang akan membuat tangkapan nelayan tradisional merosot. Hal ini dikhawatirkan akan memicu konflik antarnelayan.
Mayoritas nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna hanya menggunakan kapal kecil antara 1 gros ton (GT) dan 8 GT serta mengandalkan alat tangkap pancing ulur. Dedi menilai penggunaan cantrang bukan hanya akan membunuh ikan yang masih kecil, melainkan juga akan merusak terumbu yang menjadi habitat ikan karang yang menjadi sasaran tangkap nelayan lokal.
”Sebelumnya, kami sudah sering (konflik) dengan kapal pukat mayang (purse seine) yang melanggar kesepakatan zona tangkap. Sering hampir terjadi bentrokan fisik dan pembakaran di laut. Potensi konflik ini semakin besar dengan rencana pemerintah melegalkan cantrang,” ujarnya.
Sebelumnya, kami sudah sering (konflik) dengan kapal pukat mayang (purse seine) yang melanggar kesepakatan zona tangkap. Sering hampir terjadi bentrokan fisik dan pembakaran di laut. Potensi konflik ini semakin besar dengan rencana pemerintah melegalkan cantrang.
Pernyataan itu terkait dengan rencana pemerintah yang akan segera menerbitkan revisi peraturan menteri kelautan dan perikanan (Permen KP) tentang usaha penangkapan ikan. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang, yakni pukat hela dan cantrang, akan diizinkan digunakan lagi. Peraturan direvisi untuk meningkatkan investasi.
Regulasi yang akan direvisi itu adalah Permen KP Nomor 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan serta Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.
Sementara itu, sejumlah nelayan di pesisir pantai utara Jawa Tengah menyatakan akan mengikuti aturan pemerintah terkait pengaturan dan pengendalian kapal cantrang. ”Kami siap mengikuti aturan pemerintah. Sejak awal, kami memang menginginkan penggunaan cantrang itu diatur, bukan dilarang,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal Riswanto.
Dalam kunjungannya di Manado, Sulawesi Utara, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjamin penggunaan cantrang akan diatur ketat demi mendongkrak kinerja sektor perikanan tanpa merusak ekosistem laut, salah satunya terumbu karang.
”Orang hanya tahu cantrang merusak karang, gimana mungkin orang pakai cantrang di tempat yang banyak karang? Ya, pasti robek lah jaringnya,” katanya.
Melalui regulasi itu, lanjut Edhy, pemerintah juga akan mampu mencegah konflik antara nelayan besar dan tradisional. ”Kita bikin zonasi saja. Pakai cantrang di laut lepas, kan, bisa. Zona ekonomi eksklusif kita juga masih kosong, lebih baik nelayan kita yang mengisi daripada nelayan asing mencuri ikan kita,” katanya.
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), daerah tersebut mulai mengekspor ikan tuna sirip kuning ke Jepang secara langsung sebanyak 700 kilogram. Selama ini, ikan tuna dari Sulteng diekspor oleh sejumlah pelaku pasar dari kota lain di Indonesia. Ekspor langsung itu diharapkan memberikan dampak kenaikan harga di tingkat nelayan.
Ekspor perdana ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares/yellowfin tuna) utuh tersebut dilakukan di Bandara Mutiara Sis Aljufri, Kota Palu, Jumat. Ikan kemudian diangkut ke Jepang melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Ekspor dilakukan oleh PT Arumia Kharisma Indonesia.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate mengatakan, ekspor langsung tuna sirip kuning itu telah lama dirintis. ”Kami berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk langkah maju ini, terutama pihak karantina perikanan dan bea cukai. Ini ekspor perdana, jadi dimaklumi kalau banyak kekurangan,” katanya. (EDN/NDU/OKA/XTI/VDL)