Utang Terus Membengkak, Pemerintah Diminta Kreatif Kelola Fiskal
Karena membutuhkan anggaran besar untuk penanganan pandemi Covid-19, pemerintah pun berutang besar-besaran tahun ini. Patut diwaspadai beban bunga utangnya ke depan.
Selama beberapa hari terakhir, lini masa media sosial ramai soal rencana debat antara ekonom Rizal Ramli dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan soal utang negara dan penanganan Covid. Meskipun akhirnya belum jadi terlaksana, topik utang negara kembali mencuat dan memantik polemik hangat.
Sebetulnya, utang Indonesia itu sudah pada tahap mengkhawatirkan atau masih bisa terkendali?
Mengutip data dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, total utang Pemerintah Indonesia hingga April 2020 adalah Rp 5.172,48 triliun. Perinciannya, Rp 4.338,44 triliun atau 83,9 persen dari total utang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN). Sisanya, Rp 834,04 triliun atau 16,1 persen dari total utang, berasal dari pinjaman. Sementara 98,81 persen pinjaman Indonesia adalah pinjaman luar negeri.
Dengan utang sebesar itu, Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sampai April berada pada posisi 31,78 persen.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimum 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan total utang maksimum 60 persen dari PDB.
Karena adanya pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan aturan yang memperbolehkan adanya pelebaran defisit APBN di atas 3 persen dari PDB sampai akhir 2022. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan sejumlah batas itu, utang negara Indonesia masih berada di bawah ambang maksimal itu.
Namun, pengelolaan utang harus tetap hati-hati. Sebab, jumlah utang Indonesia pada 2019 sebesar Rp 4.778 triliun atau dalam empat bulan hingga April utang Indonesia sudah meningkat RP 394,48 triliun. Rasio utang terhadap PDB meningkat pada 2019 yang sebesar 30,17 persen menjadi 31,78 persen.
Baca juga : Beban Bunga Utang yang Kian Mencekik
Sejumlah ekonom menilai Pemerintah Indonesia harus lebih berhati-hati lagi dalam mengelola APBN dan utang negara. Apalagi saat pandemi seperti ini.
Lampu merah
Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, mengatakan, pemerintah harus mulai mempertimbangkan dengan serius untuk berhenti meningkatkan utang dari instrumen apa pun, baik pinjaman luar negeri maupun utang domestik melalui SBN.
”Saya melihat utang negara ini pada tahap mengkhawatirkan dari lampu kuning naik menjadi lampu merah,” ujar Latif yang dihubungi Kamis (11/6/2020).
Menurut dia, berutang adalah hal yang diperbolehkan, tetapi harus dipikirkan juga bagaimana pengembalian utang itu. Jangan sampai membayar utang dengan utang lainnya atau menggali lubang tutup lubang.
Saya melihat utang negara ini pada tahap mengkhawatirkan dari lampu kuning naik menjadi lampu merah. (Latif)
Ia juga menyoroti soal utang luar negeri yang harus dibayar menggunakan mata uang asing. Adapun pembayarannya bergantung pada kekuatan cadangan devisa yang sangat dipengaruhi faktor ekspor-impor. Sementara saat ini permintaan dunia sedang melemah sehingga sulit mengandalkan ekspor, walaupun harus diakui impor pun juga tengah menurun.
”Apabila ekspor melambat, cadangan devisa bisa tergerus untuk terus membayar utang. Sementara jatuh tempo utang terus berjalan,” ujar Latif.
Tak hanya itu, harus diperhitungkan juga jumlah bunga dan tanggal jatuh tempo dari utang-utang itu. Perhitungan harus dilakukan sangat akurat mengingat banyak variabel yang berubah karena pandemi Covid-19 saat ini.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, dalam kondisi saat ini, pemerintah harus kreatif dan inovatif dalam mengelola anggaran dan jadi momen agar tidak serta-merta selalu mengandalkan pendanaan dari utang.
”Saat pandemi seperti ini lembaga mana yang memiliki uang berlebih dan mau menjadi kreditor? Sebab, seluruh dunia sedang melakukan pengetatan dan meningkatkan kehati-hatian. Mereka pun berhitung bagaimana pengembalian utangnya,” ujar Enny.
Defisit karena Covid
Menurut Enny, defisit APBN dan utang Indonesia akan meningkat karena adanya pandemi Covid-19. Ia menilai PDB Indonesia tahun ini yang terbesar pasti berasal dari triwulan pertama. Sebab, saat itu dampak Covid-19 belum sehebat saat ini. Sementara pada triwulan kedua hingga keempat, Enny memperkirakan, tidak akan semenggeliat triwulan pertama.
Berkaca dari besaran PDB Indonesia pada triwulan pertama 2020 yang sebesar Rp 3.922,6 triliun, ia memperkirakan sampai akhir tahun PDB berkisar di angka Rp 10.000 triliun. Angka ini menurun dari PDB 2019 yang sebesar Rp 15.884 triliun.
”Dengan PDB menurun, defisit anggaran bisa melebar. Ini pekerjaan rumah fiskal yang berat sekali,” ujar Enny.
Ekonom yang juga Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara punya pendapat dan hitungan yang berbeda. Dalam kolom Opini di harian Kompas yang terbit Kamis (11/6/2020), utang pemerintah sebelum Covid-19 berkisar di 30 persen PDB, dengan melebarnya defisit APBN ke 6,3 persen PDB, utang pemerintah akan meningkat menjadi 36-37 persen PDB.
”Ini bukan kondisi normal, apalagi krisisnya bersumber dari virus penyakit yang sulit diprediksi kapan akan berakhir. Defisit APBN mungkin saja masih akan meningkat jika penerimaan lebih buruk daripada perkiraan dan pengeluaran pemerintah bertambah untuk penanganan krisis Covid-19,” tulis Mirza yang juga mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini.
Sementara itu, Latif menyoroti adanya ruang defisit APBN dan pelebaran rasio utang akibat pandemi Covid-19. Ia mengingatkan, agar ruang defisit yang diperlebar dengan Perppu No 1/2020 tidak dijadikan alasan pembenaran bagi pemerintah untuk menambah utang.
”Menurut saya, kalau ruang defisit yang disediakan perppu ini sungguh-sungguh untuk penanggulangan Covid-19 saya setuju. Tapi jangan kemudian ini dijadikan dasar pemenuhan syahwat pemerintah untuk tingkatkan utang. Ini yang tak bijaksana?” ujar Latif.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, berkaca dari sisi rasio, posisi utang Indonesia saat ini masih terbilang aman. Seperti yang sudah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, tahun ini kebutuhan pembiayaan defisit APBN 2020 diperkirakan meningkat menjadi Rp 1.028 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto (PDB). Rasio batas uang belum akan melewati 60 persen.
Meski demikian, menurut Yustinus, bukan berarti pemerintah bisa utang hingga ambang batas maksimal. ”Segala kemungkinan berutang itu harus dipertimbangkan,” ujar Prastowo.
Ia menjelaskan, postur APBN saat ini difokuskan pada tiga hal prioritas, yakni kesehatan, jaminan sosial, dan stimulus pemulihan ekonomi. Tahun depan, pemerintah akan fokus perlahan mengembalikan defisit kembali di bawah ambang 3 persen.
”Komunikasi dan koordinasi antara fiskal dan moneter di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia sangat baik. Indikator-indikator ini dijaga sungguh-sungguh,” ujar Prastowo.